Thursday 23 February 2017

Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Di dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menggunakan sistem pembagian kekuasaan. Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan.Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama.Mekanisme pembagian ini banyak sekali dilakukan oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat..
Pembagian kekuasaan menjadikan adanya legislatif,eksekutif,dan yudikatif. DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.


1.2       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan eksekutif dan legislatif ?
2.      Bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislatif ?







BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Badan Legislatif
2.1.1    Pengertian Legislatif
Badan legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat,maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat,nama lain yang sering dipakai ialah Parlemen. Badan legislatif(DPR) dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini dengan jalan menetukan kebijaksanaan umum yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum.  
2.1.2    Fungsi Legislatif
a.       Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.
b.      Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
c.       Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang
2.1.3    Hak Legislatif
a.       Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
b.       Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c.        Hak menyatakan pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.
2.2       Eksekutif
Eksekutif adalah salah satu cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dan bertanggungjawab untuk menerapkan hukum.Contoh paling umum dalam sebuah cabang eksekutif disebut ketua pemerintahan. Eksekutif dapat merujuk kepada administrasi, dalam sistem presiden, atau sebagai pemerintah, dalam sistem parlementer
Kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan menyelenggarakan pemerintah negara. Kekuasaan ini dipegang oleh presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar 1945.
Lembaga Eksekutif di Indonesia meliputi presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya. Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Di Indonesia, Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR.Setelah dilantik, presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan sendiri.Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945


2.2.1    Wewenang Eksekutif
a.       Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan menyelenggarakan administrasi Negara
b.      Membuat rancangan undang-undang dan anggaran 
c.       Keamanan, yakni kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam negeri
d.      Memberi grasi, amnesti, dan sebagainya
e.       Diplomatik, yakni kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara lain.
2.3       Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif
Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari MPR inilah, kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara dibawahnya. Prinsip yang dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of power).
Akan tetapi dalam konstitusi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat itu ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (Separation of Power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances(saling imbang dan saling awas).
Posisi antara legislatif (MPR/DPR) dan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dalam konstitusi pasca-amandemen adalah sejajar. Berbeda dengan konstitusi pra-amandemen, legislatif (MPR) berada diatas ekeskutif (Presiden), walau pada kenyataannya eksekutiflah yang sebenarnya berada diatas dan mengendalikan legislatif. Posisi yang sejajar dalam konstitusi pasca-amandemen juga menimbulkan hubungan baru antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, berbeda dengan hubungan antar-keduanya dalam konstitusi pra-amandemen.
Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD 1945), ditemukan beberapa bentuk hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertamakekuasaan legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 ayat (2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.”
Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Posisi DPR sebagai pembuat undang-undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Pada bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi pasca-amandemen (UUD 1945) telah diakomodir.
Kedua, kekuasaan administratif dan kelembagaan. Terdapat dalam Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Dan Pasal 7C “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Posisi Presiden/Wakil Presiden dikontrol oleh DPR melalui mekanisme pemakzulan (impeachment process) serta posisi DPR sama kuat dengan Presiden, karena Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sepertinya pada bidang kekuasaan ini, kekuasaan DPR lebih besar dari Presiden, karena DPR bisa mengkontrol Presiden lewat mekanisme pemakzulan. Prinsip saling awas (checks) bersifat searah dan cenderung legislative heavy. Lalu bagaimana bentuk kontrol Presiden terhadap DPR? sejauh ini penulis tidak menemukan pasal dalam kontitusi pasca-amandemen (UUD  1945) yang menyebutkan kontrol Presiden terhadap DPR. Pasal pemakzulan menurut hipotesa penulis dilandasi pada aksi sejarah Orde Baru yang memberikan kewenangan sangat besar pada Presiden. Jadi Pasal ini bisa disebut “pasal egois”.
Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Ayat (2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dan Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan sebuah keharusan. Kata “memperhatikan” adalah sebuah bentuk saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).
Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan Presiden.

2.4       Masalah Disharmoni Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif
Peluang munculnya hubungan yang tidak harmonis antara badan legislatif dan eksekutif dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia sangat besar, yang dalam hal ini adalah munculnya sekat yang tidak terjembatani antar dua lembaga itu. Kondisi ini hadir utamanya disebabkan adanya kecenderungan “separation of power” yang memungkinkan minimnya aktivitas konsultasi diantara kedua lembaga tersebut dalam menyusun cetak biru dan garis besar kebijakan yang nantinya akan disepakati bersama
Dengan adanya fenomena dual legitimacy,masing-masing lembaga merasa sebagai pilihan rakyat,baik legislatif maupu eksekutif sama-sama merasa berhak untuk menentukan arah kebijakan nasional. Ancaman disintegratif akan semakin kuat manakala badan legislatif berbeda prientasinya dengan eksekutif .
Dampak dari adanya persoalan disharmoni hubungan legislatif dan eksekutif yang terutama adalah munculnya sebuah pola hubungan yang terlalu politis dalam lingkup pemerintahan yang substansif dapat mengganggu proses pembuatan kebijakan yang sehat. Dalam konteks latin,hal ini telah menyebabkan terjadinya pembusukan politik,yang pada akhirnya presiden kerap tergoda untuk benar-benar meninggalkan legislatif. Lebih dari itu ,komitmen konsultatif tampak masih menguasai aura pola hubungan eksekutif dan legislatif saat ini yang tercermin dari perangkat aturan main pemerintahan yang legal maupun pola hubungan lobi informal. Namun dengan kemauan berkompromi dan melakukan akomodasi politik masalah yang ada diantara hubungan eksekutif dan legislatif dapat ditangani.
2.5       Studi Kasus
Contoh nyata yang dapat diketahui dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif terdapat pada kasus hubungan yang sempat berlangsung kurang baik antara Gubernur Jawa Tengah(Eksekutif) dan DPRD Jawa Tengah(legislatif) diantaranya adalah :
2.5.1    Kasus Penyelewengan Dana Bansos
            Dalam kasus ini terjadi perseteruan antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setyabudi. Hal ini terkait adanya indikasi penyelewengan dana bansos yang dilakukan oleh badan legislatif. Konflik muncul karena adanya pernyataan Ganjar yang terkesan menyudutkan DPRD Jawa Tengah. Ketegangan hubungan antara Ganjar Pranowo dengan Ketua sementara DPRD Jateng Rukma Setyabudi yang menolak menandatangani pakta integritas KPK dinilai oleh beberapa kalangan akibat tarik ulur persoalan politik anggaran APBD Pemprov Jateng. Terutama dalam penetapan anggaran dana Bantuan Sosial(Bansos) dan hibah proposal dalam bentuk dana bantuan Sarana dan Prasarana(Sarpras) Pemprov Jateng ke-35 kabupaten/kota di Jateng dan dana aspirasi yang kuasa penuh penggunaaan anggaranya   dipegang oleh anggota Badan Anggaran dan jajaran pimpinan DPRD Jateng. Meruncingnya seteru bau kentut dana bansos kemudian berlanjut menjadi pembahasan dalam forum resmi eksekutif-legislatif,seperti rapat paripurna ,konsultasi dan siding komisi.
2.5.2    Masalah Tentang Hak Penganggaran
            Disini sekali lagi terjadi hubungan yang kurang baik antara DPRD Jateng dan Gubernur Jateng. Kali ini dalam hal penganggaran,masalah yang muncul disini adalah Penganggaran yang dirasa Gubernur Jateng Ganjar Pranowo  tidak merata pada setiap daerah di Jawa Tengah dalam hal Bankeu. Dan pada akhirnya Ganjar pun merubah anggaran Bankeu untuk masing-masing daerah tetapi DPRD Jateng merasa fungsi budgeting DPRD Jateng sudah dikebiri dan tidak difungsikan sama sekali karena besran masing-masing alokasi bantuan keuangan untuk kabupaten/kota pada APBD 2015 sudah disahkan.
2.5.3    Makna Dari Studi Kasus
            Dalam studi kasus yang telah disebutkan diatas dapat diketahui bahwa hubungan eksekutif dan legislatif terdapat dalam beberapa hal diantaranya adalah dalam hal proses penentuan anggaran dan fungsi yang saling mengawasi untuk bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Akan tetapi dalam hubunganya tersebut juga sering terjadi gesekan atau konflik terkait tentang fungsi dan hak yang dimiliki oleh masing-masing lembaga itu baik eksekutif maupun legislatif. Jika terdapat konflik antara eksekutif dan legislatif berarti hal tersebut menunjukkan belum ada pola hubungan yang baik antara kedua lembaga tersebut. Kedua lembaga semestinya membentuk tim yang dapat membangun dan mendorong komunikasi antara eksekutif dan legislatif agar lebih harmonis. Jika terjadi hubungan yang baik antara eksekutif dan legislatif maka kedua lembaga tersebut dapat bekerja sama dengan baik dan dapat mensejahterakan masyarakat luas.
2.6       Pembahasan Teoritis
Dalam mengkaji makalah ini tidak lepas dengan berbagai macam teori tentang kekuasaan yang bermula dari teori Trias Politica. Teori Pembagian Kekuasaan Menurut Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Akan tetapi terdapat perbedaan dengan teori trias politica yang mengajarkan teori tentang pemisahan kekuasaan, di Indonesia menerapkan teori pembagian kekuasaan yang maksudnya lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan, dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada. Hal tersebutlah yang menciptakan adanya hubungan diantara lembaga Negara salah satunya adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif baik hubungan yang bersifat buruk maupun yang bersifat baik.




BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Eksekutif dan legislatif adalah salah satu dari lembaga Negara yang sangat penting peranya dalam mencapai cita-cita dan tujuan suatu Negara Indonesia. Sesuai dengan teori pembagian kekuasaan yang digunakan di Indonesia maka mau tidak mau setiap lembaga Negara akan saling berhubungan walaupun setiap lembaga Negara itu berdiri sendiri dan mempunyai kekuasaan sendiri. Begitu juga dengan eksekutif dan legislatif yang mempunyai hubungan dalam menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah terkait dengan penentuan anggaran yang terkadang memunculkan hubungan yang tidak baik antara eksekutif dan legislatif. Akan tetapi tidak selamanya hubungan antara eksekutif dan legislatif berjalan tidak baik. Pasti ada saatnya kedua lembaga ini bekerjasama dan menemukan titik sepakat dalam penentuan keputusan. Dan yang terpenting diantara hubungan eksekutif dan legislatif adalah adanya fungsi chek and balance yang artinya saling mengawasi dan menyeimbangkan untuk bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan dan tujuan dari Negara Indonesia. Jika hubungan anatara eksekutif dan legislatif baik, harmonis,professional,serta akuntabel dalam menjalankan masing-masing fungsinya maka niscaya roda pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik.
3.2       Saran
Menurut studi yang telah kami dalami,kelompok kami merekomendasikan agar eksekutif dan legislatif untuk mampu bekerjasama secara sinergis di dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing agar tercipta hubungan yang harmonis demi tercapainya tujuan Negara Indonesia. Dan jika terjadi konflik karena adanya salah pengertian kami menyarankan agar semestinya kedua lembaga tersebut membentuk tim yang dapat membangun dan mendorong komunikasi antara eksekutif dan legislatif agar lebih harmonis dan dengan mengintensifkan hubungan yang informal diantara keduanya.
           
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo,Miriam. 2005 . Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Isdiyanto,dkk . 2016. Kontroversi Ganjar . Jakarta : Kompas
Rauf ,Maswadi ,dkk. 2009 .Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta : Pustaka      Pelajar