1.1 Pendahuluan
Pada
millenium ketiga ini, perkembangan kota-kota akan menunjukkan gejala yang khas,
yaitu terjadinya penggabungan kota-kota sehingga terbentuk kota yang sangat
besar baik dalam ukuran spasial maupun jumlah penduduknya. Beberapa negara maju
telah mengalami gejala tersebut, begitu pula negara berkembang. Di negara maju
perkembangan spasial dan peningkatan jumlah penduduk cenderung berasosiasi
dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang paralel. Perkembangan
disulut oleh revolusi industri dimana semua aspek kehidupan telah terkena
imbasnya, seperti mekanisme pertanian di pedesaan disatu sisi telah berpengaruh
secara signifikan terhadap pemanfaatan tenaga kerja, sehingga banyak tenaga
kerja yang tergantikan oleh tenaga alat-alat pertanian bermesin, akibatnya
banyak pengangguran yang terjadi. Di sisi lain, perkotaan terjadi perkembangan
industri secara besar-besaran yang akan meningkatkan tuntutan kebutuhan tenaga
kerja yang sangat banyak.
Pengangguran yang terjadi di daerah perdesaan yang
banyak seolah-olah seperti bendungan yang mendapat outlet untuk mengalir ke
luar dalam bentuk pengaliran penduduk perdesaan ke kota-kota terdekat untuk
bekerja di lapangan kerja baru di bidang kegiatan industri. Pengaliran penduduk
dari desa ke kota yang terjadi secara masif di negara-negara Eropa sebagian
besar langsung dapat diserap didalam sektor industri yang baru berkembang,
sehingga kemajuan perekonomian negara dengan jelas akan terlihat dan akan
berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Di daerah perdesaan terjadi
peningkatan pengangguran, namun di perkotaan terjadi peningkatan working opportunity yang terjadi dalam
kurun waktu yang tidak terlalu lama selang waktunya. Di daerah perdesaan
terjadi peningkatan produksi dan produktivitas pada sektor pertanian, sedangkan
di daerah perkotaan pada sektor perindustrian.
Hal inilah yang oleh beberapa negara berkembang
dianggap sebagai suatu paradigma untuk membangun negerinya, dengan menekankan
pada pembangunan industri sebagai tahap awal kemajuan negaranya, sehingga
proses industrialisasi sangat marak di negara berkembang pada dua sampai tiga
dekade sebelum berakhirnya abad 20. Industrialisasi ditekankan untuk
memproduksi barang-barang substitusi import, sedangkan kemampuan daya beli
masyarakatnya masih rendah, pemasaran dalam negeri dengan cepat menjadi jenuh
dan mulai mengalihkan kebijakan pemasarannya ke luar negeri, namun harus
bersaing dengan negara lainyang kualitas produksinya lebih baik, maka
perdagangan ke luar negeri juga mengalami gangguan yang sangat signifikan.
Akibatnya, industri yang telah dibangun mengalami kemunduran.
Industrialisasi yang ditekankan didaerah perkotaan
tersebut mempunyai dampak spasial yang besar pula terhadap perkembangan kota
sehingga terkesan bahwa telah terjadi perkembangan perekonomian yang sangat
signifikan. Awalnya memang terlihat gejala peningkatan, namun pada tahap
berikutnya muncul gejala balik yang negatif dari pembangunan tersebut, karena
sektor kedesaan tidak mendapatkan perhatian secara proporsional. Kemiskinan di
daerah perdesaan disatu sisi dan pembangunan kota yang terlihat hebat disisi
lain, telah mengakibatkan pengaliran penduduk petani dari daerah perdesaan
untuk mencoba keberuntungannya dikota yang dianggap menjanjikan. Dengan
berbekal ketrampilan dan pendidikan yang sangat minim mereka sangat sulit dapat
terserap pada sektor formal dikota. Jelaslah kiranya terlihat perbedaan utama
terjadinya pergerakan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan yang
masif antara negara maju dan negara berkembang. Di negara berkembang peranan propelling forces jauh lebih dominan
daripada attracting forces. Salah
satu kesamaan yang muncul, berkaitan dengan proses perkembangan fisikal
kekotaan adalah makin besarnya jumlah penduduk kota secara signifikan dan hal
inilah yang juga mempunyai andil terbentuknya megapolitan.
1.1.1
Megapolis
di Amerika Serikat
Salah
satu megapolis yang terkenal di Amerika Serikat adalah koalisi beberapa kota
yang terletak dibagian wilayah timur laut sampai ke tepi laut Atlantik, yang
membentang dari kota Boston, Massachusetts sampai ke kota Richmond, Virginia. Penggabungan
kota-kota tersebut memang tidak sepenuhnya membentuk kenampakan kekotaan secara
masif, kompak dan contiguous namun
ada beberapa bagian diantaranya masih berujud lahan-lahan terbuka yang terisi
oleh lahan terbuka hijau, baik berupa lahan pertanian atau lahan yang tertutup
vegetasi alami lainnya. Secara ekonomi wilayah ini telah membentuk suatu
kesatuan yang solid dengan sistem transportasi dan komunikasi yang padat dan
menghubungkan berbagai simpul-simpul kegiatan yang berada dalam jaringan
kegiatan suatu kota yang sangat besar atau megapolis tersebut. Intensitas
hubungan antara pusat kegiatan yang satu dengan pusat kegiatan lainnya
mempunyai tingkat yang berbeda-beda tergantung pada berbagai hal, antara lain
besar kecilnya aglomerasi penduduk yang ada, banyak sedikitnya variasi kegiatan
yang ada, besar dan kecilnya aksesibilitas simpul-simpul tersebut. Sistem kehidupan kekotaan benar-benar
terpisah dengan sistem kehidupan kedesaan. Wilayah megapolitan dibagian timur
laut Amerika Serikat ini meliputi atau menjangkau wilayah yang sangat luas,
sehingga kesatuan ekonomi yang sangat mencolok terlihat menyatu antara peri-kegiatan
oertanian yang terletak diantara kota-kota besar dengan kegiatan kekotaan yang
ada.
1.1.2
Megapolis
di Jepang
Suatu
penggabungan kota-kota juga terjadi di Jepang antara Kota Tokyo dibagian utara
sampai ke kota Osaka diantara bagian selatan. Koalisi kota-kota tersebut
terletak dibagian timur Pulau Hokkaido yang berbatasan dengan Laut Pasifik.
Kota-kota yang menyatu sebagai megapolis meliputi kota-kota besar Tokyo,
Yokohama, nagoya, Kobe dan Osaka. Wilayah ini membentang dari utara ke selatan
hampir mencapai 400 kilometer dengan rentangan antara 50 sampai 75 kilometer.
Perkembangan megapolis di Jepang menunjukkan ciri
yang sangat berbeda dengan perkembangan megapolis yang terjadi di Amerika
Serikat. Perbedaan ini terlihat pada perkembangan wilayah yang terletak
diantara kota-kota besar yang ada (wilayah antara). Wilayah antara di Amerika
didominasi oleh kepadatan penduduk yang angat jarang dan bahkan tidak
berpenghuni, tetapi di Jepang didominasi oleh kepadatan penduduk yang sangat
tinggi. Megapolis di Jepang menunjukkan adanya gejala penyebaran lokasi
industri-industri yang merata, sehingga makin memantapkan keterkaitan
fungsional antarpusat-pusat kegiatan yang terbentuk, karena ada kecenderungan
terciptanya spesialisasi industri. Gejala megapolitanisasi di Jepang sangat
disadari benar oleh negara dan beberapa pemerintah daerah bahwa lambat atau
cepat hal tersebut akan melibatkan kota-kota lain yang saat ini belum secara
fisikal menjadi bagian dari sebuah megapolis.
1.1.3
Megapolis
di China Daratan
Adanya
kebijakan baru di China dengan inustrialisasi pedesaan yang berbasis pertanian
(rural industries) telah mengubah
wajah daerah pedesaan menjadi semi kekotaan sejalan dengan meningkatnya
penghasilan dan standar kehidupan penduduknya, khususnya daerah pedesaan yang
dekat dengan kota-kota besar. Dari sekian banyak daerah yang mengalami
perkembangan hanya daerah di sekitar delta Sungai Ynag Tze Kiang yang
mengalamierubahan paling cepat. Daerah ini merupakan bagian dari Provinsi
Jangsu bagian selatan. Perkembangan ini oleh pakar dipakai sebagai salah satu
“model” perkembangan wilayah dan dianamakan segabai Sunan model (Southern Jiangsu Model).
Model ini menjelaskan perkembangan desa diawali oleh
perbaikan sistem transportasi yang baik dan menghubungkan kota-kota di bagian
ini. Mobilitas barang, orang dan jasa semakin baik sehingga pemasaran produk
wilayah dapt dilakukan dengan lancar ke luar daerah. Peningkatan pendapat
pentani dari agrikultur terlihat signifikan dan mampu membiayai perkembangan
industri di wilayahnya, selain itu keterampilan dan pendidikan keluarga juga
semakin meningkat sehingga dapat bekerja pula di luar usaha pertanian di
kota-kota terdekat pada sektor industri. Remitan yang dibawa keluarga petani
yang bekerja di kota-kota terdekat di bidang industri
adalah pengetahuan dan keterampilan baru di bidang industri sehinga membuka
kesempatan baru untuk “transfer of
technology” ke daerah asal mereka.
Pada tahap perkembangannya muncul upaya spesialisasi
produk, seperti penanaman kapas kemudian dipasok ke pabrik tekstil setempat dan
daerah ini telah menjadi wilayah penghasil tekstil terbesar di China dan
produksi mulberry. Dari kota Nanjing,
Zhenjiang dan Yengshau dibagian barat dan kota-kota Yangzhong, Changshou dan
Loyang dibagian tengah wilayah delta sampai ke kota-kota Nantong,Wuxi,
Changshu, Suzhou dan Shanghai dibagian timur delta telah berkembang sistem
transportasi dan komunikasi yang baik dan membentuk daerah kekotaan yang besar
sebagaimana sebuah megapolis.
Daerah sunan tidak menunjukkam perubahan
administratif, namun dibagian ini terjadi perubahan yang signifikan yang
berkenaan dengan organisasi keruangannya, dimana terbentuk kota raya Yan Cheng
yang merupakan gabungan dari 7 kota-kota kecil disekitarnya. Hal ini
ditrencanakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi regional yang optimum. Dalam
jaringan kekotaan ini, kota-kota kecil direncanakan seabagai basis pengembangan
ekonomi regional (city based regional
economic development). Kota yang lebih besar berfungsi sebagai pengontrol
perkembangan wilayah. Rencana pengembangan kota yang didasarkan pada city based regional economic development tidak
terjadi secara merata di seluruh wilayah di China. Kota-kota kecil mempunyai
keterkaitan fungsional dibidang ekonomi yang sangat intensif dengan kota-kota
besar yang ada.
Interaksi antar kota dan pedesaan terjalin semakin
intensif dalam hal interaksi ekonomi, sosial dan kultur dan integrasai sistem
kehidupan kedesaan ke sistem kekotaan semakin tampak dengan meningkatnya peran
kota-kota kecil dan menengah sebagai countermagnets
baru disamping kota-kota besar yang ada. Hal ini memunculkan kecendrungan yang
baru yang disebut decentalizedurbanization
yang menandai wilayah disekitar kota-kota besar dan gejala ini menandai
kota-kota besar di Asia pada umumnya termasuk Indonesia.
Apabila pengelolaan kota dapat dilakukan dengan baik
maka akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
regional bahkan nasional. Hal ini akan berbeda dengan negara perkembangan
ekonomi nasional yang sangat rendah, pengaliran penduduk miskin dari
daerah pedesaan ke daerah perkotaan
dengan tingkat pendidikan dan keterampilannya rendah. Kehadiran migran di kota
akan menjadi bebean berat bagi pemerintah kota. Pencegahan pengalihan migran
ini di lakukan dengan cara meningkatkan kemampuan ekonomi daerah pedesaandan
sekitarnya sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi pekerja dengan
keterampilan rendah dan pendidikan yang tidak memadai.
Di China pemerintah telah berusaha menggalakkan
pembangunan untuk kota-kota yang ada mulai dari kota kecil, menengah hingga
kota besar. Untuk kota menengah dan besar perkembangan ekonomi diberi prioritas
utama dengan cara memperkuat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, berusaha
memperkecil kesenjangan perkembangan antar wilayah dalam bentuk peningkatan
frekuensi dan volume perdagangan. Intgrasi perkembangan wilayah dan kota dapat
terjalin semakin mantap dan spread effect
dari kota-kota semakin signifikan dan peranan kota sebagai kalisator
pembangunan regional dapat tercapat (Ye,1997).
Berdasarkan pengamatan Ginsburg (1997) salah satu
kunci keberhasilan terintegrasinya kota dan desa adalah makin baiknya sistem
transportasi dan komunikas antarkota, antarwilayah, dan antar kota dan wilayah.
Dampak negartif dari terintegrasinya kota dan wilayah pedesaanharus selalu
dilakukan dan dimonitor agar tidak menimbulkan akses yang tidak diinginkan.
Dampak spasial, fiskal, ekonomi, sosial, dan kultural perlu dicermati secara
multidisipliner agar social cost yang
muncul tidak lebih besar dari social
benefits.
1.2 BEBERAPA CONTOH PROMBLEM MEGAPOLIS
NEGARA BERKEMBANG
Tiga
kebutuhan pokok manusia menjadi pokok bahasan yang dikemukan PBB adalah (1)
kebutuhan akan permukiman/ tempat tinggal, (2) kebutuhan air bersih dan
sanitasi, (3) kebutuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Hal ini agar
menjadi perhatian bagi pemerintah yang bersangkutan maupun badan-badan
internasional tertentu dalam mengalokasikan dananya untuk membantu negra-negra
tertentu, khususnya negra-negra berkembang.
Ada beberapa kesamaan yang dihadapi oleh megapolis
di negara berkembang. Persoalan pertama yang mendapat perhatian serius adalah
kurangnya fasilitas perumahan/ pemukiman yang layak bagi penduduk wilayah
megalopolitan. Tingginya angka pertambahan penduduk megapolis di negara
berkembang merupakan hal tersendiri yang memerlukan upaya integrasi yang harus
ditangai terlebih dahulu agar pemenuhan kebutuhan akan perumahan layak bagi
penduduk megapolis dapt terpenuhi.
Beberapa kawasan pemukiman proses densifikasi
bangunan telah mencapai tataran death
point, yaitu suatu tahapan perkembangan pemukiman dimana didalam kawasan
pemukiman yang ada tidak terdapat lagi ruang kosong yang dapat dimanfaatkan
atau diisi dengan bangunan baru karena setiap jengkal lahan telah terisi oleh
bangunan. Dari segi kepadatan bangunan/liputan bangunan tahap death
point merupakan tahapan klimaks dari proses densifikasi.
Akibat keruangan (spatial consequences) yang muncul adalah gejala deteriorisasi
lingkungan, karena kepadatan bangunan yang sangat tinggi dan pada umumnya
kawasan pemukinan seperti ini bangunan yang ada sangat semrawut, ditinjau dari
segi tata letak, ukuran, arsitektur, ketingginan bangunan, jaringan
perlistrikan, jaringan air minum, jaringan jalan pendekatan lingkungan, dan
jaringan sanitasi.
Permasalahan yang kedua yaitu ketersediaan air
bersih dan sanitasi. Dengan pertambahnya jumlah penduduk di kota-kota besar
mengakibatkan meningkatnya konsumsi air bersih. Akibat yang timbul adalah
terjadinya ketimpangan sedemikian besar antara pemasokan air dan pengambilan
air. Bagi megalopolis yang dekat dengan pantai telah terjadi gejala intrusi air
laut yang cukup signifikan. Eksploitasi ait tanah yang berlebihan telah
menurunkan permukaannya sampat taraf yang menghawatirkan sehingga masuknya air
laut ke pedalaman dan mengurangi kapasitas air tanah untuk mensupali air
bersih.
Sanitasi merupakan permasalahan yang tidak kecil.
Kepadatan perumahan yang tinggi dan kemiskinan yang mewarnai sebagan besar
penduduk megapolitan negara berkembang menyulitkan pembangunan sanitasi,
khusunya pada slums. Kelangkaan lahan
kosong menyebabkan penduduk membuang ke saluran air yang tidak lancar
alirannya. Masalah kesehatan dan pendidikan juga merupakan masalah yang
dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang. Golongan masyarakat miskin
dinegara berkembang tidak mampu mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan
karena besarnya biaya yang harus dibayar. Selain itu, besarnya biaya hidup
dikota-kota besar sehingga golongan masyarakat miskin di kota tidak mampu untuk
memerhatikan kualitas makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Subsidi yang
disediakan pemerintah untuk biaya pendidikan tidak mampu menolong masyarakat
miskin.
1.3 UPAYA MANAJEMEN MEGALOPOLITAN :
KASUS NEGARA BERKEMBANG
Ada
empat topik utama yang menjadi perhatian yaitu : (1) strategi spasial untuk
mengatasi perkembangan megapolis yang tidak terkendali, (2) kebijakan
pemerintah kota berkaitan dengan lahan, (3) kebijakan pemerintah kota berkaitan
dengan pelayanan umum, (4) kebijakan pemerintah kota berkenaan dengan pengembangan
institusi.
1.3.1
Strategi
Kebijakan Spasial
Beberapa megalopolis
dunia telah mencoba strategi spasial untuk memperlambat perkembangan spasial
yang bgitu cepat. (1) polycentric
strategy, (2) decentralisation
strategy (3) corridor strategy (4)
directional strategy (5) thematic strategy. Strategi polisentris
adalah suatu upaya untuk menciptakan pusat-pusat kegiatan baru sehingga tekanan
perkembangan spasial tidak hanya tertumpu pada satu kota saja. Kota yang
mencoba mengaplikasikan strategi ini adalah Bombay dan mencoba untuk
menciptakan pusat perkembangan baru yang dikenal dengan New Bmbay. Calcutta dan
Madras mencoba mengaplikasikan strategi desentralisasi dimana kota-kota kecil
yang berada di sekitar kota-kota besar utama diberdayakan agar terjadi
pemerataan pertumbuhan.
Kota
Cairo dan Jakarta mengaplikasikan thematics
strategy dengan mngubah arah perkembangan spasial yang ada dari arah
utara-selatan menjadi timur-barat. Kota Dacca menerapkan corridor strategy dibagian utara kotanya, tetapi hasilnya
menyimpang dari yang diharapkan. Kota Seoul mengadopsi directional strategy yang dipandu dengan peraturan/ kebijakan
tertentu.
1.3.2
Strategi
Kebijakan Lahan
Permasalahan
ketersediaan lahan merupakan maslaah yang tidak dapat disangkal lagi. Di kota
Karachi dan Delhi banyak lahan yang dikuasai oleh publik, namun Bangkok, Seoul,
Manila sebagian lahan kota adalah milik pribadi. Disparitas antara banyaknya
permintaan dan penawaran akan lahan telah mengakibatkan peningkatan harga lahan
yangluar biasa khususnya daerah pinggiran kota.
Sebagian
kota besar lainnya, pada bagian-bagian yang dinilai mempunyai prospek
pengembangan yang bagus pada masa yang akan datang, pada bagian itu akan
bergentayangan apa yang disebut dengan land
speculators. Spekulasi lahan adalah suatu kegiatan yang memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya dari bisnis jual beli lahan dengan cara membeli
lahan dan kemudia dibiarkan idle
sementara waktu atau dibangun untuk peruntuksn tertentu dan dilepas pada saat
harga telah mencapai taraf yang dianggap paling tinggi bagi spekulator.
Spekulator
profesional adalah mereka yang pekerjaannya memang bertransaksi jual beli
lahan, sementara itu untuk spekulator bukan profesional dapat siapa saja,
asalkan mempunyai keinginan untuk menjual lahan miliknya nanti apabila harganya
sudah tinggi, maka golongan ini dapat dianggap sebagai spekulator pula.Para
spekulator hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, sedangkan program
pengembangan tata ruang yang dirumskan oleh pemerintah jelas berorientasi pada
kemasalahan umat, kesejahteraan masyarkat banyak untuk jangka waktu yang
panjang.
Pengaruh
yang kuat dari remitan para pekerja ekspatriat adalah kenaikan permintaan lahan
yang disebabkan karena investasi yang paling menguntungkan adalah membeli
lahan. Sehingga dampaknya tercatat sekitar 40%-60% lebih cepat dari kenaikan
harga barang dan jasa. Selain itu, memicu terjadinya perkembangan
fisiko-spasial kota yang meloncat-loncat. Akibatnya, timbul kesulitan besar
yang dihadapi pemerintah kota dalam membangun jaringan fasilitas serta
pemborosan energy dan materi. Karena lahan mempunyai arti yang sangat strategis
dalam hal pengembangan fisiko-spasial kota, maka perlu kebijakan untuk
mengendalikan suatu pertumbuhan spasial kota, termasuk didalamnya megalopolis.
Seorang
pembuat kebijakan harus memiliki kecerdasan dan kearifan intelektual berkenaan
dengan ide-ide sustainable development,
comprehensive planning dan teknik-teknik manajemen perkotaan. Namun
kebanyakan megalopolis mempunyai masterplan yang tidak relevan dengan kenyataan
di lapangan sehingga terjadi pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Penyebabnya
antara lain ; Sosialisasi dan aplikasi rencana tata ruang dengan perkembangan
riil di lapangan sehingga banyak konsekuensi financial yang akan menimbulkan social upheaval yang diikuti oleh dampak
social, ekonomi dan politik. Kemudian adanya formulasi kebijakan yang sangat
kaku dan tidak fleksibel sehingga tidak member peluang dalam mengikuti
perkembangan di lapangan. Dalam teknik manajemen lahan di megalopolitan negara
berkembang perlu memperhatikan latar belakang social, ekonomi, cultural,
politik dan teknologi karena berbeda dengan negara maju.
1.4 Strategi kebijakan pelayanan kota
Terdapat lima macam
contoh pelayanan kota pada megalopolis negara berkembang;
1.
Pemenuhan
Kebutuhan Perumahan
Disebabkan
oleh ;
·
Tingginya pertumbuhan penduduk
·
Cadangan lahan yang tersisa habis bahka
nyaris hilang
·
Banyaknya pendatang ke kota dengan bekal
pendidikan dan ketrampilan yang rendah
Pembangunan
kebutuhan perumahan yang lebih dekat dengan tempat mereka bekerja menimbulkan
pemadatan yang kemudian menjadi pemukiman kumuh. Secara garis besar ada 2 macam
sikap pemerintah dalam menghadapi permasalahan pengadaan perumahan bagi
golongan the urban poor ini , yaitu
a.
Kebijakan
Perumahan Positif (Positive Housing Policies)
Usaha nyata yang
diambil oleh Pemerintah dalam upaya untuk memecahkan pemenuhan kebutuhan
perumahan. Kebijakan ini dikelompokkan ;
1)
Kebijakan
Reaksioner
Kebijakan ini
dilatarbelakangi oleh adanya percepatan pertumbuhan penduduk sehingga
menimbulkan pemukiman kumuh yang menjadikan citra jelek suatu kota. Ada 2 macam
kebijakan , yaitu;
a) Kebijakan
Preventif
Kebijakan yang
berkaitan dengan pengaliran penduduk dengan batasan-batasan seperti
mensyaratkan penduduknya mempunyai pekerjaan tetap, kartu tanda pengenal dsb.
Kebijakan ini selalu
diterapkan di Negara bekas jajahan yang memusatkan segala kegiatan perekonomian
di ibukota sehingga daerah pedesaan menjadi tidak di perhatikan. Tingginya
tingkat pertambahan penduduk pedesaan, teknologi sederhana dan tradisional
sector pertanian yang megakibatkan produktivitas rendah. Sebaliknya dengan
kondisi di perkotaan menjadikan penduduk mengadu nasib di kota pahal tidak
dibekali dengan pendidikan dan ketrampilan yang memadai sehingga mereka tidak
dapat ditampung dan menjadi tenaga kerja sector informal di kota kecil.
b) Kebijakan
Pemulihan
Kebijakan ini timbul
karena pemukiman kumuh dan pemukimsn liar yang terlanjur ada. Pemukiman
tersebut dianggap sangat mengganggu performa kota/ berasosiasi dengan perilaku
negative atau kemiskinan dsb. Sehingga perlu dilakukan menghilangkan antrian
keruangan dan kinerjanya dengan cara penggusuran/ pengosongan sama sekali.
Namun karena kendala dana yang dikeluarkan cukup besar maka opsi yang diambil
adalah memperbaiki lingkungan yang dapat dilaksanakan secara bertahap dan selected.
2)
Kebijakan
Asing
Kebijakan ini diartikan
sebagai upaya dalam meiru kebijakan negara barat khususnya di negara
berkembang, namun kendala yang sering dihadapi merupakan kesulitan financial
dalam mendanai proyek perumahan Kebijakan yang mengacu pada kebijakan barat
umumnya mengacu pada pembangunan kompleks perumahan skala besar, terdapat 3
macam kebijakan;
a) Pembangunan
Blok Rumah Susun
Bangunan blok rumah
susun adalah alternatif yang dipilih dalam rangka mengatasi keterbatasan lahan
namun mampu menciptakan perumahan yang memenuhi criteria tertib lingkungan,
tertib bangunan, tertib hukum, tertib administrasi dan mampu merumahkan banyak
orang. Namun terdapat permasalahan dalam pembangunan rumah susun di pinggiran
kota, yakni pengeluaran biaya ekstra karena jauhnya jarak tempat kerja dan
banyak apartemen yang kosong karena kurang diminati. Lalu permasalahan
sosio-kultural tertentu.
b) Pembangunan
Kota Baru
Pengembangan kota baru
dilaksanakan dengan cara meningkatkan peranan kota kota kecil yang ada di
sekitar kota kota besar atau menciptakan suatu konsentrasi kegiatan yang baru
sama sekali.
c) Peremajaan
Kota
Kebijakan ini ditujukan
untuk mengubah citra pemukiman kumuh menjadi daerah yang tidak kumuh lagi.
Aplikasi kebijakan ini di negara berkembang mengalami deviasi dari ide semula
untuk mensejahterakan penduduk secara luas menjadi sebagian saja, kebanyakan
penduduk miskin tidak menikmati perbaikan kesejahteraan secara substansial.
3)
Kebijakan
Asli Lokal
Kebijakan ini tidak
mengacu pada kebijakan negara barat melainkan mempunyai ide sesuai dengan ciri
khas perkotaan masing-masing, tujuan utama dari kebijakan ini agar golongan
msyarakat yang kurang mampu lambat laun dapat menolong dirinya sendiri. Namun
karena demokrasi masing-masing megalopolis negara berkembang berbeda maka
terdapat 3 macam kebijakan;
a) Program
Upgrading
Kebijakan ini dapat
menekan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk perbaikan pemukiman dan
tidak perlu adaya penggusuran atau pemindahan pemukiman ke tempat yang lain.
Pelaksanaan program ini dapat berwujud perbaikan perumahan dan fasilitas
infrastruktur dan perbaikan fiskal pada pemukiman kumuh. Ada kalanya,
pemerintah hanya member stimulan pada sebagian pemukiman kumuh yang dianggap
mampu menimbulkan efek berantai bagi penghuni serupa secara swadaya, swadana
sedikit demi sedikit.
b) Penyediaan
Situs dan Pelayanan (PPSP)
Penyediaan Situs dan
Pelayanan berbeda dengan kebijakan Program Perbaikan Kampung, tahap utama
inplementasi PPSP adalah pertama menyediakan lahan kosong untuk maksud
pembangunan pemukiman, dan tahap kedua adalah pembangunan pelayanan pelayanan
pemukiman yang dibutuhkan penghuni. Tetapi pada kenyataannya program ini tidak
semudah teori karena pemukiman yang semula sudah tertata rapi tiba-tiba menjadi
semrawut karena para penghuni yang membangun rumah mereka sesuai selera
masing-masing baik dari bentuk dan tipe arsitekturnya.
(3c)
Program Pembangunan Inti (Core Housing)
Program
Pembangunan Inti (PPRI) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh
pemerintah/pengembang dalam memenuhi kebutuhan akan perumahan dengan amucara
mendirikan bangunan tempat tingga dalam satuan minimal ( a minimum shelter
unit) dan dapat secara langsung ditempati..fasilitas perumahan yang dibangun
juga dalam batas minimal, seperti kamar mandi, fasilitas kamar tidur, toilet,
kamar tamu, kamar makan, fasilitas penerangan, fasilitas air bersih dan pada pokoknya penghuni sudah dapat
memenuhi kebutuhan akan tempat tinggalnya dalam batas minimal. Kebutuhan dasar
akan tempat tinggal sudah disediakan di dalam kompleks perumahan ini. Oleh
karena bangunan yang disediakan merupakan rumah inti,maka dengan sendirinya
keberadaan fasilitas yang di sediakan juga hanya untuk memenuhi kebutuhan
minimal saja. Landasan filosofi yang melatarbelakangi PPRI ini adalah:
1.
Menyediakan
tempat hunian yang langsung dapat dihuni
2.
Menyediakan
bangunan yang terjangkau harganya
3.
Memberi
kesempatan untuk mengembangkan tempat tinggalnya
Apabila hal ini dijalankan dengan baik maka diharapkan bahwa daerah
tersebut akan berkembang menjadi kompleks perumahan yang teratur, tertib, dan
indah. Namun, kenyataan yang ada berbanding terbalik dimana pemerintah
menghadapi banyak kelemahan. Salah satunya adalah tidak adanya mentoring
pembangunan yang dilakukan penghuni sehingga bangunan perumahan yang berkembang
kemudian menjadi semrawut dan terkesan nyaris menjadi daerah permukiman kumuh.
(b)
Kebijakan Laissez-Faire (Laissez-Faire Policies)
Kata lissez faire mengandung pengertian merumuskan kebijakan dengan
membiarkan sesuatu hal sedemikian rupa tanpa adanya tindakan konkret berkenaan
dengan gejala tersebut dalam artian tidak mengambil tindakan apapun. Berkenaan
dengan permasalahan perumahan yang dihadapi oleh sesuatu megapolis, dapat pula
terjadi dimana pemerintah tidak melakukan apa-apa walapun diketahui bahwa
masyarakat miskin di kota berat untuk punya tempat tinggal yang layak. Hal ini
mengakibatkan terdaparnya golongan rendah yang tidak dapat memberikan
penghasilan yang memadai dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja.
Terlebih para penentu kebijakan beranggapan bahwa para migran adalah masyarakat
golongan rendah dan miskin yang sudah tidak punya lahan untuk digarap. Serta
untuk kembali ke daerah asalnya jelas merupakan hal yang mustahil karena di
daerahnya tidak mempunyai pekerjaan yang diharapkan untuk menyambung hidup bagi
dirinya dan keluarga. Penyebab kedua berkaitan dengan kelangkaan data tentang
pemukiman kumuh. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan data yang akurat
mengenai sebaran spasial pemukiman golongan rendah dan jumlah pemukim yang ada.
Penyebab ketiga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan berkenaan dengan cara
mengatasi permasalahan pemukiman kumuh
yang dimiliki oleh para birokrat yang sebenarnya membidangi masalah
perumahan. Penyebab keempat adalah terjadinya kekacauan politik. Kekacauan
politik dapat terjadi pada sesuatu negara sehingga semua perhatian hanya
tertuju kegiatan politik. Penyebab kelima adalah kesemerawutan administrasi.
Ketidakjelasan kewenangan untuk mengatasi permukiman kumuh dari berbagai
instansi menyebabkan ketiadaan atensi pemerintah terhadap hal ini. Penyebab
keenam adalah kekurangan dana khusus untuk menangani permukiman kumuh.
Kelangkaan dana dapat diakibatkan oleh adanya korupsi yang merajalela sehingga
terdapat penyimpangan alokasi dana atau karena negara yang bersangkutan memang
merupakan negara yang miskin sehingga alokasi dana untuk hal ini tidak ada.
2.
Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih
Persoalan pemenuhan kebutuhan air bersih di megapolitan merupakan
masalah yang dihadapi oleh hamper semua megapolitan di negara berkembang. Dari
waktu ke waktu pemerintah selalu berusaha untuk mencari kemungkinan-kemungkinan
baru untuk menambah suplai air bersih di daerah megapolitan dalam
mengantisipasi peningkatan kebutuhan air bersih pada masa yang akan datang. Di
samping memanfaatkan sumber-sumber air yang berasal dari daerrah pegunungan,
pemerintah juga mencari peluang untuk memanfaatkan air tanah yang ada. Selain
suplai tanah kepemilikan lahan pertanian memaksa penduduk petani untuk melirik
ke lahan-lahan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan lindung untuk
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian demi menambah penghasilan. Perambahan
kegiatan pertanian ke kawasan hutan lindung banyak dijumpai pada daerah
pegunungan yang berlokasi di sebelah selatan kota Jakarta. Hal ini dengan
sendirinya akan mengurangi kemampuan daerah sebagai supplier air bersih bagi
megapolitan Jakarta. Untuk megapolitan yang berlokasi didaerah pantai, kendala
dalam mmemanfaatkan air tanah bertambah dengan ancaman intrusi air laut ke
bagian daratan. Penyusupan air laut ini ternyata makin lama makin jauh kearah
darat seperti yang terjadi di kota Metro Manila maupun kota Jakarta sebagai
akibat pemompaan air tanah yang berlebihan oleh fungsi-fungsi kota besar.
Beberapa megapolitan memang beruntung mempunyai system jaringan air bersih yang
cukup baik seperti di Mexico City tercatat kurang lebih 82% penduduknya
menikmati piped inside water (PIW) sementara kota Sao Paulo tercatat 95%
penduduknya menikmati PIW. Sedangkan beberapa megapolis lain belum begitu bagus
seperti Bangkok kurang lebih baru 66%, lalu ada kota Metro Manila mendapat PIW
sebesar 50% saja. Kurangnya sumber air bersih menjadi kendala utama kota
megapolitan. Sementara di Jakarta masih banyak penduduk yang menggantungkan
pemenuhan kebutuhan air bersih dari water vendors dan belum mampu menikmati PIW
yang mengharuskan penduduk mengeluarkan uang jauh lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang menikmati PIW.
3.
Upaya Mengatasi Masalah Transportasi
Permasalahan megapolis mengenai transportasi semakin lama semakin
mencuat, berkenaan dengan makin banyaknya penduduk dan makin banyak kegiatan
masyarkat pengembangan system transportasi tidak dilaksanankan secepat
meningkatnya tuntutan fasilitas transportasi. Akibatnya adalah kemacetan di
berbagai tempat di bagian dalam megapolis. Sebagai contoh di City yang laju
kendaraan rata-rata 15 km/jam pada peak hours. Berbagai upaya untuk mengatasi
kemacetan telah dirumuskan dan dilaksanakan. Beberapa contoh upayanya adalah:
1.
Pengembangan
modal transportasi massa
2.
Pengetatan
peraturan tending penggunaa kendaraan pribadi seperti: pajak,penumpang,dll
3.
Pembangunan
jalan laying
4.
Pembuatan jalur
khusus jalur transportasi umum
5.
Pembuatan jalur
transportasi bawah tanah
6.
Pembatasan
kepemilikan ijin mengemudi
7.
Menambah
kapasitas jalan-jalan dengan cara memperlebar atau memperpanjang rute
8.
Memperbaiki
permukaan jalan
9.
Menambah rambu
lalu lintas
10.
Pengaturan arah
lalu lintas
11.
Pengaturan
parkiran
Suatu hal yang harus diperhatiajn dan dicermati adalah investasi
yang terkait dengan pembangunan prasarana transportasi selalu memakan biaya
yang sangat besar, sehingga hal tersebut harus direncanakan secara matang
agar mempunyai efek yang benar-benar berhasil
guna dan berdaya guna. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa investasi yang
besar dibidang transportasi justru menimbulkan permasalahan baru yang sama
hanya lokasinya yang berbeda. Sebagai contoh konkret adalah investasi
pembangunan jalan baru didaerah pinggiran kota dalam rangka mengantisipasi
perkembangan permukiman baru. Pembangunan tersebut diharapkan dapat mengurangi
kemacetan dibagian dalam kota karena
beberapa kendaraan akan mengalihkan rutenya ke jalur alternative. Dalam jangka
pendek, kebijakan tersebut dapat dirasakan manfaatnya namun dalam jangka
panjang ternyata telah mengakibatkan munculnya permasalahan sejenis dan hal ini
banyak dijumpai di kawasan megapolis yang berkembang dengan cepat. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa perumusan kebijakan di bidang transportasi
perlu diikuti oleh kebijkan lain, antara lain kebijakan pemanfaatan lahan.
4.
Kebijakan Proteksi Lingkungan
Sebagian besar dari megapolis baik yang terjadi di negara maju dan
terutama di negara berkembang, menghadapi permasalahan lingkungan yang buruk
bahkan mengalami deteriorisasi kualitas lingkungan. Kurangnya fasilitas
kesehatan lingkungan, seperti jaringan pembuangan limbah cair maupun padat,
buruknya kualitas udara dan air, baik air sungai maupun air laut dimana
megapolis tersebut berbatasan, tidak mencukupinya kuantitas air bersih yang dibutuhkan penduduk merupakan beberapa
hal umum yang dihadapi oleh megapolis negara berkembang, termasuk Jakarta.
Contoh negara berkembang yang mengalami permasalahan lingkungan antara lain
Metro Manila, yang hanya mempunyai jaringan pembuangan limbah yang baik sebesar
20% saja, di Delhi tercatat 30%, di Jakarta tercatat 40%. Meningkatnya kegiatan perkotaan seperti makin
banyaknya industry dan kendaraan bermotor menyebabkan makin meningkatnya kadar
polusi udara di kebanyakan megapolis negara berkembang.
Terdapat variasi yang besar mengenai
keadaan kadar polusi udara maupun air di masing-masing megapolis dan hal ini
disebabkan adanya variasi pula. Factor pertama adalah perbedaan teknologi yang
berkaitan dengan polusi udara antara lain peralatan untuk mengurangi emisi gas
buang kendaraan, penggunaan bensin bertimbal dan lain-lain. Factor kedua
terkait dengan aspek yuridis, yaitu terdapatnya ketidakjelasan peraturan dan
sanksi terhadap pelanggaran terhadap ambang gas buang kendaraan. Factor ketiga
berkaitan dengan kurangnya pengetahuan pemerintah mengenai seberapa besar
bahayanya polusi udara terhadap kesehatan penduudk. Factor keempat terkait
dengan jumlah kendaraan bermotor itu sndiri karena makin banyak kendaraan
bermotor dipastikan meningkatnya kadar polusi udara. Lalu fakotr kelima
berkaitan dengan keberadaan vegetasi di dalam kota karena makin lebat dan
merata serta luas makin dapat dipastikan
udara lebih baik dari yang minim vegetasi. Factor keenam berkaitan dengan
kondisi tiupan angin yang berhembus kareena embusan angin tersebut membawa zat-zat gas buangan
kendaraan maupun industry terutama di siang hari. Factor ketujuh berhubungan
dengan kondisi topografis karena hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan
tiupan angin regional di atas kota sehingga konsentrasi polutan yang terdapat
di dekat permukaan tanah akan bertahan dalam waktu yang lama dan dapat
membahayakan manusia. Factor kedelapan berkaitan dengan kondisi morfologi
kotnaya, khususnya karakteristik bangunan. Factor kesembilan terkait dengan
elevasi lokasi megapolis. Factor kesepuluh berkaitan dengan lamanya penyinaran
sinar matahari.. bagaimanapun juga masalah yang berkaitan dengan polusi udara
merupakan masalah yang sederhana namun sulit untuk diatasi oleh pemerintah
karean kesadaran masyarakat sendirilah juga harus ada untuk dapat mengendalikan
diri untuk menekan seminimal mungkin menghasilkan emisi gas bung kendaraan atau
sumber polutan lain. Kerjasama pemerintah dan masyarakat yang mempunyai
kesadaran tinggi terhadap pentingnya
menjaga kualitas udara di kota akan menghasilkan kondisi yang kondusif yntuk
mencapai sustainable city ( kota yang cocok atau di impikan)
5.
Pengembangan Institusi
Suatu megapolis/megalopolis mempunyai karakter yang khas yaitu
ditengarai oleh peningkatan jumlah penduduk yang sangat tinggi dan peningkatan
kegiatan yang luar biasa pula, khususnya kegiatan ekonomi. Hal inilah yang
memicu terjadinya perkembangan fisiko-spasial suatu kota, khusunya
megapolis.perkembangan kenampakan fisiko-spasial kekotaan baru, banyak terjadi
jauh diluar batas administrasi kota dan membentuk kawasan kekotaan yang sangat
luas yang kemudian dikenal dengan istilah megapolis atau EMR( the expanding
metropolitan region). Kondisi ini kemudian menimbulkan berbagai masalah
kelembagaan berkenaan dengan tata ruang dan tata wilayah. Prioritas
pengembangan kawasan selalu berorientasi pada kepentingan kegiatan kekotaan,
namun untuk kawasan diluar batas administrasi kota penentuan tata ruang yang
terkait dengan tata wilayah yang lebih luas terkadang atau tidak jarang
menimbulkan permasalahan kelembagaan yang tidak sederhana. Ada dua permasalahan
utama terkait dengan masalah kelembagaan tersebut antara lain.
Permasalahan pertama terkait dengan
kewenangan menentukan kebijakan tata ruang dan tata wilayah. Karena apabila
kewenangan kebijakan tata ruang dan tata wilayah diserahkan sepenuhnya pada
pemerintah kota tampaknya merupakan sesuatu hal yang logis, karena beberapa
hal:
a.
Pemerintah kota
mempunyai pengalaman yang baik untuk menangani masalah serupa berhubung
permasalahan social, ekonomi, cultural, dan spasial yang ada di kawasan tersebut
merupakan permasalahan perkotaan.
b.
Sinkronisasi
pengembangan kawasan ke masa depan dapat tercapai karena kebijakan yang
dirumuskan akan sesuai dengan kebijakan yang sudah ada untuk wilayah kota dan
diharapkan tidak akan menimbulkan goal conflicts atau conflict of the interest.
Opsi kedua berkenaan pangelolaan kawasan terbangun berada di luar
batas administrasi kota oleh lembaga pemerintah di luar kota. Karena secara
birokratik, hal tersebut tidak akan menimbulkan permasalahan, karena kebijakan
keruangan yang dirumuskan berada dalam wilayah kewenangannya dan hal ini juga
merupakan hal yang sangat logis.
Opsi ketiga
merupakan pilihan yang bersifat kompremistis yaitu dengan pengaturan yang
disepakati oleh kedua belah pihak lembaga pemerintah secara bersama-sama.
Karena lembaga yang menangani tata ruang dan tata wilayah dari pemerintah kota
bekerja sama dengan lembaga yang sama dari pemerintah di luar kota. Kerjasama
yang baik antara 2 lembaga ini diharapkan dapat mengeliminasi kelemahan
masing-masing opsi dan menghasilkan kebijakan tata ruang dan tata wilayah yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Permasalahan
kedua berkaitan dengan masalah financial. Beberapa pengalaman menunjukan bahwa
permasalahan over-spill effects dari perkembangan fisiko-spasial kota selalu
dihadapi baik di negara maju maupun berkembang. Sedangkan secara teoretis-logis
tuntutan pemerintah kota untuk memperluas wilayah administrasinya kea rah luar
yang kemudian mencakup lahan-lahan terbangun memang dapat diterima karena
pertimbangan menciptakan tata ruang dan tata wilayah yang tidak bertentangan
dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Disisi lain , pemerintah diluar kota
tetap mempertahankan kawasan tersebut dalam wewenangnya juga berlandaskan alas
an yang kuat pula, khusunya mengenai revene dari kawasan terbangun ini. Pada
umumnya daerah pinggrian kota merupakan
tempat lokasi fungsi-fungsi kekotaan yang besar seperti kampus pendidikan,
pusat perkantoran, perhotelan, industry dan lain-lain. Fungsi-fungsi tersebut
jelas merupakan sumber penghasilan yang sangat banyak. Masuknya kawasan ini ke
pemerintah kota juga jelas akan membawa konsekuensi financial yang tidak kecil
bagi pemerintah luar kota yaitu berkurangnya pendapatan asli daerah sementara
pemerintah kota akan mempunyai keuntungan yang besar. Hal ini yang dihadapi
oleh beberapa megapolis dunia baik negara maju ataupun berkembang. Khusus
mengenai ide pengembangan megapolitan yang muncul akhir-akhir ini, mestinya
disikapi secara arif oleh beberapa pihak. Khususnya pemerintah kota dan bukan
kota. Dengan mengacu pada konsep megapolitan sendiri yang awalnya bukan
merupakan konsep administrasi perlu ada kejelasan yang komperhensif mengenai
hal tersebut. Selama kebijakan pengembangan megapolitan sebagai salah satu
bagian dari scenario besar suatu program pengembangan wilayah yang melibatkan
berbagai kawasan yang termasuk di dalam wilayah yang disebut sebagai regional
city adalah suatu ide yang sangat bagus, karena lambat atau cepatnya proses
megapolitanisasi yang merupakan kelanjutan dari proses urbanisasi yang pasti
terjadi. Konsekuensi ekonomi, social, cultural, lingkungan, spasial baik positif
maupun negative akan menyertai megapolitanisasi tersebut dan perlu di
antisipasi.
No comments:
Post a Comment