BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dinamika perkembangan ekonomi global akhir – akhir ini
memberikan sinyal akan pentingnya peningkatan daya saing di tingkat
regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), yang saat ini telah dilaksanakan. MEA menjadi tantangan tersendiri
bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal
dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan
kompetitif. Pemberlakuan MEA dapat pula dimaknai sebagai harapan akan
prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih
luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai
dengan terjadinya arus bebas (free flow) : barang, jasa,
investasi, tenaga kerja, dan modal. Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia
sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan
skala ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan
menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan MEA
sendiri perlu terus dikawal dengan upaya – upaya terencana dan targeted dengan terus meningkatkan
sinergitas, utamanya dalam meningkatkan dukungan menata ulang kelembagaan
birokrasi, membangun infrastruktur, mengembangkan sumberdaya manusia, perubahan
sikap mental serta meningkatkan akses financial terhadap sektor riil yang
kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi peluang
karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada.
Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan
meningkatkan GDP Indonesia. Pada sisi investasi, dengan dukungan birokrasi pada
aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya diharapkan dapat menciptakan
iklim investasi yang kondusif. Meningkatnya investasi diharapkan dapat
menstimulus pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, penciptaan lapangan
kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan mengatasi masalah
tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan yang menjadi tantangan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat.Upaya – upaya berkelanjutan dalam menciptakan
efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk
diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan
publik harus menjadi aktor – aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik.
Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian
pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan
pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai
pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami
bahwa persaingan di tingkat regional ASEAN, Asia, bahkan global, akan
menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan Negara – negara lain.
Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap
diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari Negara – negara lain. Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan
pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi
atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi.
Implementasi prinsip – prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur
birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran
kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.
Dari sisi
SDM, perlu terus diupayakan membangun meritokrasi sistem
staffing birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open
recruitment, diharapkan akan didapatkan calon – calon yang kapabel untuk
memegang jabatan tertentu. Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi
seyogyanya menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat
semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang. Ketatnya
persaingan akan menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai
“center of activity” yang menjamin akselerasi berbagai implementasi
kebijakan dan program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA
2015.
Birokrasi harus
mampu memberi kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan
inovator serta membangun kompetisi dalam arti positif, menjadikan birokrasinya
saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan
regulasi dan barang – barang kebutuhan publik. Transformasi jiwa –
jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi dapat menjadi
alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut, mewirausahakan
birokrasi sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari
aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan usaha
untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi
yang ada.
Mengembangkan
spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam
memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan
menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang
bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas – tugasnya, efesien, kreatif dan
inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah, agar memiliki
nilai tambah ekonomi tinggi. Sikap – sikap mental yang positif dari jiwa –
jiwa entrepreneurship seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar
dalam mengoptimalkan kinerja birokrasi dalam mengembangkan
investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan
mengembangkan ekonomi kreatif. Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan
dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan
mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga
kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi. Kita
tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi
akan dapat semakin meningkatkan kinerja birokrasi dalam memperkuat
daya saing ekonomi nasional dalam memenangkan persaingan MEA 2015,
sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Secara konsep,
investasi adalah kegiatan mengalokasikan atau menanamkan sumber daya saat ini
dengan harapan mendapatkan manfaat di kemudian hari.Untuk membentuk persepsi
tersebut, tentu tidak terlepas dari peran serta pemerintah dengan kebijakan –
kebijakan yang menarik minat para pengusaha agar mau berinvestasi.Pengusaha
dapat menjalankan bisnisnya sekaligus membantu pemerintah mengembangkan atau
bahkan memajukan sebuah kawasan.Dengan investasi kreatif dan inovatif maka
berbagai bidang usaha yang dapat dinikmati masyarakat.Namun, banyaknya
kebijakan pemerintah yang tidak jelas, membuat timbulnya pungutan – pungutan
baru baik yang legal maupun ilegal.Pertama
belum optimalnya pelaksanaan harmonisasi pusat dan daerah.Kedua kualitas infrastruktur yang
kurang memadai.Ketiga masih
cukup panjangnyaperizinan investasi sehingga masih tingginya biaya perizinan
investasi dibandingkan dengan negara kompetitor.Keempat belum tercukupinya pasokan energi yang dibutuhkan untuk
kegiatan industri.Selain itu banyaknya tumpang tindih kebijakan antar pusat dan
daerah serta antar sektor yang membuat belum mantapnya pelaksanaan program
desentralisasi.Akibatnya terjadi ketimpangan wewenang antara pemerintah pusat
dan daerah dalam kebijakan investasi.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peran birokrasi terhadap
peningkatan investasi daerah?
2.
Apa saja kendala yang membuat investasi
di indonesia terhambat?
3.
Bagaimana strategi birokrasi dalam
meningkatkan investasi agar lebih produktif?
1.3 Tujuan
1.
Memahami peran birokrasi terhadap
peningkatan investasi daerah.
2.
Dapat mengetahui kendala yang membuat
investasi Indonesia terhambat.
3.
Dapat Mengetahui strategi birokrasi dalam
meningkatkan investasi agar lebih produktif.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Peran
Birokrasi Dalam Investasi Daerah
Investasi adalah
suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan
ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan
suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut
juga sebagai penanaman modal.
Peranan
pemerintah dalam pengembangan investasi sangat luas, bukan hanya dalam bentuk
perizinan usaha, melainkan yang lebih mendasar adalah bagaimana menjadikan
investasi bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Peranan
merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang.
Pengharapan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan
terjadinya suatu peranan. Pada tingkat organisasi berlaku bahwa semakin kita
dapat memahami konsep peranan, maka semakin kita dapat memahami tepatnya
keselarasan atau integrasi antara tujuan dan misi organisasi (Thoha, 1993 ;
80).
Kondisi pelayanan perizinan investasi
di wilayah dan segala permasalahan yang melekat didalamnya akan dapat
ditingkatkan kualitasnya dengan upaya pemberdayaan peran birokrasi yang makin
efektif serta memberikan peran sentral bagi berkembangnya partisipasi
masyarakat, terutama dalam hal pengawasan (social control). Pemberdayaan
peranan birokrasi itu sendiri dapat dilakukan pada dua dimensi pokok (Sobana,
A, 1999 ; 13) yaitu:
1. Aspek
kelembagaan, bearti bahwa organisasi dan struktur kewenangan antar instansi
pemberi dan atau pengelola perizinan investasi, perlu didesain sedemikian rupa
sehingga memberikan kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modalnya.
Dalam kaitan ini, dapat dipertimbangkan beberapa bentuk kelembagaan pelayanan
perizinan, apakah dengan sistem pelayanan fungsional (oleh instansi/dinas
terkait), sistem pelayanan satu atap, sistem pelayanan satu pintu, sistem
pelayanan terpusat, atau bentuk-bentuk pelayanan lain yang dipandang lebih
efektif.
2. Aspek
ketatalaksanaan, berarti bahwa sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja yang
selama ini masih menyimpan kekurangan perlu ditinjau ulang yang ditujukan
kepada terselenggaranya pelayanan perizinan yang lancar, cepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami, serta mudah dilaksanakan.
Pembentukan kelembagaan pelayanan satu atap sebagai
institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat,
pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen
pemerintahan di daerah. Artinya, pembentukan organisasi ini secara empirik
telah memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum, minimal
secara kuantitatif. Dalam konteks teori “reinventing government”, bisa
dikatakan bahwa pembentukan lembaga tersebut telah diilhami oleh makna
community owned, mission driven, result oriented, costumer oriented, serta
anticipatory government (Osborne & Gaebler, 2000 ; 65).
Permasalahan yang sering dihadapi lembaga tadi selalu
berimplikasi pada penambahan dan atau pengembangan organisasi yang sedikit
banyak akan membebani pemerintah daerah, terutama dari segi anggaran, sebab
biaya operasional yang dikeluarkan sepenuhnya diambilkan dari anggaran rutin,
sementara secara “wirausaha” belum mampu menghasilkan pemasukan yang paling
tidak dapat menutup biaya operasional lembaga yang bersangkutan.
Oleh karena itu, inovasi pembentukan lembaga pelayanan
ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam praktek
manajemen pemerintahan di daerah. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan
dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif
kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan
biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan yang standar dikenakan biaya
atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif
mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah,
melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian,
diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan
mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.
Telah disebutkan bahwa keberadaan lembaga pelayanan satu
atap secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas
pelayanan umum. Namun perlu digaris bawahi pula bahwa fungsi lembaga pelayanan
satu atap sesungguhnya tidak lebih sebagai front liner dalam penyelenggaraan
layanan tertentu. Artinya, lembaga ini memfungsikan dirinya sebagai “loket”
penerima permohonan yang akan dilanjutkan prosesnya kepada dinas/instansi
fungsionalnya masing-masing. Dalam kondisi demikian, maka pembentukannya justru
dapat dipersepsikan sebagai “penambahan rantai birokrasi” dalam pelayanan
kepada masyarakat. Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau
lembaga pelayanan satu atap ini harus dapat bekerja secara profesional, dalam
pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses
penyelesaian jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas
yang lebih baik pula.
Selanjutnya dalam perspektif kedepan tentang pemberian
otonomi luas kepada pemerintah Kabupaten/Kota, maka keberadaan lembaga
pelayanan satu atap ini akan dapat disejajarkan struktur maupun fungsinya
dengan unit pelaksana pemerintahan daerah yang lain, yakni Dinas Daerah. Hal
ini sesuai dengan semangat UU No. 22 Tahun 1999, dimana pemerintah daerah dapat
membentuk dinas daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang telah
diserahkan menjadi urusan rumah tangganya. Atas dasar ketentuan ini, lembaga
pelayanan satu atap memiliki peluang positif untuk ditingkatkan statusnya
menjadi dinas daerah. Hal ini terutama untuk mengatasi hambatan yang menyangkut
kejelasan struktur organisasi, kedudukan pejabatnya status kepegawaiannya, dan
sebagainya.
Apabila peluang ini dimanfaatkan, maka jelas terjadi
penambahan dan atau pengembangan organisasi disatu pihak, namun di pihak lain akan
dapat dilakukan efisiensi organisasi, dimana beberapa fungsi pelayanan yang
selama ini tersebar pada berbagai dinas/instansi, kemudian ditarik dan
dimasukkan sebagai tugas pokok lembaga pelayanan satu atap. Dengan demikian,
maka unit yang menangani urusan pensertifikatan tanah di Kantor Pertanahan akan
dapat dipangkas. Demikian pula unit yang menangani urusan akta catatan sipil di
Kantor Catatan Sipil akan dapat dihilangkan. Selanjutnya unit yang menangani
urusan pelayanan IMB di Dinas PU dapat lebih disederhanakan. Demikian
seterusnya. Namun jika pembentukan lembaga pelayanan satu atap menjadi dinas
dianggap sebagai suatu “pemborosan”, maka dapat diterapkan logika sebaliknya,
dimana keberadaan dinas-dinas daerah yang ada saat ini dapat dibentuk menjadi
UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang tidak terlalu membebani anggaran daerah, dan
justru sebaliknya dapat menghasilkan penerimaan fungsional guna menunjang PAD.
Tata laksana pelayanan umum melalui sistem satu atap
sebagaimana dikemukakan, pada dasarnya adalah penyelenggaraan berbagai jenis
pelayanan umum pada satu tempat/lokasi oleh beberapa dinas/instansi sesuai
kewenangannya masing-masing. Dengan kata lain, beberapa fungsi pelayanan yang
selama ini dilakukan oleh dinas/instansi secara terpisah, diintegrasikan
kedalam satu tempat/lokasi. Sistem pelayanan yang demikian memberikan beberapa
keuntungan antara lain : Masyarakat tidak perlu menghubungi instansi yang
letaknya berjauhan, hemat biaya, mudah dihubungi, pengurangan pungutan yang
tidak perlu, transparansi prosedur dan biaya, serta terwujudnya integrasi dalam
pelayanan umum.
Dengan adanya lembaga pelayanan satu atap ini, maka
prosedur pelayanan umum diasumsikan menjadi lebih mudah, cepat, akurat dan
hemat. Selain itu terdapat beberapa pola pelayanan
menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun
1993 terdiri dari :
1.
Sistem pelayanan fungsional, yaitu sistem pelayanan yang
diberikan oleh suatu instansi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta
wewenang dan tanggungjawab instansi yang bersangkutan.
2.
Sistem pelayanan satu pintu, yaitu sistem pelayanan yang
diberikan secara tunggal oleh pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari
instansi teknis terkait dalam perizinan.
- Sistem pelayanan satu atap, yaitu sistem pelayanan
yang dilakukan secara terpadu dalam suatu tempat/bangunan oleh beberapa
instansi pemerintah yang terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
serta wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
- Sistem pelayanan terpusat, yaitu sistem pelayanan
yang dilakukan oleh satu instansi pemerintah yang berperan sebagai
koordinator dari instansi-instansi pemerintah lainnya yang terkait dalam
pelayanan perijinan.
Melihat kepada format kelembagaan maupun ketatalaksanaan
dari empat alternatif yang ada, masing-masing tetap memiliki kelemahan atau
kekurangan disamping kelebihan atau keuntungan yang ada.
2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perizinan
Investasi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perizinan
investasi. Berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perijinan Investasi
2.2.1
Sumber Daya Manusia
Dominasi negara dalam perekonomian yang mewarnai
penyelenggaraan pemerintahan orde baru telah menimbulkan keterpurukan ekonomi
dan erosi nilai-nilai moral. Stateled dominasi Negara yang bersifat intervensi
yang disertai kontrol politik yang terpusat menimbulkan birokrasi yang tidak
responsif, otoriter dan korup. Runtuhnya orde baru dan lahirnya orde reformasi
memberi peluang dan harapan bagi proses perubahan yang mendasar, sehingga
diharapkan dapat membawa masyarakat dan negara ini ke arah yang lebih baik.
Namun tidak mudah mewujudkan kristalisasi menuju suatu common platform yang
merupakan konsensus dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Sampai sekarang
belum nampak adanya grand design ke arah mana masyarakat dan negara ini akan
dibawa.
Meskipun
kebijakan dan strategi pembangunan yang dianut oleh orde reformasi tadi masih
belum terkristalisasi, namun agaknya tidak ada pihak yang berkeberatan untuk
mewujudkan apa yang dikenal dengan good governance, di mana terdapat hubungan
yang harmonis dan imbang antara negara, pasar dan masyarakat yang memadukan
pendekatan yang berorientasi pasar untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan
pemberdayaan masyarakat melalui demokratisasi yang membuka akses yang
selebar-lebarnya bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan. Di satu sisi, kebijakan stabilisasi kondisi ekonomi makro,
liberalisasi perdagangan domestik dan internasional, deregulasi pasar,
privatisasi BUMN menjadi acuan utama pembangunan ekonomi, di sisi lain
demokratisasi prakarsa dalam pengambilan keputusan mewarnai good governance
yang merefleksikan hubungan yang harmonis antara negara, pasar dan masyarakat
sipil. Di dalam konfigurasi yang demikian, sosok sumber daya birokrasi yang
menopang dirigiste tidak lagi cocok untuk mendukung good governance ini.
Karenanya perlu dilakukan perubahan total di dalam budaya maupun
profesionalisme birokrasi ini.
Salah satu
kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah
kualitas entrepreneurial yang dapat menjembatani antara state dan market. Di
dalam konteks kecenderungan liberalisasi ekonomi yang terjadi ini, kualitas
entrepreneurial birokrasi di perlukan untuk mengintervensi pasar secara
selektif berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ad hoc untuk
menjamin berfungsinya pasar secara sehat dan menghindari “the blind force of
the market”. Kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan
dengan hal tersebut mencakup:
1.
Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan
baru yang timbul di dalam pasar.
2.
Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait
dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan
terobosan (break through) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif.
3.
Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik.
4.
Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan
dan meminimalkan resiko.
5.
Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru.
6.
Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi
resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi.
7.
Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang
tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju
kegiatan yang berproduktivitas tinggi.
Birokrat yang mempunyai kualitas entrepreneurial
seringkali secara sengaja melakukan destabilizing force dalam rangka
menimbulkan creative destruction equilibrium yang satu menuju equilibrium yang
lain yang lebih tinggi. Sikap rasionalitas, impartialitas dan impersonal
mendasari kemampuan profesional ini. Kompetensi birokrasi lain yang dituntut oleh
good governance adalah kemampuannya menjembatani antara the state dan civil
society. Hal ini tersirat baik dalam definisi Adil Khan tersebut, maupun dalam
definisi Meier yang menegaskan bahwa good governance merupakan cara mengatur
pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya
bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggungjawab pada publik. Dari
definisi yang telah disebutkan tadi, setidak-tidaknya ada dua kompetensi yang
harus dimiliki oleh birokrasi.
Pertama, birokrasi
haruslah mampu memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif
sebaik-baiknya. Hal ini menuntut kemampuan untuk mamahami dan mengartikulasikan
aspirasi dan kebutuhan masyarakat, dan merumuskannya dalam kebijakan dan
perencanaan serta mengimplementasikannya. Sosok “Hegelian Bureaucracy” agaknya
mewakili tuntutan profesionalisme ini. Kedua,
birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil
dengan menciptakan enabling social setting. Pendekatan top down yang selama ini
menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dan masyarakat harus mengalami
perubahan menjadi hubungan horisontal (levelling-off).
Dalam kaitan ini, figur atau sosok sumber daya manusia
Indonesia pada abad 21 adalah manusia-manusia yang memiliki kualifikasi sebagai
berikut:
1.
Memiliki wawasan pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skill) dan sikap atau perilaku (attitude) yag relevan dan mampu menunjang
pencapaian sasaran dan bidang tugas dalam suatu organisasi.
2.
Memiliki disiplin kerja, dedikasi dan loyalitas yang tinggi
terhadap pekerjaan dan terhadap organisasi.
3.
Memiliki rasa tanggungjawab dan pengertian atau pemahaman
yang mendalam terhadap tugas dan kewajibannya sebagai karyawan dan atau unsur
manajemen organisasi.
4.
Memiliki jiwa dan kemauan atau hasrat yang kuat untuk
berprestasi, produktif dan bersikap profesional.
5.
Memiliki kemauan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan
potensi dan kemampuan diri pribadi demi kelancaran pelaksanaan tugas
organisasi.
6.
Memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang teknik maupun
manajemen dan kepemimpinan.
7.
Memiliki keahlian dan keterampilan yang tertinggi dalam
bidang tugas dan memiliki kemampuan alih teknologi.
8.
Memiliki jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) yang
tinggi dan konsisten.
9.
Memiliki pola pikir dan pola tindak yang sesuai dengan
visi, misi dan budaya kerja organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem dan mekanisme
diklat perlu di desain secara baik, sehingga dapat menjawab tantangan kebutuhan
dimasa yang akan datang, khususnya tuntutan menciptakan aparatur pada abad 21
yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage), bersih dan
berwibawa, handal, serta efektif dan efisien. Termasuk dalam upaya
penyempurnaan sistem dan mekanisme diklat ini adalah bagaimana meminimalisir
kendala-kendala yang dihadapi serta mengoptimalkan setiap peluang yang ada.
Untuk mewujudkan sosok aparatur yang mempunyai kualitas
dan daya saing tinggi tersebut, maka beberapa aspek yang perlu dibina adalah
pembinaan inisiatif (initiative), kreativitas (creativity), kepercayaan
terhadap diri sendiri (self-confidence), tanggung jawab (responsibility),
dinamika atau mobilitas (mobility), kemampuan menyesuaikan diri (flexible),
kesiapan untuk menerima pengetahuan baru (readiness to learn), sadar terhadap
kualitas (quality conciousness), kemampuan untuk bekerjasama (ability to
cooperate), kemampuan bermusyawarah untuk mufakat (compronise), memiliki
loyalitas terhadap organisasi (loyality), siap untuk melakukan pengambilan
keputusan (prepared for decision making), memiliki pemahaman terhadap suatu
sistem yang kompleks (understanding of complex systems), memiliki kemampuan
berkomunikasi (communication skills), serta mempunyai semangat untuk bekerja
secara kelompok (team spirit).
Keseluruhan upaya tesebut, diharapkan dapat mewujudkan
kualitas manusia Indonesia (khususnya aparatur pemerintahan) dalam manajemen
pembangunan, yakni mereka yang memiliki tiga kualifikasi sebagai berikut:
pertama, melekatnya sifat-sifat loyalitas, dedikasi dan motivasi kerja dalam
mengemban tugas-tugasnya; kedua, dimilikinya kemampuan dan keahlian
profesional; dan ketiga, dilaksanakannya sikap-sikap mental yang berorientasi
pada etos kerja yang tertib, jujur, disiplin, produktif dan bekerja tanpa
pamrih. Paling tidak tiga kualifikasi inilah yang diperlukan oleh setiap aparatur
untuk menghadapi berbagai implikasi dari pemberlakukan perdagangan bebas pada
era globalisasi.
2.2.2
Teknologi Informasi
Pada dekade ini
pada hakikatnya perubahan teknologi dapat dikelompokkan (Reksohadiprodjo, 1999
: 85) sebagai berikut :
1. Perubahan teknologi
di bidang komputer.
2. Perubahan
teknologi di bidang transportasi dan komunikasi
3. Perubahan
teknologi di bidang energi dan sumber daya alam.
4. Perubahan
teknologi di bidang proses produksi baru.
Kita mengetahui bahwa perkembangan komputer begitu cepatnya
sehingga kemampuan komputer untuk tugas-tugas tertentu melebihi perkiraan kita
semula. Sebagian dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan administratif.
Selanjutnya komputer justru menambah kesempatan kerja dan tidak seperti yang
dikhawatirkan semula, yaitu akan mengakibatkan pengangguran.
Pemanfaatan komputer untuk menghitung soal-soal yang
kompleks tidak disangkal lagi, dan juga komputer dapat dipergunakan untuk
mengadakan forecast jangka panjang situasi yang dihadapi perusahaan, dan
hebatnya lagi kita dapat memasukkan/mengeluarkan berbagai variabel sedemikian
rupa sehingga hasil yang diperoleh hampir mendekati realita. Dengan demikian
komputer akan sangat membantu peletakan strategi, kebijaksanaan dan taktik yang
perlu diambil untuk menghadapi keadaan lingkungan yang selalu berubah itu. Hal
ini dibantu oleh kemampuan komputer sebagai alat penyimpan serta penganalisa
data, sehingga memudahkan manajemen untuk selalu berkonsultasi dengannya.
Kemajuan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi
memungkinkan makin cepatnya, serta keluwesan arus barang-barang dan jasa-jasa,
dan ini merupakan faktor utama perkembangan industri. Komunikasipun berkembang.
Penggunaan telepon, telegram, radio, dan TV melalui satelit-satelit dapat
dilihat secara nyata. Usaha-usaha untuk mempertahankan keseimbangan antara
penggunaan serta tersedianya sumber-sumber daya alam menghadapi berbagai
persoalan yang sifatnya teknis dan ekonomis. Kemungkinan saling mengganti
antara sumber-sumber yang satu dengan yang lainnya terbatas, akan tetapi
perkembangan teknologi, walaupun dengan biaya tinggi, memungkinkan hal ini.
Yang perlu diingat di sini ialah kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan
sebagai akibat pemanfaatan energi serta sumber daya alam.
Perkembangan proses produksi tidak ada hentinya berkat
penemuan-penemuan baru. Penelitian-penelitian ilmiah berjalan terus sehingga
dihasilkan proses-proses yang efisien dan efektif yang memungkinkan penekanan
biaya walaupun harga bahan mentah cenderung naik.
Sasaran kelompok proses ketiga adalah menilai status,
kapabilitas, efektifitas, dan orientasi teknologi informasi organisasi
tersebut, yang berhubungan dengan visi dan strategi perusahaan yang ditata
ulang. Langkah-langkahnya adalah:
1.
Menetapkan dimana letak organisasi tersebut di dalam
evolusi teknologi informasi.
2.
Memastikan dimana seharusnya teknologi informasi berada
untuk mendukung imperatif rekayasa ulang organisasi tersebut.
3.
Mengevaluasi apakah organisasi harus atau dapat
berkembang secara alami, mempercepat evolusinya, atau melompat ke tingkat yang
lebih tinggi.
Dalam menetapkan prioitas dan kemampuan organisasi untuk
mentransformasikan dirinya dengan dukungan teknologi, tim rekayasa ulang perlu
memperhitungkan apakah teknologi dapat membantu memberikan solusi yang
memungkinkan dalam cara yang efektif dari segi biaya dan tepat waktu.
Isu-isunya menyangkut:
1. Kecanggihan
teknologi saat ini dan di masa mendatang.
2. Tingkat
integrasi teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari organisasi.
3. Aplikasi
perangkat lunak yang tersedia di pasaran.
4. Cara-cara untuk
mendapatkan dan menggunakan data.
5. Sikap para
karyawan terhadap teknologi.
2.2.3
Persepsi Investor
Persepsi adalah
suatu proses memperhatikan, menyeleksi dan menafsirkan stimulus lingkungan,
dimana proses tersebut terjadi karena interprestasi seseorang berdasarkan
pengalaman yang dialami maupun stimulus yang datang padanya (Gitosudarmo &
Sudita, 1997 : 17).
Para investor
yang memiliki teknologi dan modal tentu mempunyai persepsi yang disesuaikan
dengan standard pengalaman maupun harapan terhadap sesuatu yang terjadi dengan
aktivitas kesehariannya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas usaha atau
bisnis yang sedang dikelola. Salah satu aktivitas yang berkaitan dengan usaha
yang sedang dijalankan adalah proses perizinan terhadap usaha tersebut sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku di suatu daerah.
Terdapat
sepuluh indikator menurut Sobana, A (1999; 20) yang berkaitan dengan persepsi
investor terhadap proses perizinan investasi:
1.
Dalam hal kemudahan dan keakuratan informasi mengenai
peluang di bidang investasi.
2.
Mengenai pentingnya informasi tentang calon mitra usaha.
3.
Dalam hal kemudahan informasi tentang tata cara dan
prosedur investasi, yang berkaitan dengan pemahaman yang cukup baik dari para
investor terhadap tata cara dan prosedur investasi ini tidak semata-mata
disebabkan oleh sikap pro aktif dari aparat terkait, namun lebih kepada
rutinitas dalam mengurusi suatu perizinan tertentu.
4.
Aspek kemudahan mengenai ketentuan dan persyaratan
permohonan investasi.
5.
Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi
perizinan investasi yang diberikan oleh instansi berwenang.
6.
Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi
perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah pusat selain instansi
daerah.
7.
Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi
perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah daerah (propinsi).
8.
Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi
perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah daerah (kabupaten
atau kota).
9.
Terjadinya pungutan yang diatur secara resmi/legal, yang
dianggap sebagai beban atau kendala bagi penciptaan efisiensi biaya produksi.
10. Harapan
kalangan investor terhadap adanya kebijaksanaan untuk mengintegrasikan
jenis-jenis pelayanan secara terpadu.
Dalam era globalisasi, perubahan ekonomi dunia, dan
persaingan yang semakin tinggi ini, dimana perkembangan teknologi yang begitu
cepat, mengakibatkan peran tenaga kerja kasar (blue color labour) semakin
berkurang. Dengan demikian melimpahnya tenaga kerja yang tidak disertai dengan
kualitas yang tinggi bukan lagi merupakan suatu keunggulan komparatif
(comparative advantage), melainkan hanya merupakan suatu beban negara yang
berat harus diatasi, bukan hanya dengan penyediaan kesempatan kerja saja
melainkan harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sehingga mampu bersaing
dan menjadi suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage).
2.3 Kendala yang Membuat Investasi di
Indonesia Terhambat
Menurut Halim
(2005:1), investasi pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana pada
saat ini dengan harapan untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang. Tetapi
Kendala serius investasi Indonesia adalah peningkatan biaya melakukan bisnis
yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah.Keterbatasan anggaran dan
lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan
penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung
perekonomian lokal dan nasional.
Pengenaan
pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten
hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan beban
retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk
meningkatkanpenerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis,
yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagi investasi, dan merupakan
lahan subur bagi praktek – praktek korupsi.
Mahalnya memulai
bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di
Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa
Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah
hari dalam melakukan bisnis. untuk mengurus semua perizinan usaha, seorang
pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya biaya dan modal minimum
yang diperlukan berkisar sekitar, masing-masing 130,7% dan 125,6% dari
pendapatan per kapita di Indonesia. Sejumlah masalah yang telah disebut di atas
mencerminkan kualitas dari kelembagaan publik di Indonesia. Buruknya
kelembagaan publik di Indonesia juga ditunjukkan di dalam laporan tahunan dari
WEF.
Dapat dilihat
bahwa untuk hampir semua indikator tersebut, kondisi Indonesia semakin buruk.
Misalnya, dalam hal kemandirian judicial dari pengaruh politik dari anggota –
anggota pemerintah (misalnya menteri dan presiden), politikus, masyarakat, dan
perusahaan, peringkat Indonesia jatuh dari 58 ke 68; walaupun secara relatif
kejatuhannya lebih kecil karena jumlah sampel negara bertambah. Dalam hal
kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan – perselisihan
bsinis dan menolak legalitas dari tindakan – tindakan atau peraturan –
peraturan pemerintah, posisi Indonesia menurun dari 51 ke 73.Untuk dua
indikator berikut yang merupakan salah satu penentu krusial bagi pertumbuhan
investasi, Indonesia juga masih buruk kinerjanya, yakni hak – hak properti dan
perlindungan kekayaan intelektual.
Perihal
pemborosan atau efisiensi dalam pengeluaran pemerintah, yakni apakah pemerintah
menyediakan barang – barang dan jasa – jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha
yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar, posisi
Indonesia juga memburuk. Dalam hal beban yang harus ditanggung oleh pelaku
bisnis dari regulasi – regulasi pemerintah pusat, yakni dalam memenuhi
persyaratan – persyaratan administrasi berkaitan dengan perizinan,
pelaporan, dan sebagainya, sebelumnya Indonesia berada pada posisi yang
relatif baik dari 104 negara menjadi lebih buruk. Perbedaan ini mengindikasikan
bahwa distorsi pasar domestik semakin besar dalam satu tahun terakhir ini akibat
regulasi – regulasi pemerintah pusat.
Untuk tingkat
birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat
efisiensi dari birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini merupakan salah
satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif in Indonesia. Faktor
lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau
disinsentif bagi keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak,
dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit
membaik, yang artinya secara relatif dibandingkan banyak negara lain di dalam
sampel, pajak di Indonesia bukan merupakan sumber distortif yang besar terhadap
iklim bisnis.
Dalam hal
pembayaran ekstra tidak tercatat atau terdokumentasi atau penyuapan yang
berkaitan dengan kegiatan – kegiatan ekspor dan impor, dan pemakaian utilitas
publik, peringkat Indonesia juga sangat rendah, dan hal ini bisa merupakan
salah satu masalah yang harus dihilangkan untuk mencapai efektivitas dari
kebijakan – kebijakan dari pemerintah selama ini yang bertujuan memulihkan
kegiatan usaha dan meningkatkan investasi di Indonesia.
Mungkin untuk
Negara – negara yang sudah lama melakukan investasi di Indonesia jadi sudah
sangat kenal keadaan di Indonesia atau untuk perusahaan–perusahaan
multinacional dengan kekayaan perusahaan yang sangat besar kondisi seperti ini
tidak menjadi masalah serius sampai menghambat investasi mereka di dalam
negeri. Tetapi untuk perusahaan–perusahaan skala menengah dan dari Negara –
negara baru, kondisi seperti ini bisa menakutkan atau membuat pemilik modal
menjadi ragu akan kemungkinan bisa mendapatkan keuntungan jika berinvestasi di
Indonesia.
2.4 Potensi Investasi Di Indonesia
Potensi
Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran
(produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedahkan antara
potensi jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang
masih dapat diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak
sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan
pertanian, dan jumlah tenaga kerja yang besar. Sedangkan potensi jangka panjang
adalah pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM). Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak mampu mengembangkan
teknologi dan meningkatkan kualitas SDM nya; namun ini sangat tergantung pada
kemauan sungguh-sungguh dari negara tersebut.
Jika potensi
jangka panjang ini tidak dapat direalisasikan, dan berbagai permasalahan
seperti yang telah disebut di atas juga tidak tuntas, maka lambat laun potensi
jangka pendek akan hilang. Misalnya, salah satu permasalahan tenaga kerja di
Indonesia adalah kualitas serta etos kerja yang rendah. Selama ini, keunggulan
klasik dari tenaga kerja Indonesia relatif dibandingkan banyak negara lain
adalah upah murah, namun saat ini dan terutama di masa depan, keunggulan ini
(potensi jangka pendek) tidak bisa lagi diandalkan sepenuhnya.
Dengan kemajuan
teknologi yang pesat, persaingan yang semakin ketat akibat munculnya banyak
pemain-pemain baru di pasar dan produksi global yang sangat agresif dan semakin
ketatnya penerapan segala macam standarisasi produk yang berkaitan dengan
lingkungan dan keselamatan konsumen, maka Indonesia masih bisa mengandalkan
upah buruh murah hanya apabila dikombinasikan dengan kualitas tenaga kerja yang
tinggi. Karena upah murah akan tidak berarti apa-apa, jika produktivitasnya
rendah dan produk yang dihasilkan berkualitas buruk.
Dari sisi
permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk (dan strukturnya menurut
umur) dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor ini secara bersama
menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi
keuntungan bagi seorang investor. Dari segi jumlah penduduk, tentu Indonesia,
seperti halnya China dan India, merupakan potensi pasar yang sangat besar.
Namun jumlah penduduk saja tidak cukup jika pendapatan penduduk rata-rata per
orang atau kemampuan belanja konsumen di Indonesia kecil. Oleh karena itu,
kemampuan Indonesia untuk pulih kembali setelah krisis dengan menghasilkan
pertumbuhan PDB riil rata-rata per kapita yang tinggi yang paling tidak seperti
pada masa Orde Baru menjadi salah satu pertimbangan serius bagi calon investor
asing.
Saat ini
Indonesia masih dalam proses pemulihan, yang ditandai dengan semakin tingginya
pertumbuhan PDB yang kembali positif sejak 1999 walaupun dengan laju yang
relatif lambat. Dengan pendapatan yang cenderung meningkat, yang berarti
potensi pasar di dalam negeri cenderung meningkat, maka dari sisi permintaan
potensi Indonesia untuk investasi sangat baik.
2.5 Strategi Investasi Birokrasi Di
Indonesia
Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam
mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas, dengan terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1
September 2014.
Melalui Inpres tersebut, Presiden RI
menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di seluruh Indonesia, untuk
mengambil langkah – langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan
kewenangan masing – masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk
meningkatkan daya saing nasional dan pelaksanaan MEA yang telah dimulai pada
Tahun 2015.
Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya
saing dapat terus ditingkatkan, utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi
dasar di antaranya:
1. Pengembangan
industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam
rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan
pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah;
pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia
(SNI).
2. Pengembangan
pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor
pertanian, dan peningkatan akses pasar.
3. Pengembangan
kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan posisi
kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan
pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
4. Pengembangan
energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan
pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi
baru, terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan
listrik agar dapat bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih
baik.
5. Selain
itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan
infrastruktur, pengembangan sistem logistik nasional, pengembangan
perbankan, investasi, usaha mikro,
kecil, dan menengah, tenaga kerja, kesehatan, perdagangan, kepariwisataan, dan
kewirausahaan.
2.6 Studi Kasus Implementasi Reformasi Birokrasi Perizinan Investasi di Kota Bekasi
Kota Bekasi merupakan salah satu kota
yang terdapat di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada dalam
lingkungan megapolitan Jabodetabek dan menjadi kota besar keempat di Indonesia
yang memiliki peran multifungsi yaitu lokasi industri, perumahan dan sentra
perdagangan. Saat ini kota Bekasi berkembang menjadi kawasan sentra industri
dan kawasan tempat tinggal kaum urban. Seca-ra geografis kota Bekasi berada
pada ketinggian 19 m diatas permukaan laut. Kota ini terletak di sebelah timur
Jakarta; berbatasan dengan Jakarta Timur di barat, kabupaten Bekasi di utara
dan timur, kabupaten Bogor di selatan, serta kota Depok di sebelah barat daya.Dari
to-tal luas wilayahnya, lebih dari 50 % sudah men-jadi kawasan efektif
perkotaan dengan 90 % te-lah menjadi kawasan perumahan, 4 % telah menjadi
kawasan industri, 3 % telah digunakan untuk perdagangan, dan sisanya untuk
bangunan lainnya. Kota ini sebelumnya merupakan sebuah kecamatan dari kabupaten
Bekasi yang kemudian berkembang dan ditingkatkan statusnya pada tahun 1982
menjadi kota administratif Bekasi yang
saat itu terdiri atas empat keca-matan yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi
Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, dan meliputi 18 kelurahan serta 8
desa. Di tahun 1996 kota administratif Bekasi kembali ditingkatkan statusnya
menjadi kotamadya (sekarang
kota). Jumlah Penduduk Kota Bekasi adalah 2.336.498 orang.
Terkait dengan birokrasi perizinan
penanaman modal di Kota Bekasi ini sebelum di lakukan reformasi birokrasi
terjadi hambatan-hambatan dalam perizinan penanaman modal di daerah tersebut
antara lain :
1.
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),
Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Izin Usaha In-dustri (SIUI), Tanda Daftar
Gudang (TDG) dikeluarkan oleh Dinas Perindus-trian dan Perdagangan Kota Bekasi.
2.
Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK)
yang mengeluarkan adalah Dinas Bina Marga di Kota Bekasi.
3.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) instansi
yang mengeluarkan adalah Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Bekasi.
4.
Izin Pelayanan Kesehatan seperti Izin
Apotek, Izin Toko Obat, Izin Praktek Dokter, Izin Praktek Bidan dan Izin Sarana
Pelayanan Kesehatan instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Kesehatan Kota
Bekasi.
5.
Izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)
instansi yang mengeluarkan adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Bekasi.
6.
Izin Pertambangan Galian C dan Izin
Penggambilan Air Bawah Tanah instansi yang mengeluarkan izin adalah Dinas
Sumber Daya Alam dan Pertam-bangan Kota Bekasi.
7.
Izin Trayek dan Pengusaha Angkutan
instansi yang mengeluarkan izin adalah Dinas Perhubungan Kota Bekasi.
8.
Surat Izin Usaha Pariwisata (SIUP)
instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bekasi.
Kondisi pelayanan perizinan ini terkesan
belum efektif dan terkesan berbelit-belit. Untuk mengatasi kondisi tersebut
pemerintah Kota Bekasi memebentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota
Bekasi.
Pembentukan Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu (BPPT) Kota Bekasi berdasarkan Peraturan Daerah No. 09 Tahun 2008 pada
dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi perizinan dalam bentuk;
pemangkasan tahapan dan prosedur, baik prosedur lintas instansi mau pun didalam
instansi yang bersangkutan; pe-mangkasan biaya; pengurangan jumlah
persya-ratan; pengurangan jumlah paraf dan tanda tangan yang diperlukan;
pengurangan waktu rata-rata pemrosesan perizinan.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota
Bekasi saat ini melayani 39 jenis perizinan. Pengaruh reformasi birokrasi yang
nyata yaitu mempersingkat waktu karena semua proses perizinan penanaman modal
dilakukan di satu tempat yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi,
berbeda dengan sebelum reformasi birokrasi, perizinan harus dilakukan di banyak
instansi. Keterbukaan in-formasi berjalan seperti persyaratan dan prosedur
mudah di akses dengan dipublikasi melalui media brosur,papan pengumuman, pusat
informasi dan website instansi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam membangun iklim investasi daerah, Pemerintah
belum mampu memberikan jaminan keamanan berusaha bagi investor baik asing
maupun lokal, untuk mengembangkan usaha di daerah yang mencakup kepastian hukum
dan jaminan keamanan, kondisi infrastruktur pendukung, serta birokrasi yang
cepat dan transparan. Kualitas kebijakan dan peraturan yang dirumuskan
pemerintah sangat mempengaruhi iklim investasi, kendala serius investasi
Indonesia adalah Mahalnya memulai bisnis yang menyebabkan memburuknya iklim
investasi di Indonesia.
Sayangnya, pengalaman Indonesia selama ini dalam pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi menunjukkan paling tidak tiga
masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Pertama, sering kali
terjadi tumpang tindih atau perbenturan antara dua (atau lebih) kebijakan, yang
mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara
departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka
masing-masing. Kedua, dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada
koordinasi yang baik antar subdepartemen atau antara pusat dan daerah di dalam
sebuah departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Ketiga
permasalahan perijinan yang harus transparansi dan akuntabilitas, dan yang
terakir adanya keseimbangan antara infrastruktur dan suprastruktur sebagai
sarana utama penarik minat infestor untuk menanamkan modalnya.
Dengan memburuknya iklim investasi, Pemerintah RI
meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Selain strategi dasar
pengembangan, terdapat sektor lain yakni pengembangan infrastruktur dan
pengembangan perbankan.
3.2
Saran
Pelayanan birokrasi yang kurang baik dapat diatasi
dengan upaya pengembangan perilaku bersih di lingkungan pejabat teras. Pemda
seharusnya tetap menjaga dampak sosial dan lingkungan yang terjadi karena
adanya “kemudahan” bagi para investor dan pengusaha. Produsen lokal dan petani
daerah harus lebih diprioritaskan eksistensinya.Kehadiran investor asing justru
seharusnya dapat membantu petani dan produsen lokal dalam memasarkan produk
atau komoditas yang dihasilkan serta menciptakan lapangan kerja. Dengan
terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014, diharapakan dapat meningkatkan daya
saing nasional dan pelaksanaan MEA, utamanya dengan mengedepankan strategi
dasar pengembangan industri nasional,
pertanian, kelautan perikanan, dan energi.
Selain itu pemerintah
harus dapat memahami persoalan yang terjadi dalam iklim investasi Indonesia,
dengan demikian dapat memberi supremasi hukum yang jelas dan juga berkaitan
dengan perijianan merupakan hal yang sangat kursial dalam peningkatan dan
pertumbuhan investasi yang lebih baik dan kondusif.
Daftar Pustaka
1. Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi
Edisi ll. Jakarta: Salemba empat
2. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005.
Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia
3. Sedarmayanti.
2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa
Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung :
Refika Aditama