Friday 2 September 2016

Sumber Penerimaan Keuangan Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Undang-undang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun format pemerintahan yang bisa memberikan dukungan  terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2 Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, yang mana daerah provinsi tersebut terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan fungsinya masing-masing. Secara sederhana, otonomi daerah  selalu  menghendaki sebanyak mungkin penyerahan kewenangan urusan rumah tangga pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Hal ini didasari oleh kepentingan terhadap fungsi pelayanan terhadap masyarakat yang kurang lebih melibatkan pemerintahan daerah. Fungsi pelayanan terhadap masyarakat inilah yang dinilai selama ini kurang diimplementasikan, takala rentang kendali antara masyarakat yang dan pemerintah pusat terlalu jauh jaraknya. Sejalan dengan itu, pemerintah pusat diharapkan lebih berkonsentrasi dan memegang kendali atas kebijakan-kebijakan yang bersifat makro dan strategis. Dengan pelimpahan sejumlah kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sedikit banyak mengurangi beban pemerintah pusat. Segenap permasalahan yang muncul di daerah cukup menjadi tanggunga jawab pemerintah daerah, karena sesungguhnya pemerintah daerahlah yang lebih banyak memiliki kompetensi, energi dan kesempatan dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi, politik, social dan budaya. Maka dari itu, pemerintahan daerah dalam mengelola Sumber Penerimaan Keuangan Daerah harus optimal, efektif dan efisien serta dapat dipertanggung jawabkan. Terlebih pada dasarnya wujud keuangan negara pada pemerintah pusat hampir sama dengan wujud keuangan negara pada pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari komponen atau klasifikasi aset, utang, ekuitas, belanja dan pembiayaan negara pada pemerintah pusat yang sama dengan komponen atau klasifikasi aset, utang, ekuitas, belanja dan pembiayaan daerah pada pemerintah daerah. Namun, perbedaannya terletak pada struktur pendapatan antara pendapatan negara dan pendapatan daerah. Jika komponen pendapatan negara pada pemerintah pusat yang tergambarkan dalam APBN terdiri dari pendapatan perpajakan, pendapatan negara bukan pajak dan pendapatan hibah, berbeda dengan komponen pendapatan daerah sebagaimana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain
.



B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka Penulis berusaha menghimpun beberapa masalah yang akan digunakan untuk menganalisis tentang Sumber Penerimaan Keuangan Daerah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasi dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud pemerintahan daerah?
2.      Apa yang dimaksud dengan keuangan daerah dan pendapatan daerah ?
3.      Apa macam-macam sumber penerimaan keuangan daerah?
4.      Bagaimana mekanisme penerimaan sumber keuangan daerah?
5.      Mengapa perlu dilakukan pengawasan terhadap sumber penerimaan keuangan daerah?
6.      Bagaimana mekanisme pengawasan sumber penerimaan keuangan daerah?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Menjelaskan tentang pengertian pemerintah daerah
2.      Menjelaskan tentang keuangan daerah dan pendapatan daerah
3.      Menjelaskan sumber-sumber penerimaan daerah.
4.      Memahami mekanisme penerimaan sumber keuangan daerah
5.      Menjelaskan mekanisme pengawasan sumber penerimaan keuangan       daerah.
Dengan tujuan tersebut, penulis dapat memperoleh gambaran bagaimana kebijakan pemerintah daerah secara substansial dapat mewujudkan   tata   kelola   daerah   yang   mampu   mendorong   pemerintahan  daerah  yang efektif dalam pembangunan dan upaya meningkatkan kemakmuran masyarakat.



D. Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian sebagai berikut:
1.   Manfaat akademis
·         Dapat    menjadi    bahan    masukan    dalam    pengembangan ilmu   administrasi publik   dalam   tata   kelola   sumber penerimaan keuangan daerah untuk menciptakan pemerintahan yang “good governance” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
·         Dapat mengkaji kebijakan serta permasalahan yang berhubungan dengan sumber penerimaan keuangan daerah.
·         Untuk memperluas wawasan dan pandangan mahasiswa tentang permasalahan terhadap pengalokasian sumber penerimaan keuangan daerah.
2.   Manfaat praktis
Hasil    penelitian   ini   diharapkan    dapat    memberikan      gambaran     kepada pemerintah daerah    bagaimana     undang-undang      pemerintahan daeah  telah mengatur    good    governance     sehingga     dapat   dijadikan   pertimbangan      dalam    penyusunan  kebijakan     turunannya    ataupun    perbaikan      kebijakan    tata   kelola   daerah terkait pengelolaan dana  selanjutnya.







BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana terdapat pada Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut:
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Melihat definisi pemerintahan daerah yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan  urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.

B. Keuangan Daerah Dan Pendapatan Daerah
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang selalu terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan  pengawasan keuangan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pendapatan daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. (UU.No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah), pendapatan daerah berasal dari penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.

C. Sumber Keuangan Daerah
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pelaksanaan hak dan kewajiban pemerintah daerah, serta pemanfaatan potensi atau sumber daya daerah, baik yang dimiliki oleh Pemerintah daerah maupun yang terdapat di wilayah daerah bersangkutan, yang mana pemungutannya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. PAD bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi, yang mana Komponennya terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

A. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku saat ini adalah UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Undang-Undang tersebut pajak daerah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Yang termasuk pajak daerah untuk provinsi adalah:



·         Pajak Kendaraan Bermotor.
·         Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
·         Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
·         Pajak Air Permukaan.
·         Pajak Rokok.

Sedangkan yang termasuk pajak daerah untuk kabupaten/kota terdiri atas:

·         Pajak Hotel
·         Pajak Restoran
·         Pajak Hiburan
·         Pajak Reklame
·         Pajak Penerangan Jalan
·         Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
·         Pajak Parkir
·         Pajak Air Tanah
·         Pajak Sarang Burung Walet
·         Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan
·         Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).


Berkaitan dengan pemungutan pajak daerah, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menentukan tarif pajak daerah sesuai keputusan bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD, sepanjang tidak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk melakukan pemungutan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah merupakan wewenang dan tanggungjawab Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) atau Biro Keuangan pada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing.
B. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Perbedaan utama antara pajak daerah dan retribusi daerah terletak pada imbal jasanya. Pada saat membayar pajak daerah, pihak yang membayar pajak (wajib pajak) tidak langsung mendapatkan imbalan pada saat melakukan pembayaran, berbeda dengan retribusi daerah. Pembayaran retribusi daerah dapat dilakukan jika pembayar retribusi (wajib retribusi) telah mendapatkan pelayanan atau keperluannya telah difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Objek retribusi adalah jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah. Untuk itu, retribusi dapat digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.

1. Retribusi Jasa Umum
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan, yang antara lain terdiri dari: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus, Retribusi Pengolahan Limbah Cair, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Selain jenis Retribusi diatas, baik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota dapat menetapkan retribusi jasa umum lainnya, sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu.
2.Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
3.Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
4.Jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu.
5.Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya.
6.Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial,
7.Remungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.

2.Retribusi Jasa Usaha
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
1. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal.
2.Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha antara lain terdiri dari: Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan,  Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di Air, dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengembangkan Retribusi Jasa Usaha, sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Retribiusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu.
2. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.
3. Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan Tertentu antara lain terdiri dari: Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan (HO), Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Pemerintah daerah diperbolehkan untuk menetapkan retribusi perizinan tertentu lainnya, sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi.
2.      Perizinan tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan umum.
3.      Biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.
Sama halnya dengan pemungutan PNBP, pemungutan retribusi dapat dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selain DPPKAD, sepanjang masih dalam kewenangannya dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan.

D.  Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Kekayaan daerah yang dipisahkan adalah bagian dari aset pemerintah daerah yang digunakan sebagai penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan atau badan usaha, baik badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) maupun badan usaha milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan berupa bagian laba yang dibagikan (deviden) dari perusahaan atau badan usaha yang bersangkutan, yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.
b.Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN.
c.Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

E. Lain-lain PAD yang sah.
Lain-lain PAD yang sah merupakan pendapatan daerah yang tidak dapat dikategorikan sebagai pajak daerah, retribusi dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, namun masih termasuk dalam kategori PAD. Lain-lain PAD yang sah dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup:
a. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan.
b. Jasa giro.
c. Pendapatan bunga.
d. Penerimaan keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
e. Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
f. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.
g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
h. Pendapatan denda pajak daerah.
i.  Pendapatan denda retribusi.
j.  Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan.
k. Pendapatan dari pengembalian.
l.  Pendapatan dari pemanfaatan fasilitas sosial dan fasilitas umum.
m.Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.




F. Dana Perimbangan
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan pusat yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada Daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah pusat serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Pada dasarnya, selain dimaksudkan untuk menciptakan pemerataan pendapatan daerah, DBH juga bertujuan untuk memberikan keadilan bagi daerah atas potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini, walaupun pendapatan atas pajak negara dan pendapatan yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) merupakan wewenang pemerintah pusat untuk memungutnya, namun sebagai daerah penghasil, pemerintah daerah juga berhak untuk mendapatkan bagian atas pendapatan dari potensi daerahnya tersebut.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak negara, meliputi:
A. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah meliputi 16,2% untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, 64,8% untuk daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota, dan 9% untuk biaya pemungutan.
Sedangkan 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebesar 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota, dan sebesar 35% dibagikan sebagai intensif kepada daerah Kabupaten dan Kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

B.  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTP sebesar 80% dengan rincian 16% untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, dan 64% untuk daerah Kabupaten dan Kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTP dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten dan Kota.

C.  Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 merupakan bagian daerah adalah sebesar 20% yang dibagi antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dimana 60% untuk Kabupaten/Kota dan 40% untuk Provinsi.

Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam, meliputi:
A.Sektor Kehutanan
Penerimaan dari sektor Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 60% untuk daerah. Sedangkan penerimaan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% untuk Pemerintah dan 40% untuk daerah.

B.Sektor Pertambangan umum
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.

C. Sektor Perikanan
Dana Bagi Hasil dari penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk seluruh Kabupaten dan Kota.

D. Sektor Pertambangan minyak bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan imbangan 84,5% untu Pemerintah dan 15,5% untuk daerah.Dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah sebesar 15% dibagi dengan imbangan 3% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 6% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan

E. Sektor Pertambangan gas bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk daerah.
Dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah sebesar 30% dibagi dengan imbangan 6% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 12% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 12% dibagikan untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi bersangkutan.
Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan

F. Sektor Pertambangan panas bumi.
Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.
Dana bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi yang dibagikan kepada daerah dibagi dengan imbangan 16% untuk Provinsi yang bersangkutan, 32% untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 32% untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan.
Besarnya proporsi dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tergantung dari jenis pendapatan. Begitupula antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota proporsinya tidak merata untuk setiap jenis pendapatan.

2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah atau mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-daerah melalui penerapan formula tertentu. DAU suatu daerah ditentukan atas alokasi dasar dan besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (belanja pegawai daerah) pada daerah yang bersangkutan. Sedangkan celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity).
Kebutuhan daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum yang dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam.
Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar, yang mana secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Begitupula jika dibandingkan dengan alokasi dasar, daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Sedangkan daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
Pemerintah pusat bertugas untuk merumuskan formula dan melakukan penghitungan DAU dengan berdasarkan data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian teknis pelaksana program/kegiatan.
Berbeda dengan daerah penerima DBH dan DAU, daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD pada periode bersamaan dengan dianggarkannya DAK dalam APBN. Namun, untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu atau daerah yang selisih antara penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif, tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping tersebut.

G. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah pusat melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Dana Dekonsentrasi merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana Dekonsentrasi merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja kementerian negara/lembaga dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditetapkan Gubernur. Gubernur memberitahukan kepada DPRD tentang kegiatan Dekonsentrasi.
Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan bersifat non-fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang tidak menambah aset tetap. Dapat ditunjang dengan subkegiatan bersifat fisik, dan tidak melebihi 25% dari total anggaran kegiatan yang bersangkutan.Kegiatan yang bersifat non-fisik  antara lain berupa sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi, penelitian dan survey, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian.
Dalam pelaksanaan dekonsentrasi, Gubernur wajib mengusulkan daftar SKPD yang mendapatkan alokasi dana dekonsentrasi kepada kementerian negara/lembaga yang memberikan alokasi dana, untuk ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang. Apabila Gubernur tidak menyampaikan usulan daftar SKPD, kementerian negara/lembaga dapat meninjau kembali pengalokasian dana dekonsentrasi.
Dana Tugas Pembantuan merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja kementerian negara/lembaga dan dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota. Tugas Pembantuan adalah penugasan pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain, dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan  pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Pemerintah Daerah memberitahukan adanya Tugas Pembantuan kepada DPRD.
Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan bersifat fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah aset tetap.  Dapat ditunjang dengan subkegiatan bersifat non-fisik, dan tidak melebihi 10% dari total anggaran kegiatan yang bersangkutan. Kegiatan yang bersifat fisik antara lain pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, serta dapat berupa kegiatan yang bersifat fisik lainnya. Kegiatan yang bersifat fisik lainnya  antara lain pengadaan barang habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk, atau sejenisnya, termasuk barang bantuan sosial yang diserahkan kepada masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat.
Dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan, Kepala Daerah wajib mengusulkan daftar SKPD yang mendapatkan alokasi dana Tugas Pembantuan kepada kementerian negara/lembaga yang memberikan alokasi dana, untuk ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang. Apabila Kepala Daerah tidak menyampaikan usulan daftar SKPD, kementerian negara/lembaga dapat meninjau kembali pengalokasian Dana Tugas Pembantuan.

2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran dan Mekanisme Penyaluran Dana
Dalam melaksanakan anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan harus berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran yang disebut dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Dokumen pelaksanaan anggaran tersebut memuat alokasi anggaran yang disediakan kepada pengguna anggaran. Alokasi anggaran pendapatan disebut Estimasi pendapatan yang dialokasikan dan alokasi anggaran belanja disebut allotment. Dalam dekonsentrasi dan tugas pembantuan, belanja membebani anggaran setelah barang/jasa diterima. 
Mekanisme Pencairan dan Penyaluran Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan tetap memperhatikan PMK No. 156/PMK.07/2008 tentang pedoman pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan.  PenyaluranDana Dekonsentrasi /Tugas Pembantuan dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara (KUN). DIPA yang telah disahkan disampaikan kepada SKPD penerima Dana Dekonsentrasi / Dana Tugas Pembantuan sebagai dasar dalam penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM). Penerbitan SPM oleh SKPD selaku Kuasa Pengguna Anggaran didasarkan pada alokasi dana yang tersedia dalam DIPA untuk Dekonsentrasi/DIPA untuk Tugas Pembantuan. Kepala SKPD yang menerima Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuanmenerbitkan dan menyampaikan SPM kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku kuasa Bendahara Umum Negara. Setelah menerima SPM dari SKPD, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara setempat menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Ketentuan lebih lanjut yang berkaitan dengan pencairan dan penyaluran Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan berpedoman pada Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor: Per-66/PB/2005 yang mengatur mengenai mekanisme pembayaran atas beban APBN
Dalam hal pelaksanaan Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan terdapat sisa dana yang sudah ditarik dari kas negara dan tidak digunakan pada akhir tahun anggaran, SKPD wajib menyetorkan dana tersebut ke Rekening Kas Umum Negara. Dalam hal pelaksanaan Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan menghasilkan penerimaan, penerimaan dimaksud wajib disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sepanjang hasil pelaksanaan Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan tersebut belum dihibahkan.

C. Pengawasan Penggunaan Keuangan Daerah
1. Pengertian Pengawasan
Jika berbicara tentang pengawasan, biasanya yang dimaksudkan adalah salah satu fungsi dasar manajemen atau dalam bahasa inggris dikenal dengan sebutan controlling. Dan bila dilihat dalam bahasa Indonesia, fungsi controlling ini mempunyai 2 (dua) padanan/pengertian yaitu pengawasan dan pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit diartikan sebagai segala sesuatu atau segala kegiatan umutuk mengetahui dan melihat kenyataankenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun pengendalian itu pengertiannya adalah segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya. Perbedaan antara pengawasan (arti sempit) dan pengendalian terletak pada kewenangan untuk melakukan tindakan korektif. Pengendali atau pimpinan memiliki wewenang untuk melakukan tindakan korektif, baik terhadap manusia sebagai pelaksana maupun terhadap sistem yang berlaku dalam organisasi. Menurut Sujamto sebagai berikut : Bahwa dari fungsi controlling atau pengawasan dalam arti luas yang terdiri dari pengawasan dalam arti sempit dan pengendalian, ada bagian yang dapat didelegasikan kepada bawahan dan yang tidak didelegasikan yaitu pengendalian. Sedangkan yang dapat didelegasikan yaitu fungsi pengawasan. Pengawasan dalam arti sempit inilah yang disebut pengawasan fungsional. Dengan adanya pengawasan maka tugas pelaksanaan dapat dipermudah dan menjadi ringan karena para pelaksana tidak mungkin dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang diperbuat dalam kesibukan sehari-hari. Pengawasan bukan dalam hal ini sekedar untuk mencari kesalahan atau ada untuk melihat mana yang salah dan mana yang benar akan tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan. Menurut Y.W Sinindhia, dapat dikemukakan hal-hal menyangkut pengawasan pelaksanaan pembangunan didaerah-daerah sebagai berikut :
a. Fungsi pengawasan, pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen disamping fungsi-fungsi masyarakat lainnya, yaitu staf dan perencanaan dan pelaksanaan.
b. Prinsip-prinsip pengawasan, pengawasan merupakan suatu proses yang terus menerus yang dilaksanakan dengan jalan mengulangi secara teliti dan periodik. Didalam melakukan pengawasan haruslah diutamakan adanya kerja sama dan dipeliharanya rasa kepercayaan.
Sistem pengawasan sangat menentukan kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya. Karena hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan makin sempit kemandirian daerah. Makin sempit kemandirian makin terbatas otonomi. Akan tetapi dalam hal ini, tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Hal ini dikarenakan bahwa kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga keseimbangan bandul antara kecendrungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berayun berlebihan. UU No. 22 Tahun 1999 tentang keuangan pemerintahan daerah, sangat mengendorkan sistem pengawasan. Dapat dilihat pada penjelasan tersebut disebutkan : “….sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk memberi kebebasan kepada daerah otonomi dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsi sebagai badab pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang”. Berdasarkan hal di atas yang menarik bahwa, dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa meniadakan syarat pengesahan (preventief toezicht) dapat mengakibatkan masalah. Dalam artian bahwa, bagaimanakah kalau peraturan daerah melampaui wewenang (ultra vires)? Maka gugatan ke pengadilan adalah hal atau cara yang dapat ditempuh. Permasalahan yang lain yaitu bagaimana kalau tidak ada yang mempersoalkan? Dari penjelasan permasalahan diatas maka sebenarnya, bukan hal yang tepat untuk meniadakan pranata pengesahan itu yang lebih penting tetapi yang perlu sekali diatur adalah tata cara pengesahan agar kemandirian tetap terjamin.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan Peraturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ternyata pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan  urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD. Sedangkan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan sumber pendapatan keuangan daerah adalah kepala daerah dan para perangkatnya dimana mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Disamping itu, dengan adanya sumber pendapatan  keuangan daerah yang salah satunya berasal dari bantuan pemerintah pusat  maka diharapkan pemerintah daerah memang harus bisa lebih efisien dalam mengelola keuangannya agar anggaran dana dari pemerintah pusat yang sudah dianggarkan sebelumnya bisa tercukupi dengan baik. Walaupun pemerintah pusat sudah memberikan instruksi bahwa ketika keuangan daerah mengalami kekurangan bisa meminta ke pemerintah pusat, tetapi secara langsung hal ini bisa membuat kondisi keuangan pusat yang semakin berkurang dan secara tidak langsung akan membuat kemandirian suatu daerah dalam mengelola keuanganya akan menjadi terhambat.
Ini menandakan bahwa dalam pengelolaan sumber penerimaan keuangan daerah sebaiknya diatur secara ketat oleh peraturan pemerintah  daerah agar tidak terjadi penyimpangan terkait dengan sumber tesebut. Pengelolaan sumber penerimaan keuangan daerah tidak sebatas hanya membagi dana dan mengalokasikannya saja, tetapi juga mengandung makna gerakan sebuah daerah dalam penyusunan rencana, melaksanakan kegiatan, serta mempertanggung jawabkan kepada pemerintah pusat dan masyarakat. Ini tentu diperlukan persiapan teknis yang matang, tidak saja oleh pemerintah daerah tetapi juga perangkat pemerintah lainnya. Tentunya, dibutuhkan kesepahaman dan kesepakatan berbagai pihak, karena setiap daerah akan membawa kebiasaan masing-masing. Karena pengelolaan sumber penerimaan keuangan daerah akan baik apabila proses implementasi, proses evaluasi dilaksanakan secara jujur, transparan, dan bertanggungjawab.
B.Saran
Dalam mengelola APBD, seharusnya pemerintah daerah tetap berpedoman pada aturan yang ada, jika ada kesulitan jangan segera konsultasikan ke tim pengendali atau tim pengawas tingkat kabupaten untuk di musyawarahkan terlebih dahulu yang selanjutnya prinsip pengelolaan dana tersebut harus dipegang teguh, dimana APBD dilaksanakan secara transparan diketahui oleh masyarakat luas dan yang paling penting masyarakat harus berperan aktif mulai proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaan terkait sumber pendapatan daerah tersebut.










DAFTAR PUSTAKA
·         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
·         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
·         Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
·         Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
·         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
·         Darise, Nurlan. 2009. Pengelolaan Keuangan Daerah. Edisi 2. Jakarta: Indeks Permata Puri Media.
·         Westra, Pariata.1976. Fungsi Dan Mekanisme Pengawasan Keuangan Negara R.I. Yogyakarta: Balai Pembinaan Administrasi, Universitas Gadjah Mada.
·         Najih, Mokhammad & Soimin. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Malang:Setara Press.





No comments:

Post a Comment