BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Undang-undang Pemerintahan
Daerah merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun
format pemerintahan yang bisa memberikan dukungan terhadap kekokohan
keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mulai dari arah sentralisitik sampai
desentralistik Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal
ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang sesuai untuk diterapkan
disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang
pertama kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor
5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan
perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi
kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir
adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2
Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur
pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi, yang mana daerah provinsi tersebut terdiri atas daerah-daerah
kabupaten dan kota. Dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah mempunyai hak
dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan
fungsinya masing-masing. Secara sederhana, otonomi daerah selalu
menghendaki sebanyak mungkin penyerahan kewenangan urusan rumah tangga
pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Hal ini didasari oleh
kepentingan terhadap fungsi pelayanan terhadap masyarakat yang kurang lebih
melibatkan pemerintahan daerah. Fungsi pelayanan terhadap masyarakat inilah
yang dinilai selama ini kurang diimplementasikan, takala rentang kendali antara
masyarakat yang dan pemerintah pusat terlalu jauh jaraknya. Sejalan dengan itu,
pemerintah pusat diharapkan lebih berkonsentrasi dan memegang kendali atas kebijakan-kebijakan
yang bersifat makro dan strategis. Dengan pelimpahan sejumlah kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah sedikit banyak mengurangi beban pemerintah pusat.
Segenap permasalahan yang muncul di daerah cukup menjadi tanggunga jawab pemerintah
daerah, karena sesungguhnya pemerintah daerahlah yang lebih banyak memiliki
kompetensi, energi dan kesempatan dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi,
politik, social dan budaya. Maka dari itu, pemerintahan daerah dalam mengelola Sumber Penerimaan Keuangan Daerah
harus optimal, efektif dan efisien serta dapat dipertanggung jawabkan. Terlebih pada dasarnya
wujud keuangan negara pada pemerintah pusat hampir sama dengan wujud keuangan
negara pada pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari komponen atau klasifikasi
aset, utang, ekuitas, belanja dan pembiayaan negara pada pemerintah pusat yang
sama dengan komponen atau klasifikasi aset, utang, ekuitas, belanja dan
pembiayaan daerah pada pemerintah daerah. Namun, perbedaannya terletak pada
struktur pendapatan antara pendapatan negara dan pendapatan daerah. Jika
komponen pendapatan negara pada pemerintah pusat yang tergambarkan dalam APBN
terdiri dari pendapatan perpajakan, pendapatan negara bukan pajak dan
pendapatan hibah, berbeda dengan komponen pendapatan daerah sebagaimana pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu terdiri dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain
.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka Penulis
berusaha menghimpun beberapa masalah yang akan digunakan untuk menganalisis
tentang Sumber Penerimaan Keuangan Daerah berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasi dalam beberapa
pertanyaan sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud pemerintahan daerah?
2.
Apa yang dimaksud dengan keuangan daerah dan pendapatan
daerah ?
3.
Apa macam-macam sumber penerimaan keuangan
daerah?
4.
Bagaimana mekanisme penerimaan sumber keuangan
daerah?
5.
Mengapa perlu dilakukan pengawasan terhadap sumber
penerimaan keuangan daerah?
6.
Bagaimana mekanisme pengawasan sumber penerimaan keuangan
daerah?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Menjelaskan tentang pengertian pemerintah daerah
2.
Menjelaskan tentang keuangan daerah dan
pendapatan daerah
3.
Menjelaskan sumber-sumber penerimaan daerah.
4.
Memahami mekanisme penerimaan sumber keuangan
daerah
5.
Menjelaskan mekanisme pengawasan sumber
penerimaan keuangan daerah.
Dengan tujuan tersebut, penulis dapat
memperoleh gambaran bagaimana kebijakan pemerintah daerah secara substansial
dapat mewujudkan tata kelola
daerah yang mampu
mendorong pemerintahan daerah
yang efektif dalam pembangunan dan upaya meningkatkan kemakmuran masyarakat.
D.
Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan
manfaat penelitian sebagai berikut:
1.
Manfaat akademis
·
Dapat menjadi
bahan masukan dalam
pengembangan ilmu administrasi
publik dalam tata
kelola sumber penerimaan
keuangan daerah untuk menciptakan pemerintahan yang “good governance” dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
·
Dapat
mengkaji kebijakan serta permasalahan yang berhubungan dengan sumber penerimaan
keuangan daerah.
·
Untuk
memperluas wawasan dan pandangan mahasiswa tentang permasalahan terhadap
pengalokasian sumber penerimaan keuangan daerah.
2.
Manfaat praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran kepada pemerintah daerah bagaimana undang-undang pemerintahan daeah telah mengatur good
governance sehingga dapat
dijadikan pertimbangan dalam
penyusunan kebijakan turunannya ataupun
perbaikan kebijakan tata
kelola daerah terkait
pengelolaan dana selanjutnya.
BAB II
Definisi
Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana terdapat
pada Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut:
“Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Melihat
definisi pemerintahan daerah yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud
pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang menjadi
urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.
B. Keuangan
Daerah Dan Pendapatan Daerah
Keuangan Daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan keuangan
daerah adalah keseluruhan kegiatan yang selalu terkait dengan perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Pendapatan daerah adalah semua
hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode
tahun anggaran yang bersangkutan. (UU.No 23 Tahun 2014
tentang pemerintahan daerah), pendapatan daerah berasal dari penerimaan dari
dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu sendiri yaitu
pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.
C. Sumber
Keuangan Daerah
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan
Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang
bersumber dari pelaksanaan hak dan kewajiban pemerintah daerah, serta
pemanfaatan potensi atau sumber daya daerah, baik yang dimiliki oleh Pemerintah
daerah maupun yang terdapat di wilayah daerah bersangkutan, yang mana
pemungutannya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. PAD bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi, yang mana Komponennya
terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah
yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
A. Pajak
Daerah
Pajak
Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dasar
hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku saat ini adalah
UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam
Undang-Undang tersebut pajak daerah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu pajak
provinsi dan pajak kabupaten/kota. Yang termasuk pajak daerah untuk provinsi
adalah:
·
Pajak Kendaraan Bermotor.
·
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
·
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
·
Pajak Air Permukaan.
·
Pajak Rokok.
Sedangkan
yang termasuk pajak daerah untuk kabupaten/kota terdiri atas:
·
Pajak Hotel
·
Pajak Restoran
·
Pajak Hiburan
·
Pajak Reklame
·
Pajak Penerangan Jalan
·
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
·
Pajak Parkir
·
Pajak Air Tanah
·
Pajak Sarang Burung Walet
·
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan
Perkotaan
·
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Berkaitan
dengan pemungutan pajak daerah, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk
menentukan tarif pajak daerah sesuai keputusan bersama antara pemerintah daerah
dengan DPRD, sepanjang tidak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan.
Sedangkan untuk melakukan pemungutan pendapatan daerah yang bersumber dari
pajak daerah merupakan wewenang dan tanggungjawab Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) atau Biro Keuangan pada Pemerintah Provinsi
atau Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing.
B. Retribusi
Daerah
Retribusi
daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau Badan. Perbedaan utama antara pajak daerah dan
retribusi daerah terletak pada imbal jasanya. Pada saat membayar pajak daerah,
pihak yang membayar pajak (wajib pajak) tidak langsung mendapatkan imbalan pada
saat melakukan pembayaran, berbeda dengan retribusi daerah. Pembayaran
retribusi daerah dapat dilakukan jika pembayar retribusi (wajib retribusi)
telah mendapatkan pelayanan atau keperluannya telah difasilitasi oleh pemerintah
daerah.
Objek
retribusi adalah jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu yang disediakan
atau diberikan oleh pemerintah daerah. Untuk itu, retribusi dapat digolongkan
ke dalam 3 jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi
Perizinan Tertentu.
1. Retribusi
Jasa Umum
Objek
Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah
Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan, yang antara lain terdiri dari: Retribusi Pelayanan
Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi Penggantian
Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan
Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum,
Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi
Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta,
Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus, Retribusi Pengolahan Limbah
Cair, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Selain
jenis Retribusi diatas, baik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota
dapat menetapkan retribusi jasa umum lainnya, sepanjang telah ditetapkan pada
peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.Retribusi
Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi
Perizinan Tertentu.
2.Jasa
yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
3.Jasa
tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan
membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
4.Jasa
tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar
retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu.
5.Retribusi
tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya.
6.Retribusi
dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah yang potensial,
7.Remungutan
retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau
kualitas pelayanan yang lebih baik.
2.Retribusi
Jasa Usaha
Objek
Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah
dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
1. Pelayanan
dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara
optimal.
2.Pelayanan
oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak
swasta.
Jenis
Retribusi Jasa Usaha antara lain terdiri dari: Retribusi Pemakaian Kekayaan
Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan,
Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat
Penginapan/Pesanggrahan/Villa, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi
Pelayanan Kepelabuhanan, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga,
Retribusi Penyeberangan di Air, dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengembangkan
Retribusi Jasa Usaha, sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Retribiusi
Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau
Retribusi Perizinan Tertentu.
2. Jasa
yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya
disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang
dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah
Daerah.
3. Perizinan
Tertentu
Objek
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh
Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan
Tertentu antara lain terdiri dari: Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan
(HO), Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Pemerintah
daerah diperbolehkan untuk menetapkan retribusi perizinan tertentu lainnya,
sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1.
Perizinan tersebut termasuk kewenangan
pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi.
2.
Perizinan tersebut diperlukan guna melindungi
kepentingan umum.
3.
Biaya yang menjadi beban Daerah dalam
penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari
pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi
perizinan.
Sama
halnya dengan pemungutan PNBP, pemungutan retribusi dapat dilakukan oleh Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selain DPPKAD, sepanjang masih dalam
kewenangannya dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan.
D.
Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Kekayaan
daerah yang dipisahkan adalah bagian dari aset pemerintah daerah yang digunakan
sebagai penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan atau badan usaha,
baik badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) maupun badan usaha milik
swasta atau kelompok usaha masyarakat. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan berupa bagian laba yang dibagikan (deviden) dari perusahaan atau
badan usaha yang bersangkutan, yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.Bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.
b.Bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN.
c.Bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
E. Lain-lain
PAD yang sah.
Lain-lain
PAD yang sah merupakan pendapatan daerah yang tidak dapat dikategorikan sebagai
pajak daerah, retribusi dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
namun masih termasuk dalam kategori PAD. Lain-lain PAD yang sah dirinci menurut
obyek pendapatan yang mencakup:
a. Hasil
penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan.
b. Jasa
giro.
c. Pendapatan
bunga.
d. Penerimaan
keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
e. Penerimaan
komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
f. Penerimaan
atas tuntutan ganti kerugian daerah.
g. Pendapatan
denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
h. Pendapatan
denda pajak daerah.
i. Pendapatan denda retribusi.
j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan.
k. Pendapatan
dari pengembalian.
l. Pendapatan dari pemanfaatan fasilitas sosial
dan fasilitas umum.
m.Pendapatan
dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
n. Pendapatan
dari angsuran/cicilan penjualan.
F. Dana
Perimbangan
Perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien
dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari
sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas
kewenangan pemerintahan pusat yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan
kepada Daerah.
Dana
Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam
mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Pendanaan tersebut menganut
prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa
pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Dana
Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri
atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari
Pemerintah pusat serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
1. Dana
Bagi Hasil (DBH)
Dana
Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan
kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan
potensi daerah penghasil. Pada dasarnya, selain dimaksudkan untuk menciptakan
pemerataan pendapatan daerah, DBH juga bertujuan untuk memberikan keadilan bagi
daerah atas potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini, walaupun pendapatan atas
pajak negara dan pendapatan yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA)
merupakan wewenang pemerintah pusat untuk memungutnya, namun sebagai daerah
penghasil, pemerintah daerah juga berhak untuk mendapatkan bagian atas
pendapatan dari potensi daerahnya tersebut.
Dana
Bagi Hasil yang bersumber dari pajak negara, meliputi:
A. Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk
daerah meliputi 16,2% untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, 64,8% untuk daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota, dan 9%
untuk biaya pemungutan.
Sedangkan 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB
dibagikan kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota yang didasarkan atas
realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebesar 65%
dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota, dan sebesar
35% dibagikan sebagai intensif kepada daerah Kabupaten dan Kota yang realisasi
tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
B.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dana Bagi Hasil dari
penerimaan BPHTP sebesar 80% dengan rincian 16% untuk daerah Provinsi yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, dan 64% untuk
daerah Kabupaten dan Kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
Kabupaten/Kota. Sedangkan 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTP dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten dan Kota.
C. Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan PPh Pasal 21
Dana Bagi Hasil dari
penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
PPh Pasal 21 merupakan bagian daerah adalah sebesar 20% yang dibagi antara
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dimana 60% untuk Kabupaten/Kota
dan 40% untuk Provinsi.
Sedangkan
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam, meliputi:
A.Sektor
Kehutanan
Penerimaan dari sektor
Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 60% untuk daerah. Sedangkan
penerimaan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60%
untuk Pemerintah dan 40% untuk daerah.
B.Sektor
Pertambangan umum
Dana Bagi Hasil dari
penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.
C. Sektor
Perikanan
Dana Bagi Hasil dari
penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20%
untuk Pemerintah dan 80% untuk seluruh Kabupaten dan Kota.
D. Sektor
Pertambangan minyak bumi
Penerimaan pertambangan
minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya
alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan imbangan 84,5% untu
Pemerintah dan 15,5% untuk daerah.Dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi
untuk daerah sebesar 15% dibagi dengan imbangan 3% dibagikan untuk provinsi
yang bersangkutan, 6% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 6% dibagikan
untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.Sedangkan sisa
dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah yang sebesar 0,5%
dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan
untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota
penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan
E. Sektor
Pertambangan gas bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke
daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi
dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk
daerah.
Dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah
sebesar 30% dibagi dengan imbangan 6% dibagikan untuk provinsi yang
bersangkutan, 12% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 12% dibagikan
untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi bersangkutan.
Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi
untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan
dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan
untuk Kabupaten/Kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan
F. Sektor
Pertambangan panas bumi.
Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah
daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak, dibagi
dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.
Dana bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi
yang dibagikan kepada daerah dibagi dengan imbangan 16% untuk Provinsi yang
bersangkutan, 32% untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 32% untuk Kabupaten/Kota
lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan.
Besarnya
proporsi dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
tergantung dari jenis pendapatan. Begitupula antara pemerintah daerah provinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota proporsinya tidak merata untuk setiap jenis
pendapatan.
2. Dana
Alokasi Umum (DAU)
Dana
Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang bertujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah atau mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antar-daerah melalui penerapan formula tertentu. DAU suatu
daerah ditentukan atas alokasi dasar dan besar kecilnya celah fiskal (fiscal
gap) suatu daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai
negeri sipil daerah (belanja pegawai daerah) pada daerah yang bersangkutan.
Sedangkan celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal
need) dan potensi daerah (fiscal capacity).
Kebutuhan
daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan
dasar umum yang dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah
penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat
pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari
Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam.
Alokasi
DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil
akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi
fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU
relatif besar, yang mana secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi
DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Begitupula jika dibandingkan
dengan alokasi dasar, daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol
menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif
dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar
alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Sedangkan daerah yang
memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih
besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
Pemerintah
pusat bertugas untuk merumuskan formula dan melakukan penghitungan DAU dengan
berdasarkan data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan/atau lembaga pemerintah yang
berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu,
jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam
persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
3. Dana
Alokasi Khusus (DAK)
Dana
Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dimaksudkan
untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk
membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum
mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
Pemerintah
pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan
kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan
Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Sedangkan kriteria
teknis ditetapkan oleh kementerian teknis pelaksana program/kegiatan.
Berbeda
dengan daerah penerima DBH dan DAU, daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana
Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana
Pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD pada periode bersamaan dengan dianggarkannya
DAK dalam APBN. Namun, untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu atau
daerah yang selisih antara penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama
dengan 0 (nol) atau negatif, tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping
tersebut.
G.
Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintah pusat melalui kementerian negara/lembaga
kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Dana Dekonsentrasi merupakan dana yang
berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah yang
mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal
pusat di daerah. Dana Dekonsentrasi merupakan bagian dari anggaran kementerian
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja kementerian
negara/lembaga dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang
ditetapkan Gubernur. Gubernur memberitahukan kepada DPRD tentang kegiatan
Dekonsentrasi.
Pendanaan
dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan bersifat non-fisik,
yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang tidak menambah aset
tetap. Dapat ditunjang dengan subkegiatan bersifat fisik,
dan tidak melebihi 25% dari total anggaran kegiatan yang bersangkutan.Kegiatan
yang bersifat non-fisik antara lain berupa sinkronisasi dan
koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan,
supervisi, penelitian dan survey, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian.
Dalam
pelaksanaan dekonsentrasi, Gubernur wajib mengusulkan daftar SKPD yang
mendapatkan alokasi dana dekonsentrasi kepada kementerian negara/lembaga yang
memberikan alokasi dana, untuk ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Barang. Apabila Gubernur tidak menyampaikan usulan daftar SKPD,
kementerian negara/lembaga dapat meninjau kembali pengalokasian dana
dekonsentrasi.
Dana
Tugas Pembantuan merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh
daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
tugas pembantuan. Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran
kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja
kementerian negara/lembaga dan dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh
Gubernur, Bupati, atau Walikota. Tugas Pembantuan adalah penugasan pemerintah
kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain, dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Pemerintah Daerah memberitahukan adanya Tugas Pembantuan kepada DPRD.
Pendanaan
dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan bersifat fisik, yaitu
kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah aset tetap. Dapat
ditunjang dengan subkegiatan bersifat non-fisik, dan tidak melebihi
10% dari total anggaran kegiatan yang bersangkutan. Kegiatan yang
bersifat fisik antara lain pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin,
jalan, irigasi dan jaringan, serta dapat berupa kegiatan yang bersifat fisik
lainnya. Kegiatan yang bersifat fisik lainnya antara lain pengadaan
barang habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk,
atau sejenisnya, termasuk barang bantuan sosial yang diserahkan kepada
masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat.
Dalam
pelaksanaan Tugas Pembantuan, Kepala Daerah wajib mengusulkan daftar SKPD yang
mendapatkan alokasi dana Tugas Pembantuan kepada kementerian negara/lembaga
yang memberikan alokasi dana, untuk ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Barang. Apabila Kepala Daerah tidak menyampaikan usulan
daftar SKPD, kementerian negara/lembaga dapat meninjau kembali pengalokasian
Dana Tugas Pembantuan.
2. Dokumen
Pelaksanaan Anggaran dan Mekanisme Penyaluran Dana
Dalam
melaksanakan anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan harus berdasarkan
dokumen pelaksanaan anggaran yang disebut dengan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA). Dokumen pelaksanaan anggaran tersebut memuat alokasi anggaran
yang disediakan kepada pengguna anggaran. Alokasi anggaran pendapatan disebut
Estimasi pendapatan yang dialokasikan dan alokasi anggaran belanja disebut allotment.
Dalam dekonsentrasi dan tugas pembantuan, belanja membebani anggaran setelah
barang/jasa diterima.
Mekanisme
Pencairan dan Penyaluran Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan tetap
memperhatikan PMK No. 156/PMK.07/2008 tentang pedoman pengelolaan dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. PenyaluranDana
Dekonsentrasi /Tugas Pembantuan dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara
(KUN). DIPA yang telah disahkan disampaikan kepada SKPD penerima Dana
Dekonsentrasi / Dana Tugas Pembantuan sebagai dasar dalam penerbitan Surat
Perintah Membayar (SPM). Penerbitan SPM oleh SKPD selaku Kuasa Pengguna
Anggaran didasarkan pada alokasi dana yang tersedia dalam DIPA untuk
Dekonsentrasi/DIPA untuk Tugas Pembantuan. Kepala SKPD yang menerima Dana
Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuanmenerbitkan dan menyampaikan SPM kepada
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku kuasa Bendahara Umum Negara.
Setelah menerima SPM dari SKPD, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara setempat
menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Ketentuan lebih lanjut yang
berkaitan dengan pencairan dan penyaluran Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas
Pembantuan berpedoman pada Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor:
Per-66/PB/2005 yang mengatur mengenai mekanisme pembayaran atas beban APBN
Dalam
hal pelaksanaan Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan terdapat sisa dana
yang sudah ditarik dari kas negara dan tidak digunakan pada akhir tahun anggaran,
SKPD wajib menyetorkan dana tersebut ke Rekening Kas Umum Negara. Dalam hal
pelaksanaan Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan menghasilkan penerimaan,
penerimaan dimaksud wajib disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sepanjang hasil pelaksanaan Dana
Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan tersebut belum dihibahkan.
C.
Pengawasan Penggunaan Keuangan Daerah
1. Pengertian Pengawasan
Jika berbicara tentang pengawasan, biasanya
yang dimaksudkan adalah salah satu fungsi dasar manajemen atau dalam bahasa
inggris dikenal dengan sebutan controlling. Dan bila dilihat dalam bahasa
Indonesia, fungsi controlling ini mempunyai 2 (dua) padanan/pengertian yaitu
pengawasan dan pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit diartikan sebagai
segala sesuatu atau segala kegiatan umutuk mengetahui dan melihat
kenyataankenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan,
apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun pengendalian itu
pengertiannya adalah segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan
agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya.
Perbedaan antara pengawasan (arti sempit) dan pengendalian terletak pada
kewenangan untuk melakukan tindakan korektif. Pengendali atau pimpinan memiliki
wewenang untuk melakukan tindakan korektif, baik terhadap manusia sebagai
pelaksana maupun terhadap sistem yang berlaku dalam organisasi. Menurut Sujamto
sebagai berikut : Bahwa dari fungsi controlling atau pengawasan dalam arti luas
yang terdiri dari pengawasan dalam arti sempit dan pengendalian, ada bagian
yang dapat didelegasikan kepada bawahan dan yang tidak didelegasikan yaitu
pengendalian. Sedangkan yang dapat didelegasikan yaitu fungsi pengawasan.
Pengawasan dalam arti sempit inilah yang disebut pengawasan fungsional. Dengan
adanya pengawasan maka tugas pelaksanaan dapat dipermudah dan menjadi ringan karena
para pelaksana tidak mungkin dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan
yang diperbuat dalam kesibukan sehari-hari. Pengawasan bukan dalam hal ini
sekedar untuk mencari kesalahan atau ada untuk melihat mana yang salah dan mana
yang benar akan tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan. Menurut Y.W
Sinindhia, dapat dikemukakan hal-hal menyangkut pengawasan pelaksanaan pembangunan
didaerah-daerah sebagai berikut :
a. Fungsi pengawasan, pengawasan adalah salah
satu fungsi manajemen disamping fungsi-fungsi masyarakat lainnya, yaitu staf
dan perencanaan dan pelaksanaan.
b. Prinsip-prinsip pengawasan, pengawasan
merupakan suatu proses yang terus menerus yang dilaksanakan dengan jalan
mengulangi secara teliti dan periodik. Didalam melakukan pengawasan haruslah
diutamakan adanya kerja sama dan dipeliharanya rasa kepercayaan.
Sistem pengawasan sangat menentukan
kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan
otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun
tata cara pelaksanaannya. Karena hal-hal seperti memberlakukan prinsip
“pengawasan umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi
kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan makin sempit
kemandirian daerah. Makin sempit kemandirian makin terbatas otonomi. Akan
tetapi dalam hal ini, tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan
pengawasan. Hal ini dikarenakan bahwa kebebasan berotonomi dan pengawasan
merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga
keseimbangan bandul antara kecendrungan desentralisasi dan sentralisasi yang
dapat berayun berlebihan. UU No. 22 Tahun 1999 tentang keuangan pemerintahan
daerah, sangat mengendorkan sistem pengawasan. Dapat dilihat pada penjelasan tersebut
disebutkan : “….sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif
untuk memberi kebebasan kepada daerah otonomi dalam mengambil keputusan serta
memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsi sebagai badab pengawas
terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu peraturan daerah yang
ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat
yang berwenang”. Berdasarkan hal di atas yang menarik bahwa, dalam penjelasan
pasal ini dinyatakan bahwa meniadakan syarat pengesahan (preventief toezicht)
dapat mengakibatkan masalah. Dalam artian bahwa, bagaimanakah kalau peraturan
daerah melampaui wewenang (ultra vires)? Maka gugatan ke pengadilan adalah hal
atau cara yang dapat ditempuh. Permasalahan yang lain yaitu bagaimana kalau
tidak ada yang mempersoalkan? Dari penjelasan permasalahan diatas maka
sebenarnya, bukan hal yang tepat untuk meniadakan pranata pengesahan itu yang
lebih penting tetapi yang perlu sekali diatur adalah tata cara pengesahan agar
kemandirian tetap terjamin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
Peraturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
ternyata pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan
urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh
pemerintah daerah dan DPRD. Sedangkan
keuangan
daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban. Pemegang
Kekuasaan Pengelolaan sumber pendapatan keuangan daerah adalah kepala daerah
dan para perangkatnya dimana mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan
pengelolaan keuangan daerah. Disamping itu, dengan adanya sumber pendapatan keuangan
daerah yang salah satunya berasal dari bantuan pemerintah pusat maka
diharapkan pemerintah daerah memang harus bisa lebih efisien dalam mengelola
keuangannya agar anggaran dana dari pemerintah pusat yang sudah dianggarkan
sebelumnya bisa tercukupi dengan baik. Walaupun pemerintah pusat sudah
memberikan instruksi bahwa ketika keuangan daerah mengalami
kekurangan bisa meminta ke pemerintah pusat, tetapi secara langsung hal
ini bisa membuat kondisi keuangan pusat yang semakin berkurang dan secara tidak
langsung akan membuat kemandirian suatu daerah dalam mengelola keuanganya akan
menjadi terhambat.
Ini
menandakan bahwa dalam pengelolaan sumber penerimaan keuangan daerah sebaiknya
diatur secara ketat oleh peraturan pemerintah
daerah agar tidak terjadi penyimpangan terkait dengan sumber tesebut. Pengelolaan
sumber penerimaan keuangan daerah tidak sebatas hanya membagi dana dan
mengalokasikannya saja, tetapi juga mengandung makna gerakan sebuah daerah
dalam penyusunan rencana, melaksanakan kegiatan, serta mempertanggung jawabkan
kepada pemerintah pusat dan masyarakat. Ini tentu diperlukan persiapan teknis
yang matang, tidak saja oleh pemerintah daerah tetapi juga perangkat pemerintah
lainnya. Tentunya, dibutuhkan kesepahaman dan kesepakatan berbagai pihak,
karena setiap daerah akan membawa kebiasaan masing-masing. Karena pengelolaan sumber
penerimaan keuangan daerah akan baik apabila proses implementasi, proses
evaluasi dilaksanakan secara jujur, transparan, dan bertanggungjawab.
B.Saran
Dalam mengelola
APBD, seharusnya pemerintah daerah tetap berpedoman pada aturan yang ada, jika
ada kesulitan jangan segera konsultasikan ke tim pengendali atau tim pengawas
tingkat kabupaten untuk di musyawarahkan terlebih dahulu yang selanjutnya
prinsip pengelolaan dana tersebut harus dipegang teguh, dimana APBD dilaksanakan secara
transparan diketahui oleh masyarakat luas dan yang paling penting masyarakat
harus berperan aktif mulai proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pemeliharaan terkait sumber pendapatan daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
·
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
·
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
·
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
·
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah.
·
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
·
Darise, Nurlan. 2009. Pengelolaan
Keuangan Daerah. Edisi 2. Jakarta: Indeks Permata Puri Media.
·
Westra, Pariata.1976. Fungsi Dan Mekanisme Pengawasan Keuangan Negara R.I. Yogyakarta:
Balai Pembinaan Administrasi, Universitas Gadjah Mada.
·
Najih,
Mokhammad & Soimin. 2012. Pengantar
Hukum Indonesia. Malang:Setara Press.
No comments:
Post a Comment