Tuesday 13 September 2016

Megapolitan Dunia

1.1  Pendahuluan
Pada millenium ketiga ini, perkembangan kota-kota akan menunjukkan gejala yang khas, yaitu terjadinya penggabungan kota-kota sehingga terbentuk kota yang sangat besar baik dalam ukuran spasial maupun jumlah penduduknya. Beberapa negara maju telah mengalami gejala tersebut, begitu pula negara berkembang. Di negara maju perkembangan spasial dan peningkatan jumlah penduduk cenderung berasosiasi dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang paralel. Perkembangan disulut oleh revolusi industri dimana semua aspek kehidupan telah terkena imbasnya, seperti mekanisme pertanian di pedesaan disatu sisi telah berpengaruh secara signifikan terhadap pemanfaatan tenaga kerja, sehingga banyak tenaga kerja yang tergantikan oleh tenaga alat-alat pertanian bermesin, akibatnya banyak pengangguran yang terjadi. Di sisi lain, perkotaan terjadi perkembangan industri secara besar-besaran yang akan meningkatkan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang sangat banyak.
Pengangguran yang terjadi di daerah perdesaan yang banyak seolah-olah seperti bendungan yang mendapat outlet untuk mengalir ke luar dalam bentuk pengaliran penduduk perdesaan ke kota-kota terdekat untuk bekerja di lapangan kerja baru di bidang kegiatan industri. Pengaliran penduduk dari desa ke kota yang terjadi secara masif di negara-negara Eropa sebagian besar langsung dapat diserap didalam sektor industri yang baru berkembang, sehingga kemajuan perekonomian negara dengan jelas akan terlihat dan akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Di daerah perdesaan terjadi peningkatan pengangguran, namun di perkotaan terjadi peningkatan working opportunity yang terjadi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama selang waktunya. Di daerah perdesaan terjadi peningkatan produksi dan produktivitas pada sektor pertanian, sedangkan di daerah perkotaan pada sektor perindustrian.
Hal inilah yang oleh beberapa negara berkembang dianggap sebagai suatu paradigma untuk membangun negerinya, dengan menekankan pada pembangunan industri sebagai tahap awal kemajuan negaranya, sehingga proses industrialisasi sangat marak di negara berkembang pada dua sampai tiga dekade sebelum berakhirnya abad 20. Industrialisasi ditekankan untuk memproduksi barang-barang substitusi import, sedangkan kemampuan daya beli masyarakatnya masih rendah, pemasaran dalam negeri dengan cepat menjadi jenuh dan mulai mengalihkan kebijakan pemasarannya ke luar negeri, namun harus bersaing dengan negara lainyang kualitas produksinya lebih baik, maka perdagangan ke luar negeri juga mengalami gangguan yang sangat signifikan. Akibatnya, industri yang telah dibangun mengalami kemunduran.
Industrialisasi yang ditekankan didaerah perkotaan tersebut mempunyai dampak spasial yang besar pula terhadap perkembangan kota sehingga terkesan bahwa telah terjadi perkembangan perekonomian yang sangat signifikan. Awalnya memang terlihat gejala peningkatan, namun pada tahap berikutnya muncul gejala balik yang negatif dari pembangunan tersebut, karena sektor kedesaan tidak mendapatkan perhatian secara proporsional. Kemiskinan di daerah perdesaan disatu sisi dan pembangunan kota yang terlihat hebat disisi lain, telah mengakibatkan pengaliran penduduk petani dari daerah perdesaan untuk mencoba keberuntungannya dikota yang dianggap menjanjikan. Dengan berbekal ketrampilan dan pendidikan yang sangat minim mereka sangat sulit dapat terserap pada sektor formal dikota. Jelaslah kiranya terlihat perbedaan utama terjadinya pergerakan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan yang masif antara negara maju dan negara berkembang. Di negara berkembang peranan propelling forces jauh lebih dominan daripada attracting forces. Salah satu kesamaan yang muncul, berkaitan dengan proses perkembangan fisikal kekotaan adalah makin besarnya jumlah penduduk kota secara signifikan dan hal inilah yang juga mempunyai andil terbentuknya megapolitan.
1.1.1        Megapolis di Amerika Serikat
Salah satu megapolis yang terkenal di Amerika Serikat adalah koalisi beberapa kota yang terletak dibagian wilayah timur laut sampai ke tepi laut Atlantik, yang membentang dari kota Boston, Massachusetts sampai ke kota Richmond, Virginia. Penggabungan kota-kota tersebut memang tidak sepenuhnya membentuk kenampakan kekotaan secara masif, kompak dan contiguous namun ada beberapa bagian diantaranya masih berujud lahan-lahan terbuka yang terisi oleh lahan terbuka hijau, baik berupa lahan pertanian atau lahan yang tertutup vegetasi alami lainnya. Secara ekonomi wilayah ini telah membentuk suatu kesatuan yang solid dengan sistem transportasi dan komunikasi yang padat dan menghubungkan berbagai simpul-simpul kegiatan yang berada dalam jaringan kegiatan suatu kota yang sangat besar atau megapolis tersebut. Intensitas hubungan antara pusat kegiatan yang satu dengan pusat kegiatan lainnya mempunyai tingkat yang berbeda-beda tergantung pada berbagai hal, antara lain besar kecilnya aglomerasi penduduk yang ada, banyak sedikitnya variasi kegiatan yang ada, besar dan kecilnya aksesibilitas simpul-simpul tersebut.  Sistem kehidupan kekotaan benar-benar terpisah dengan sistem kehidupan kedesaan. Wilayah megapolitan dibagian timur laut Amerika Serikat ini meliputi atau menjangkau wilayah yang sangat luas, sehingga kesatuan ekonomi yang sangat mencolok terlihat menyatu antara peri-kegiatan oertanian yang terletak diantara kota-kota besar dengan kegiatan kekotaan yang ada.
1.1.2        Megapolis di Jepang
Suatu penggabungan kota-kota juga terjadi di Jepang antara Kota Tokyo dibagian utara sampai ke kota Osaka diantara bagian selatan. Koalisi kota-kota tersebut terletak dibagian timur Pulau Hokkaido yang berbatasan dengan Laut Pasifik. Kota-kota yang menyatu sebagai megapolis meliputi kota-kota besar Tokyo, Yokohama, nagoya, Kobe dan Osaka. Wilayah ini membentang dari utara ke selatan hampir mencapai 400 kilometer dengan rentangan antara 50 sampai 75 kilometer.
Perkembangan megapolis di Jepang menunjukkan ciri yang sangat berbeda dengan perkembangan megapolis yang terjadi di Amerika Serikat. Perbedaan ini terlihat pada perkembangan wilayah yang terletak diantara kota-kota besar yang ada (wilayah antara). Wilayah antara di Amerika didominasi oleh kepadatan penduduk yang angat jarang dan bahkan tidak berpenghuni, tetapi di Jepang didominasi oleh kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Megapolis di Jepang menunjukkan adanya gejala penyebaran lokasi industri-industri yang merata, sehingga makin memantapkan keterkaitan fungsional antarpusat-pusat kegiatan yang terbentuk, karena ada kecenderungan terciptanya spesialisasi industri. Gejala megapolitanisasi di Jepang sangat disadari benar oleh negara dan beberapa pemerintah daerah bahwa lambat atau cepat hal tersebut akan melibatkan kota-kota lain yang saat ini belum secara fisikal menjadi bagian dari sebuah megapolis.
1.1.3        Megapolis di China Daratan
Adanya kebijakan baru di China dengan inustrialisasi pedesaan yang berbasis pertanian (rural industries) telah mengubah wajah daerah pedesaan menjadi semi kekotaan sejalan dengan meningkatnya penghasilan dan standar kehidupan penduduknya, khususnya daerah pedesaan yang dekat dengan kota-kota besar. Dari sekian banyak daerah yang mengalami perkembangan hanya daerah di sekitar delta Sungai Ynag Tze Kiang yang mengalamierubahan paling cepat. Daerah ini merupakan bagian dari Provinsi Jangsu bagian selatan. Perkembangan ini oleh pakar dipakai sebagai salah satu “model” perkembangan wilayah dan dianamakan segabai Sunan model (Southern Jiangsu Model).
Model ini menjelaskan perkembangan desa diawali oleh perbaikan sistem transportasi yang baik dan menghubungkan kota-kota di bagian ini. Mobilitas barang, orang dan jasa semakin baik sehingga pemasaran produk wilayah dapt dilakukan dengan lancar ke luar daerah. Peningkatan pendapat pentani dari agrikultur terlihat signifikan dan mampu membiayai perkembangan industri di wilayahnya, selain itu keterampilan dan pendidikan keluarga juga semakin meningkat sehingga dapat bekerja pula di luar usaha pertanian di kota-kota terdekat pada sektor industri. Remitan yang dibawa keluarga petani yang bekerja di kota-kota terdekat di bidang industri adalah pengetahuan dan keterampilan baru di bidang industri sehinga membuka kesempatan baru untuk “transfer of technology” ke daerah asal mereka.
Pada tahap perkembangannya muncul upaya spesialisasi produk, seperti penanaman kapas kemudian dipasok ke pabrik tekstil setempat dan daerah ini telah menjadi wilayah penghasil tekstil terbesar di China dan produksi mulberry. Dari kota Nanjing, Zhenjiang dan Yengshau dibagian barat dan kota-kota Yangzhong, Changshou dan Loyang dibagian tengah wilayah delta sampai ke kota-kota Nantong,Wuxi, Changshu, Suzhou dan Shanghai dibagian timur delta telah berkembang sistem transportasi dan komunikasi yang baik dan membentuk daerah kekotaan yang besar sebagaimana sebuah megapolis.
Daerah sunan tidak menunjukkam perubahan administratif, namun dibagian ini terjadi perubahan yang signifikan yang berkenaan dengan organisasi keruangannya, dimana terbentuk kota raya Yan Cheng yang merupakan gabungan dari 7 kota-kota kecil disekitarnya. Hal ini ditrencanakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi regional yang optimum. Dalam jaringan kekotaan ini, kota-kota kecil direncanakan seabagai basis pengembangan ekonomi regional (city based regional economic development). Kota yang lebih besar berfungsi sebagai pengontrol perkembangan wilayah. Rencana pengembangan kota yang didasarkan pada city based regional economic development tidak terjadi secara merata di seluruh wilayah di China. Kota-kota kecil mempunyai keterkaitan fungsional dibidang ekonomi yang sangat intensif dengan kota-kota besar yang ada.
Interaksi antar kota dan pedesaan terjalin semakin intensif dalam hal interaksi ekonomi, sosial dan kultur dan integrasai sistem kehidupan kedesaan ke sistem kekotaan semakin tampak dengan meningkatnya peran kota-kota kecil dan menengah sebagai countermagnets baru disamping kota-kota besar yang ada. Hal ini memunculkan kecendrungan yang baru yang disebut decentalizedurbanization yang menandai wilayah disekitar kota-kota besar dan gejala ini menandai kota-kota besar di Asia pada umumnya termasuk Indonesia.
Apabila pengelolaan kota dapat dilakukan dengan baik maka akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional bahkan nasional. Hal ini akan berbeda dengan negara perkembangan ekonomi nasional yang sangat rendah, pengaliran penduduk miskin dari daerah  pedesaan ke daerah perkotaan dengan tingkat pendidikan dan keterampilannya rendah. Kehadiran migran di kota akan menjadi bebean berat bagi pemerintah kota. Pencegahan pengalihan migran ini di lakukan dengan cara meningkatkan kemampuan ekonomi daerah pedesaandan sekitarnya sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi pekerja dengan keterampilan rendah dan pendidikan yang tidak memadai.
Di China pemerintah telah berusaha menggalakkan pembangunan untuk kota-kota yang ada mulai dari kota kecil, menengah hingga kota besar. Untuk kota menengah dan besar perkembangan ekonomi diberi prioritas utama dengan cara memperkuat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, berusaha memperkecil kesenjangan perkembangan antar wilayah dalam bentuk peningkatan frekuensi dan volume perdagangan. Intgrasi perkembangan wilayah dan kota dapat terjalin semakin mantap dan spread effect dari kota-kota semakin signifikan dan peranan kota sebagai kalisator pembangunan regional dapat tercapat (Ye,1997).
Berdasarkan pengamatan Ginsburg (1997) salah satu kunci keberhasilan terintegrasinya kota dan desa adalah makin baiknya sistem transportasi dan komunikas antarkota, antarwilayah, dan antar kota dan wilayah. Dampak negartif dari terintegrasinya kota dan wilayah pedesaanharus selalu dilakukan dan dimonitor agar tidak menimbulkan akses yang tidak diinginkan. Dampak spasial, fiskal, ekonomi, sosial, dan kultural perlu dicermati secara multidisipliner agar social cost yang muncul tidak lebih besar dari social benefits.
1.2  BEBERAPA CONTOH PROMBLEM MEGAPOLIS NEGARA BERKEMBANG
Tiga kebutuhan pokok manusia menjadi pokok bahasan yang dikemukan PBB adalah (1) kebutuhan akan permukiman/ tempat tinggal, (2) kebutuhan air bersih dan sanitasi, (3) kebutuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Hal ini agar menjadi perhatian bagi pemerintah yang bersangkutan maupun badan-badan internasional tertentu dalam mengalokasikan dananya untuk membantu negra-negra tertentu, khususnya negra-negra berkembang.
Ada beberapa kesamaan yang dihadapi oleh megapolis di negara berkembang. Persoalan pertama yang mendapat perhatian serius adalah kurangnya fasilitas perumahan/ pemukiman yang layak bagi penduduk wilayah megalopolitan. Tingginya angka pertambahan penduduk megapolis di negara berkembang merupakan hal tersendiri yang memerlukan upaya integrasi yang harus ditangai terlebih dahulu agar pemenuhan kebutuhan akan perumahan layak bagi penduduk megapolis dapt terpenuhi.
Beberapa kawasan pemukiman proses densifikasi bangunan telah mencapai tataran death point, yaitu suatu tahapan perkembangan pemukiman dimana didalam kawasan pemukiman yang ada tidak terdapat lagi ruang kosong yang dapat dimanfaatkan atau diisi dengan bangunan baru karena setiap jengkal lahan telah terisi oleh bangunan. Dari segi kepadatan bangunan/liputan bangunan tahap  death point merupakan tahapan klimaks dari proses densifikasi.
Akibat keruangan (spatial consequences) yang muncul adalah gejala deteriorisasi lingkungan, karena kepadatan bangunan yang sangat tinggi dan pada umumnya kawasan pemukinan seperti ini bangunan yang ada sangat semrawut, ditinjau dari segi tata letak, ukuran, arsitektur, ketingginan bangunan, jaringan perlistrikan, jaringan air minum, jaringan jalan pendekatan lingkungan, dan jaringan sanitasi.
Permasalahan yang kedua yaitu ketersediaan air bersih dan sanitasi. Dengan pertambahnya jumlah penduduk di kota-kota besar mengakibatkan meningkatnya konsumsi air bersih. Akibat yang timbul adalah terjadinya ketimpangan sedemikian besar antara pemasokan air dan pengambilan air. Bagi megalopolis yang dekat dengan pantai telah terjadi gejala intrusi air laut yang cukup signifikan. Eksploitasi ait tanah yang berlebihan telah menurunkan permukaannya sampat taraf yang menghawatirkan sehingga masuknya air laut ke pedalaman dan mengurangi kapasitas air tanah untuk mensupali air bersih.
Sanitasi merupakan permasalahan yang tidak kecil. Kepadatan perumahan yang tinggi dan kemiskinan yang mewarnai sebagan besar penduduk megapolitan negara berkembang menyulitkan pembangunan sanitasi, khusunya pada slums. Kelangkaan lahan kosong menyebabkan penduduk membuang ke saluran air yang tidak lancar alirannya. Masalah kesehatan dan pendidikan juga merupakan masalah yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang. Golongan masyarakat miskin dinegara berkembang tidak mampu mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan karena besarnya biaya yang harus dibayar. Selain itu, besarnya biaya hidup dikota-kota besar sehingga golongan masyarakat miskin di kota tidak mampu untuk memerhatikan kualitas makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Subsidi yang disediakan pemerintah untuk biaya pendidikan tidak mampu menolong masyarakat miskin.
1.3  UPAYA MANAJEMEN MEGALOPOLITAN : KASUS NEGARA BERKEMBANG
Ada empat topik utama yang menjadi perhatian yaitu : (1) strategi spasial untuk mengatasi perkembangan megapolis yang tidak terkendali, (2) kebijakan pemerintah kota berkaitan dengan lahan, (3) kebijakan pemerintah kota berkaitan dengan pelayanan umum, (4) kebijakan pemerintah kota berkenaan dengan pengembangan institusi.
1.3.1        Strategi Kebijakan Spasial
Beberapa megalopolis dunia telah mencoba strategi spasial untuk memperlambat perkembangan spasial yang bgitu cepat. (1) polycentric strategy, (2) decentralisation strategy (3) corridor strategy (4) directional strategy (5) thematic strategy. Strategi polisentris adalah suatu upaya untuk menciptakan pusat-pusat kegiatan baru sehingga tekanan perkembangan spasial tidak hanya tertumpu pada satu kota saja. Kota yang mencoba mengaplikasikan strategi ini adalah Bombay dan mencoba untuk menciptakan pusat perkembangan baru yang dikenal dengan New Bmbay. Calcutta dan Madras mencoba mengaplikasikan strategi desentralisasi dimana kota-kota kecil yang berada di sekitar kota-kota besar utama diberdayakan agar terjadi pemerataan pertumbuhan.
Kota Cairo dan Jakarta mengaplikasikan thematics strategy dengan mngubah arah perkembangan spasial yang ada dari arah utara-selatan menjadi timur-barat. Kota Dacca menerapkan corridor strategy dibagian utara kotanya, tetapi hasilnya menyimpang dari yang diharapkan. Kota Seoul mengadopsi directional strategy yang dipandu dengan peraturan/ kebijakan tertentu.
1.3.2        Strategi Kebijakan Lahan
Permasalahan ketersediaan lahan merupakan maslaah yang tidak dapat disangkal lagi. Di kota Karachi dan Delhi banyak lahan yang dikuasai oleh publik, namun Bangkok, Seoul, Manila sebagian lahan kota adalah milik pribadi. Disparitas antara banyaknya permintaan dan penawaran akan lahan telah mengakibatkan peningkatan harga lahan yangluar biasa khususnya daerah pinggiran kota.
Sebagian kota besar lainnya, pada bagian-bagian yang dinilai mempunyai prospek pengembangan yang bagus pada masa yang akan datang, pada bagian itu akan bergentayangan apa yang disebut dengan land speculators. Spekulasi lahan adalah suatu kegiatan yang memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari bisnis jual beli lahan dengan cara membeli lahan dan kemudia dibiarkan idle sementara waktu atau dibangun untuk peruntuksn tertentu dan dilepas pada saat harga telah mencapai taraf yang dianggap paling tinggi bagi spekulator.
Spekulator profesional adalah mereka yang pekerjaannya memang bertransaksi jual beli lahan, sementara itu untuk spekulator bukan profesional dapat siapa saja, asalkan mempunyai keinginan untuk menjual lahan miliknya nanti apabila harganya sudah tinggi, maka golongan ini dapat dianggap sebagai spekulator pula.Para spekulator hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, sedangkan program pengembangan tata ruang yang dirumskan oleh pemerintah jelas berorientasi pada kemasalahan umat, kesejahteraan masyarkat banyak untuk jangka waktu yang panjang.
Pengaruh yang kuat dari remitan para pekerja ekspatriat adalah kenaikan permintaan lahan yang disebabkan karena investasi yang paling menguntungkan adalah membeli lahan. Sehingga dampaknya tercatat sekitar 40%-60% lebih cepat dari kenaikan harga barang dan jasa. Selain itu, memicu terjadinya perkembangan fisiko-spasial kota yang meloncat-loncat. Akibatnya, timbul kesulitan besar yang dihadapi pemerintah kota dalam membangun jaringan fasilitas serta pemborosan energy dan materi. Karena lahan mempunyai arti yang sangat strategis dalam hal pengembangan fisiko-spasial kota, maka perlu kebijakan untuk mengendalikan suatu pertumbuhan spasial kota, termasuk didalamnya megalopolis.
Seorang pembuat kebijakan harus memiliki kecerdasan dan kearifan intelektual berkenaan dengan ide-ide sustainable development, comprehensive planning dan teknik-teknik manajemen perkotaan. Namun kebanyakan megalopolis mempunyai masterplan yang tidak relevan dengan kenyataan di lapangan sehingga terjadi pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Penyebabnya antara lain ; Sosialisasi dan aplikasi rencana tata ruang dengan perkembangan riil di lapangan sehingga banyak konsekuensi financial yang akan menimbulkan social upheaval yang diikuti oleh dampak social, ekonomi dan politik. Kemudian adanya formulasi kebijakan yang sangat kaku dan tidak fleksibel sehingga tidak member peluang dalam mengikuti perkembangan di lapangan. Dalam teknik manajemen lahan di megalopolitan negara berkembang perlu memperhatikan latar belakang social, ekonomi, cultural, politik dan teknologi karena berbeda dengan negara maju.
1.4  Strategi kebijakan pelayanan kota
Terdapat lima macam contoh pelayanan kota pada megalopolis negara berkembang;
1.      Pemenuhan Kebutuhan Perumahan
Disebabkan oleh ;
·         Tingginya pertumbuhan penduduk
·         Cadangan lahan yang tersisa habis bahka nyaris hilang
·         Banyaknya pendatang ke kota dengan bekal pendidikan dan ketrampilan yang rendah
Pembangunan kebutuhan perumahan yang lebih dekat dengan tempat mereka bekerja menimbulkan pemadatan yang kemudian menjadi pemukiman kumuh. Secara garis besar ada 2 macam sikap pemerintah dalam menghadapi permasalahan pengadaan perumahan bagi golongan the urban poor ini , yaitu
a.      Kebijakan Perumahan Positif (Positive Housing Policies)
Usaha nyata yang diambil oleh Pemerintah dalam upaya untuk memecahkan pemenuhan kebutuhan perumahan. Kebijakan ini dikelompokkan ;
1)      Kebijakan Reaksioner
Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh adanya percepatan pertumbuhan penduduk sehingga menimbulkan pemukiman kumuh yang menjadikan citra jelek suatu kota. Ada 2 macam kebijakan , yaitu;
a)      Kebijakan Preventif
Kebijakan yang berkaitan dengan pengaliran penduduk dengan batasan-batasan seperti mensyaratkan penduduknya mempunyai pekerjaan tetap, kartu tanda pengenal dsb.
Kebijakan ini selalu diterapkan di Negara bekas jajahan yang memusatkan segala kegiatan perekonomian di ibukota sehingga daerah pedesaan menjadi tidak di perhatikan. Tingginya tingkat pertambahan penduduk pedesaan, teknologi sederhana dan tradisional sector pertanian yang megakibatkan produktivitas rendah. Sebaliknya dengan kondisi di perkotaan menjadikan penduduk mengadu nasib di kota pahal tidak dibekali dengan pendidikan dan ketrampilan yang memadai sehingga mereka tidak dapat ditampung dan menjadi tenaga kerja sector informal di kota kecil.
b)      Kebijakan Pemulihan
Kebijakan ini timbul karena pemukiman kumuh dan pemukimsn liar yang terlanjur ada. Pemukiman tersebut dianggap sangat mengganggu performa kota/ berasosiasi dengan perilaku negative atau kemiskinan dsb. Sehingga perlu dilakukan menghilangkan antrian keruangan dan kinerjanya dengan cara penggusuran/ pengosongan sama sekali. Namun karena kendala dana yang dikeluarkan cukup besar maka opsi yang diambil adalah memperbaiki lingkungan yang dapat dilaksanakan secara bertahap dan selected.
2)      Kebijakan Asing
Kebijakan ini diartikan sebagai upaya dalam meiru kebijakan negara barat khususnya di negara berkembang, namun kendala yang sering dihadapi merupakan kesulitan financial dalam mendanai proyek perumahan Kebijakan yang mengacu pada kebijakan barat umumnya mengacu pada pembangunan kompleks perumahan skala besar, terdapat 3 macam kebijakan;
a)      Pembangunan Blok Rumah Susun
Bangunan blok rumah susun adalah alternatif yang dipilih dalam rangka mengatasi keterbatasan lahan namun mampu menciptakan perumahan yang memenuhi criteria tertib lingkungan, tertib bangunan, tertib hukum, tertib administrasi dan mampu merumahkan banyak orang. Namun terdapat permasalahan dalam pembangunan rumah susun di pinggiran kota, yakni pengeluaran biaya ekstra karena jauhnya jarak tempat kerja dan banyak apartemen yang kosong karena kurang diminati. Lalu permasalahan sosio-kultural tertentu.
b)      Pembangunan Kota Baru
Pengembangan kota baru dilaksanakan dengan cara meningkatkan peranan kota kota kecil yang ada di sekitar kota kota besar atau menciptakan suatu konsentrasi kegiatan yang baru sama sekali.
c)      Peremajaan Kota
Kebijakan ini ditujukan untuk mengubah citra pemukiman kumuh menjadi daerah yang tidak kumuh lagi. Aplikasi kebijakan ini di negara berkembang mengalami deviasi dari ide semula untuk mensejahterakan penduduk secara luas menjadi sebagian saja, kebanyakan penduduk miskin tidak menikmati perbaikan kesejahteraan secara substansial.

3)      Kebijakan Asli Lokal
Kebijakan ini tidak mengacu pada kebijakan negara barat melainkan mempunyai ide sesuai dengan ciri khas perkotaan masing-masing, tujuan utama dari kebijakan ini agar golongan msyarakat yang kurang mampu lambat laun dapat menolong dirinya sendiri. Namun karena demokrasi masing-masing megalopolis negara berkembang berbeda maka terdapat 3 macam kebijakan;
a)      Program Upgrading
Kebijakan ini dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk perbaikan pemukiman dan tidak perlu adaya penggusuran atau pemindahan pemukiman ke tempat yang lain. Pelaksanaan program ini dapat berwujud perbaikan perumahan dan fasilitas infrastruktur dan perbaikan fiskal pada pemukiman kumuh. Ada kalanya, pemerintah hanya member stimulan pada sebagian pemukiman kumuh yang dianggap mampu menimbulkan efek berantai bagi penghuni serupa secara swadaya, swadana sedikit demi sedikit.
b)      Penyediaan Situs dan Pelayanan (PPSP)
Penyediaan Situs dan Pelayanan berbeda dengan kebijakan Program Perbaikan Kampung, tahap utama inplementasi PPSP adalah pertama menyediakan lahan kosong untuk maksud pembangunan pemukiman, dan tahap kedua adalah pembangunan pelayanan pelayanan pemukiman yang dibutuhkan penghuni. Tetapi pada kenyataannya program ini tidak semudah teori karena pemukiman yang semula sudah tertata rapi tiba-tiba menjadi semrawut karena para penghuni yang membangun rumah mereka sesuai selera masing-masing baik dari bentuk dan tipe arsitekturnya.
(3c) Program Pembangunan Inti (Core Housing)
Program Pembangunan Inti (PPRI) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah/pengembang dalam memenuhi kebutuhan akan perumahan dengan amucara mendirikan bangunan tempat tingga dalam satuan minimal ( a minimum shelter unit) dan dapat secara langsung ditempati..fasilitas perumahan yang dibangun juga dalam batas minimal, seperti kamar mandi, fasilitas kamar tidur, toilet, kamar tamu, kamar makan, fasilitas penerangan, fasilitas air bersih  dan pada pokoknya penghuni sudah dapat memenuhi kebutuhan akan tempat tinggalnya dalam batas minimal. Kebutuhan dasar akan tempat tinggal sudah disediakan di dalam kompleks perumahan ini. Oleh karena bangunan yang disediakan merupakan rumah inti,maka dengan sendirinya keberadaan fasilitas yang di sediakan juga hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal saja. Landasan filosofi yang melatarbelakangi PPRI ini adalah:
1.      Menyediakan tempat hunian yang langsung dapat dihuni
2.      Menyediakan bangunan yang terjangkau harganya
3.      Memberi kesempatan untuk mengembangkan tempat tinggalnya
Apabila hal ini dijalankan dengan baik maka diharapkan bahwa daerah tersebut akan berkembang menjadi kompleks perumahan yang teratur, tertib, dan indah. Namun, kenyataan yang ada berbanding terbalik dimana pemerintah menghadapi banyak kelemahan. Salah satunya adalah tidak adanya mentoring pembangunan yang dilakukan penghuni sehingga bangunan perumahan yang berkembang kemudian menjadi semrawut dan terkesan nyaris menjadi daerah permukiman kumuh.
(b) Kebijakan Laissez-Faire (Laissez-Faire Policies)
Kata lissez faire mengandung pengertian merumuskan kebijakan dengan membiarkan sesuatu hal sedemikian rupa tanpa adanya tindakan konkret berkenaan dengan gejala tersebut dalam artian tidak mengambil tindakan apapun. Berkenaan dengan permasalahan perumahan yang dihadapi oleh sesuatu megapolis, dapat pula terjadi dimana pemerintah tidak melakukan apa-apa walapun diketahui bahwa masyarakat miskin di kota berat untuk punya tempat tinggal yang layak. Hal ini mengakibatkan terdaparnya golongan rendah yang tidak dapat memberikan penghasilan yang memadai dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Terlebih para penentu kebijakan beranggapan bahwa para migran adalah masyarakat golongan rendah dan miskin yang sudah tidak punya lahan untuk digarap. Serta untuk kembali ke daerah asalnya jelas merupakan hal yang mustahil karena di daerahnya tidak mempunyai pekerjaan yang diharapkan untuk menyambung hidup bagi dirinya dan keluarga. Penyebab kedua berkaitan dengan kelangkaan data tentang pemukiman kumuh. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan data yang akurat mengenai sebaran spasial pemukiman golongan rendah dan jumlah pemukim yang ada. Penyebab ketiga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan berkenaan dengan cara mengatasi permasalahan pemukiman kumuh  yang dimiliki oleh para birokrat yang sebenarnya membidangi masalah perumahan. Penyebab keempat adalah terjadinya kekacauan politik. Kekacauan politik dapat terjadi pada sesuatu negara sehingga semua perhatian hanya tertuju kegiatan politik. Penyebab kelima adalah kesemerawutan administrasi. Ketidakjelasan kewenangan untuk mengatasi permukiman kumuh dari berbagai instansi menyebabkan ketiadaan atensi pemerintah terhadap hal ini. Penyebab keenam adalah kekurangan dana khusus untuk menangani permukiman kumuh. Kelangkaan dana dapat diakibatkan oleh adanya korupsi yang merajalela sehingga terdapat penyimpangan alokasi dana atau karena negara yang bersangkutan memang merupakan negara yang miskin sehingga alokasi dana untuk hal ini tidak ada.
2.      Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih
Persoalan pemenuhan kebutuhan air bersih di megapolitan merupakan masalah yang dihadapi oleh hamper semua megapolitan di negara berkembang. Dari waktu ke waktu pemerintah selalu berusaha untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru untuk menambah suplai air bersih di daerah megapolitan dalam mengantisipasi peningkatan kebutuhan air bersih pada masa yang akan datang. Di samping memanfaatkan sumber-sumber air yang berasal dari daerrah pegunungan, pemerintah juga mencari peluang untuk memanfaatkan air tanah yang ada. Selain suplai tanah kepemilikan lahan pertanian memaksa penduduk petani untuk melirik ke lahan-lahan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan lindung untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian demi menambah penghasilan. Perambahan kegiatan pertanian ke kawasan hutan lindung banyak dijumpai pada daerah pegunungan yang berlokasi di sebelah selatan kota Jakarta. Hal ini dengan sendirinya akan mengurangi kemampuan daerah sebagai supplier air bersih bagi megapolitan Jakarta. Untuk megapolitan yang berlokasi didaerah pantai, kendala dalam mmemanfaatkan air tanah bertambah dengan ancaman intrusi air laut ke bagian daratan. Penyusupan air laut ini ternyata makin lama makin jauh kearah darat seperti yang terjadi di kota Metro Manila maupun kota Jakarta sebagai akibat pemompaan air tanah yang berlebihan oleh fungsi-fungsi kota besar. Beberapa megapolitan memang beruntung mempunyai system jaringan air bersih yang cukup baik seperti di Mexico City tercatat kurang lebih 82% penduduknya menikmati piped inside water (PIW) sementara kota Sao Paulo tercatat 95% penduduknya menikmati PIW. Sedangkan beberapa megapolis lain belum begitu bagus seperti Bangkok kurang lebih baru 66%, lalu ada kota Metro Manila mendapat PIW sebesar 50% saja. Kurangnya sumber air bersih menjadi kendala utama kota megapolitan. Sementara di Jakarta masih banyak penduduk yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan air bersih dari water vendors dan belum mampu menikmati PIW yang mengharuskan penduduk mengeluarkan uang jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang menikmati PIW.
3.      Upaya Mengatasi Masalah Transportasi
Permasalahan megapolis mengenai transportasi semakin lama semakin mencuat, berkenaan dengan makin banyaknya penduduk dan makin banyak kegiatan masyarkat pengembangan system transportasi tidak dilaksanankan secepat meningkatnya tuntutan fasilitas transportasi. Akibatnya adalah kemacetan di berbagai tempat di bagian dalam megapolis. Sebagai contoh di City yang laju kendaraan rata-rata 15 km/jam pada peak hours. Berbagai upaya untuk mengatasi kemacetan telah dirumuskan dan dilaksanakan. Beberapa contoh upayanya adalah:
1.      Pengembangan modal transportasi massa
2.      Pengetatan peraturan tending penggunaa kendaraan pribadi seperti: pajak,penumpang,dll
3.      Pembangunan jalan laying
4.      Pembuatan jalur khusus jalur transportasi umum
5.      Pembuatan jalur transportasi bawah tanah
6.      Pembatasan kepemilikan ijin mengemudi
7.      Menambah kapasitas jalan-jalan dengan cara memperlebar atau memperpanjang rute
8.      Memperbaiki permukaan jalan
9.      Menambah rambu lalu lintas
10.  Pengaturan arah lalu lintas
11.  Pengaturan parkiran
Suatu hal yang harus diperhatiajn dan dicermati adalah investasi yang terkait dengan pembangunan prasarana transportasi selalu memakan biaya yang sangat besar, sehingga hal tersebut harus direncanakan secara matang agar  mempunyai efek yang benar-benar berhasil guna dan berdaya guna. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa investasi yang besar dibidang transportasi justru menimbulkan permasalahan baru yang sama hanya lokasinya yang berbeda. Sebagai contoh konkret adalah investasi pembangunan jalan baru didaerah pinggiran kota dalam rangka mengantisipasi perkembangan permukiman baru. Pembangunan tersebut diharapkan dapat mengurangi kemacetan dibagian  dalam kota karena beberapa kendaraan akan mengalihkan rutenya ke jalur alternative. Dalam jangka pendek, kebijakan tersebut dapat dirasakan manfaatnya namun dalam jangka panjang ternyata telah mengakibatkan munculnya permasalahan sejenis dan hal ini banyak dijumpai di kawasan megapolis yang berkembang dengan cepat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perumusan kebijakan di bidang transportasi perlu diikuti oleh kebijkan lain, antara lain kebijakan pemanfaatan lahan.
4.      Kebijakan Proteksi Lingkungan
Sebagian besar dari megapolis baik yang terjadi di negara maju dan terutama di negara berkembang, menghadapi permasalahan lingkungan yang buruk bahkan mengalami deteriorisasi kualitas lingkungan. Kurangnya fasilitas kesehatan lingkungan, seperti jaringan pembuangan limbah cair maupun padat, buruknya kualitas udara dan air, baik air sungai maupun air laut dimana megapolis tersebut berbatasan, tidak mencukupinya kuantitas air bersih  yang dibutuhkan penduduk merupakan beberapa hal umum yang dihadapi oleh megapolis negara berkembang, termasuk Jakarta. Contoh negara berkembang yang mengalami permasalahan lingkungan antara lain Metro Manila, yang hanya mempunyai jaringan pembuangan limbah yang baik sebesar 20% saja, di Delhi tercatat 30%, di Jakarta tercatat 40%.  Meningkatnya kegiatan perkotaan seperti makin banyaknya industry dan kendaraan bermotor menyebabkan makin meningkatnya kadar polusi udara di kebanyakan megapolis negara berkembang.
Terdapat variasi yang besar mengenai keadaan kadar polusi udara maupun air di masing-masing megapolis dan hal ini disebabkan adanya variasi pula. Factor pertama adalah perbedaan teknologi yang berkaitan dengan polusi udara antara lain peralatan untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan, penggunaan bensin bertimbal dan lain-lain. Factor kedua terkait dengan aspek yuridis, yaitu terdapatnya ketidakjelasan peraturan dan sanksi terhadap pelanggaran terhadap ambang gas buang kendaraan. Factor ketiga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan pemerintah mengenai seberapa besar bahayanya polusi udara terhadap kesehatan penduudk. Factor keempat terkait dengan jumlah kendaraan bermotor itu sndiri karena makin banyak kendaraan bermotor dipastikan meningkatnya kadar polusi udara. Lalu fakotr kelima berkaitan dengan keberadaan vegetasi di dalam kota karena makin lebat dan merata serta luas  makin dapat dipastikan udara lebih baik dari yang minim vegetasi. Factor keenam berkaitan dengan kondisi tiupan angin yang berhembus kareena embusan angin  tersebut membawa zat-zat gas buangan kendaraan maupun industry terutama di siang hari. Factor ketujuh berhubungan dengan kondisi topografis karena hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan tiupan angin regional di atas kota sehingga konsentrasi polutan yang terdapat di dekat permukaan tanah akan bertahan dalam waktu yang lama dan dapat membahayakan manusia. Factor kedelapan berkaitan dengan kondisi morfologi kotnaya, khususnya karakteristik bangunan. Factor kesembilan terkait dengan elevasi lokasi megapolis. Factor kesepuluh berkaitan dengan lamanya penyinaran sinar matahari.. bagaimanapun juga masalah yang berkaitan dengan polusi udara merupakan masalah yang sederhana namun sulit untuk diatasi oleh pemerintah karean kesadaran masyarakat sendirilah juga harus ada untuk dapat mengendalikan diri untuk menekan seminimal mungkin menghasilkan emisi gas bung kendaraan atau sumber polutan lain. Kerjasama pemerintah dan masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi terhadap  pentingnya menjaga kualitas udara di kota akan menghasilkan kondisi yang kondusif yntuk mencapai sustainable city ( kota yang cocok atau di impikan)
5.      Pengembangan Institusi
Suatu megapolis/megalopolis mempunyai karakter yang khas yaitu ditengarai oleh peningkatan jumlah penduduk yang sangat tinggi dan peningkatan kegiatan yang luar biasa pula, khususnya kegiatan ekonomi. Hal inilah yang memicu terjadinya perkembangan fisiko-spasial suatu kota, khusunya megapolis.perkembangan kenampakan fisiko-spasial kekotaan baru, banyak terjadi jauh diluar batas administrasi kota dan membentuk kawasan kekotaan yang sangat luas yang kemudian dikenal dengan istilah megapolis atau EMR( the expanding metropolitan region). Kondisi ini kemudian menimbulkan berbagai masalah kelembagaan berkenaan dengan tata ruang dan tata wilayah. Prioritas pengembangan kawasan selalu berorientasi pada kepentingan kegiatan kekotaan, namun untuk kawasan diluar batas administrasi kota penentuan tata ruang yang terkait dengan tata wilayah yang lebih luas terkadang atau tidak jarang menimbulkan permasalahan kelembagaan yang tidak sederhana. Ada dua permasalahan utama terkait dengan masalah kelembagaan tersebut antara lain.
Permasalahan pertama terkait dengan kewenangan menentukan kebijakan tata ruang dan tata wilayah. Karena apabila kewenangan kebijakan tata ruang dan tata wilayah diserahkan sepenuhnya pada pemerintah kota tampaknya merupakan sesuatu hal yang logis, karena beberapa hal:
a.       Pemerintah kota mempunyai pengalaman yang baik untuk menangani masalah serupa berhubung permasalahan social, ekonomi, cultural, dan spasial yang ada di kawasan tersebut merupakan permasalahan perkotaan.
b.      Sinkronisasi pengembangan kawasan ke masa depan dapat tercapai karena kebijakan yang dirumuskan akan sesuai dengan kebijakan yang sudah ada untuk wilayah kota dan diharapkan tidak akan menimbulkan goal conflicts atau conflict of the interest.
Opsi kedua berkenaan pangelolaan kawasan terbangun berada di luar batas administrasi kota oleh lembaga pemerintah di luar kota. Karena secara birokratik, hal tersebut tidak akan menimbulkan permasalahan, karena kebijakan keruangan yang dirumuskan berada dalam wilayah kewenangannya dan hal ini juga merupakan hal yang sangat logis.
Opsi ketiga merupakan pilihan yang bersifat kompremistis yaitu dengan pengaturan yang disepakati oleh kedua belah pihak lembaga pemerintah secara bersama-sama. Karena lembaga yang menangani tata ruang dan tata wilayah dari pemerintah kota bekerja sama dengan lembaga yang sama dari pemerintah di luar kota. Kerjasama yang baik antara 2 lembaga ini diharapkan dapat mengeliminasi kelemahan masing-masing opsi dan menghasilkan kebijakan tata ruang dan tata wilayah yang menguntungkan kedua belah pihak.
Permasalahan kedua berkaitan dengan masalah financial. Beberapa pengalaman menunjukan bahwa permasalahan over-spill effects dari perkembangan fisiko-spasial kota selalu dihadapi baik di negara maju maupun berkembang. Sedangkan secara teoretis-logis tuntutan pemerintah kota untuk memperluas wilayah administrasinya kea rah luar yang kemudian mencakup lahan-lahan terbangun memang dapat diterima karena pertimbangan menciptakan tata ruang dan tata wilayah yang tidak bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Disisi lain , pemerintah diluar kota tetap mempertahankan kawasan tersebut dalam wewenangnya juga berlandaskan alas an yang kuat pula, khusunya mengenai revene dari kawasan terbangun ini. Pada umumnya daerah  pinggrian kota merupakan tempat lokasi fungsi-fungsi kekotaan yang besar seperti kampus pendidikan, pusat perkantoran, perhotelan, industry dan lain-lain. Fungsi-fungsi tersebut jelas merupakan sumber penghasilan yang sangat banyak. Masuknya kawasan ini ke pemerintah kota juga jelas akan membawa konsekuensi financial yang tidak kecil bagi pemerintah luar kota yaitu berkurangnya pendapatan asli daerah sementara pemerintah kota akan mempunyai keuntungan yang besar. Hal ini yang dihadapi oleh beberapa megapolis dunia baik negara maju ataupun berkembang. Khusus mengenai ide pengembangan megapolitan yang muncul akhir-akhir ini, mestinya disikapi secara arif oleh beberapa pihak. Khususnya pemerintah kota dan bukan kota. Dengan mengacu pada konsep megapolitan sendiri yang awalnya bukan merupakan konsep administrasi perlu ada kejelasan yang komperhensif mengenai hal tersebut. Selama kebijakan pengembangan megapolitan sebagai salah satu bagian dari scenario besar suatu program pengembangan wilayah yang melibatkan berbagai kawasan yang termasuk di dalam wilayah yang disebut sebagai regional city adalah suatu ide yang sangat bagus, karena lambat atau cepatnya proses megapolitanisasi yang merupakan kelanjutan dari proses urbanisasi yang pasti terjadi. Konsekuensi ekonomi, social, cultural, lingkungan, spasial baik positif maupun negative akan menyertai megapolitanisasi tersebut dan perlu di antisipasi.


No comments:

Post a Comment