Thursday 23 February 2017

Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Di dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menggunakan sistem pembagian kekuasaan. Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan.Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama.Mekanisme pembagian ini banyak sekali dilakukan oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat..
Pembagian kekuasaan menjadikan adanya legislatif,eksekutif,dan yudikatif. DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.


1.2       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan eksekutif dan legislatif ?
2.      Bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislatif ?







BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Badan Legislatif
2.1.1    Pengertian Legislatif
Badan legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat,maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat,nama lain yang sering dipakai ialah Parlemen. Badan legislatif(DPR) dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini dengan jalan menetukan kebijaksanaan umum yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum.  
2.1.2    Fungsi Legislatif
a.       Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.
b.      Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
c.       Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang
2.1.3    Hak Legislatif
a.       Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
b.       Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c.        Hak menyatakan pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.
2.2       Eksekutif
Eksekutif adalah salah satu cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dan bertanggungjawab untuk menerapkan hukum.Contoh paling umum dalam sebuah cabang eksekutif disebut ketua pemerintahan. Eksekutif dapat merujuk kepada administrasi, dalam sistem presiden, atau sebagai pemerintah, dalam sistem parlementer
Kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan menyelenggarakan pemerintah negara. Kekuasaan ini dipegang oleh presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar 1945.
Lembaga Eksekutif di Indonesia meliputi presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya. Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Di Indonesia, Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR.Setelah dilantik, presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan sendiri.Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945


2.2.1    Wewenang Eksekutif
a.       Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan menyelenggarakan administrasi Negara
b.      Membuat rancangan undang-undang dan anggaran 
c.       Keamanan, yakni kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam negeri
d.      Memberi grasi, amnesti, dan sebagainya
e.       Diplomatik, yakni kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara lain.
2.3       Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif
Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari MPR inilah, kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara dibawahnya. Prinsip yang dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of power).
Akan tetapi dalam konstitusi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat itu ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (Separation of Power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances(saling imbang dan saling awas).
Posisi antara legislatif (MPR/DPR) dan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dalam konstitusi pasca-amandemen adalah sejajar. Berbeda dengan konstitusi pra-amandemen, legislatif (MPR) berada diatas ekeskutif (Presiden), walau pada kenyataannya eksekutiflah yang sebenarnya berada diatas dan mengendalikan legislatif. Posisi yang sejajar dalam konstitusi pasca-amandemen juga menimbulkan hubungan baru antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, berbeda dengan hubungan antar-keduanya dalam konstitusi pra-amandemen.
Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD 1945), ditemukan beberapa bentuk hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertamakekuasaan legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 ayat (2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.”
Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Posisi DPR sebagai pembuat undang-undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Pada bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi pasca-amandemen (UUD 1945) telah diakomodir.
Kedua, kekuasaan administratif dan kelembagaan. Terdapat dalam Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Dan Pasal 7C “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Posisi Presiden/Wakil Presiden dikontrol oleh DPR melalui mekanisme pemakzulan (impeachment process) serta posisi DPR sama kuat dengan Presiden, karena Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sepertinya pada bidang kekuasaan ini, kekuasaan DPR lebih besar dari Presiden, karena DPR bisa mengkontrol Presiden lewat mekanisme pemakzulan. Prinsip saling awas (checks) bersifat searah dan cenderung legislative heavy. Lalu bagaimana bentuk kontrol Presiden terhadap DPR? sejauh ini penulis tidak menemukan pasal dalam kontitusi pasca-amandemen (UUD  1945) yang menyebutkan kontrol Presiden terhadap DPR. Pasal pemakzulan menurut hipotesa penulis dilandasi pada aksi sejarah Orde Baru yang memberikan kewenangan sangat besar pada Presiden. Jadi Pasal ini bisa disebut “pasal egois”.
Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Ayat (2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dan Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan sebuah keharusan. Kata “memperhatikan” adalah sebuah bentuk saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).
Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan Presiden.

2.4       Masalah Disharmoni Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif
Peluang munculnya hubungan yang tidak harmonis antara badan legislatif dan eksekutif dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia sangat besar, yang dalam hal ini adalah munculnya sekat yang tidak terjembatani antar dua lembaga itu. Kondisi ini hadir utamanya disebabkan adanya kecenderungan “separation of power” yang memungkinkan minimnya aktivitas konsultasi diantara kedua lembaga tersebut dalam menyusun cetak biru dan garis besar kebijakan yang nantinya akan disepakati bersama
Dengan adanya fenomena dual legitimacy,masing-masing lembaga merasa sebagai pilihan rakyat,baik legislatif maupu eksekutif sama-sama merasa berhak untuk menentukan arah kebijakan nasional. Ancaman disintegratif akan semakin kuat manakala badan legislatif berbeda prientasinya dengan eksekutif .
Dampak dari adanya persoalan disharmoni hubungan legislatif dan eksekutif yang terutama adalah munculnya sebuah pola hubungan yang terlalu politis dalam lingkup pemerintahan yang substansif dapat mengganggu proses pembuatan kebijakan yang sehat. Dalam konteks latin,hal ini telah menyebabkan terjadinya pembusukan politik,yang pada akhirnya presiden kerap tergoda untuk benar-benar meninggalkan legislatif. Lebih dari itu ,komitmen konsultatif tampak masih menguasai aura pola hubungan eksekutif dan legislatif saat ini yang tercermin dari perangkat aturan main pemerintahan yang legal maupun pola hubungan lobi informal. Namun dengan kemauan berkompromi dan melakukan akomodasi politik masalah yang ada diantara hubungan eksekutif dan legislatif dapat ditangani.
2.5       Studi Kasus
Contoh nyata yang dapat diketahui dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif terdapat pada kasus hubungan yang sempat berlangsung kurang baik antara Gubernur Jawa Tengah(Eksekutif) dan DPRD Jawa Tengah(legislatif) diantaranya adalah :
2.5.1    Kasus Penyelewengan Dana Bansos
            Dalam kasus ini terjadi perseteruan antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setyabudi. Hal ini terkait adanya indikasi penyelewengan dana bansos yang dilakukan oleh badan legislatif. Konflik muncul karena adanya pernyataan Ganjar yang terkesan menyudutkan DPRD Jawa Tengah. Ketegangan hubungan antara Ganjar Pranowo dengan Ketua sementara DPRD Jateng Rukma Setyabudi yang menolak menandatangani pakta integritas KPK dinilai oleh beberapa kalangan akibat tarik ulur persoalan politik anggaran APBD Pemprov Jateng. Terutama dalam penetapan anggaran dana Bantuan Sosial(Bansos) dan hibah proposal dalam bentuk dana bantuan Sarana dan Prasarana(Sarpras) Pemprov Jateng ke-35 kabupaten/kota di Jateng dan dana aspirasi yang kuasa penuh penggunaaan anggaranya   dipegang oleh anggota Badan Anggaran dan jajaran pimpinan DPRD Jateng. Meruncingnya seteru bau kentut dana bansos kemudian berlanjut menjadi pembahasan dalam forum resmi eksekutif-legislatif,seperti rapat paripurna ,konsultasi dan siding komisi.
2.5.2    Masalah Tentang Hak Penganggaran
            Disini sekali lagi terjadi hubungan yang kurang baik antara DPRD Jateng dan Gubernur Jateng. Kali ini dalam hal penganggaran,masalah yang muncul disini adalah Penganggaran yang dirasa Gubernur Jateng Ganjar Pranowo  tidak merata pada setiap daerah di Jawa Tengah dalam hal Bankeu. Dan pada akhirnya Ganjar pun merubah anggaran Bankeu untuk masing-masing daerah tetapi DPRD Jateng merasa fungsi budgeting DPRD Jateng sudah dikebiri dan tidak difungsikan sama sekali karena besran masing-masing alokasi bantuan keuangan untuk kabupaten/kota pada APBD 2015 sudah disahkan.
2.5.3    Makna Dari Studi Kasus
            Dalam studi kasus yang telah disebutkan diatas dapat diketahui bahwa hubungan eksekutif dan legislatif terdapat dalam beberapa hal diantaranya adalah dalam hal proses penentuan anggaran dan fungsi yang saling mengawasi untuk bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Akan tetapi dalam hubunganya tersebut juga sering terjadi gesekan atau konflik terkait tentang fungsi dan hak yang dimiliki oleh masing-masing lembaga itu baik eksekutif maupun legislatif. Jika terdapat konflik antara eksekutif dan legislatif berarti hal tersebut menunjukkan belum ada pola hubungan yang baik antara kedua lembaga tersebut. Kedua lembaga semestinya membentuk tim yang dapat membangun dan mendorong komunikasi antara eksekutif dan legislatif agar lebih harmonis. Jika terjadi hubungan yang baik antara eksekutif dan legislatif maka kedua lembaga tersebut dapat bekerja sama dengan baik dan dapat mensejahterakan masyarakat luas.
2.6       Pembahasan Teoritis
Dalam mengkaji makalah ini tidak lepas dengan berbagai macam teori tentang kekuasaan yang bermula dari teori Trias Politica. Teori Pembagian Kekuasaan Menurut Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Akan tetapi terdapat perbedaan dengan teori trias politica yang mengajarkan teori tentang pemisahan kekuasaan, di Indonesia menerapkan teori pembagian kekuasaan yang maksudnya lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan, dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada. Hal tersebutlah yang menciptakan adanya hubungan diantara lembaga Negara salah satunya adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif baik hubungan yang bersifat buruk maupun yang bersifat baik.




BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Eksekutif dan legislatif adalah salah satu dari lembaga Negara yang sangat penting peranya dalam mencapai cita-cita dan tujuan suatu Negara Indonesia. Sesuai dengan teori pembagian kekuasaan yang digunakan di Indonesia maka mau tidak mau setiap lembaga Negara akan saling berhubungan walaupun setiap lembaga Negara itu berdiri sendiri dan mempunyai kekuasaan sendiri. Begitu juga dengan eksekutif dan legislatif yang mempunyai hubungan dalam menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah terkait dengan penentuan anggaran yang terkadang memunculkan hubungan yang tidak baik antara eksekutif dan legislatif. Akan tetapi tidak selamanya hubungan antara eksekutif dan legislatif berjalan tidak baik. Pasti ada saatnya kedua lembaga ini bekerjasama dan menemukan titik sepakat dalam penentuan keputusan. Dan yang terpenting diantara hubungan eksekutif dan legislatif adalah adanya fungsi chek and balance yang artinya saling mengawasi dan menyeimbangkan untuk bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan dan tujuan dari Negara Indonesia. Jika hubungan anatara eksekutif dan legislatif baik, harmonis,professional,serta akuntabel dalam menjalankan masing-masing fungsinya maka niscaya roda pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik.
3.2       Saran
Menurut studi yang telah kami dalami,kelompok kami merekomendasikan agar eksekutif dan legislatif untuk mampu bekerjasama secara sinergis di dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing agar tercipta hubungan yang harmonis demi tercapainya tujuan Negara Indonesia. Dan jika terjadi konflik karena adanya salah pengertian kami menyarankan agar semestinya kedua lembaga tersebut membentuk tim yang dapat membangun dan mendorong komunikasi antara eksekutif dan legislatif agar lebih harmonis dan dengan mengintensifkan hubungan yang informal diantara keduanya.
           
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo,Miriam. 2005 . Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Isdiyanto,dkk . 2016. Kontroversi Ganjar . Jakarta : Kompas
Rauf ,Maswadi ,dkk. 2009 .Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta : Pustaka      Pelajar




Thursday 12 January 2017

MAKALAH PERAN BIROKRASI TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DAERAH (Studi Kasus Reformasi Birokrasi Perizinan Investasi di Kota Bekasi)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dinamika perkembangan ekonomi global akhir – akhir ini memberikan  sinyal akan pentingnya peningkatan daya saing di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang saat ini telah dilaksanakan. MEA menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif. Pemberlakuan MEA  dapat pula dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan  terjadinya arus bebas (free flow) : barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan MEA sendiri perlu terus dikawal  dengan upaya – upaya terencana dan targeted dengan terus meningkatkan  sinergitas, utamanya dalam meningkatkan dukungan menata ulang kelembagaan birokrasi, membangun infrastruktur, mengembangkan sumberdaya manusia, perubahan sikap mental serta meningkatkan akses financial terhadap sektor riil yang kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi peluang  karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Pada sisi investasi, dengan dukungan birokrasi pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya diharapkan  dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif. Meningkatnya investasi diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan mengatasi masalah tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan yang menjadi tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.Upaya – upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor – aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik. Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan  pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional ASEAN, Asia, bahkan global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan Negara – negara lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari Negara – negara lain. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi. Implementasi prinsip – prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan  dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.
Dari sisi SDM,  perlu terus diupayakan   membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan  calon – calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu. Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya  menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang. Ketatnya persaingan akan  menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of activity”  yang menjamin akselerasi berbagai implementasi  kebijakan dan program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positif, menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang – barang kebutuhan publik. Transformasi jiwa – jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi dapat menjadi alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut, mewirausahakan birokrasi  sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan  usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang ada.
Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas – tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah,  agar memiliki  nilai tambah ekonomi tinggi. Sikap – sikap mental yang positif dari jiwa – jiwa entrepreneurship seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar dalam mengoptimalkan   kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif. Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi. Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi akan dapat semakin meningkatkan  kinerja birokrasi dalam  memperkuat daya saing ekonomi nasional  dalam memenangkan persaingan MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Secara konsep, investasi adalah kegiatan mengalokasikan atau menanamkan sumber daya saat ini dengan harapan mendapatkan manfaat di kemudian hari.Untuk membentuk persepsi tersebut, tentu tidak terlepas dari peran serta pemerintah dengan kebijakan – kebijakan yang menarik minat para pengusaha agar mau berinvestasi.Pengusaha dapat menjalankan bisnisnya sekaligus membantu pemerintah mengembangkan atau bahkan memajukan sebuah kawasan.Dengan investasi kreatif dan inovatif maka berbagai bidang usaha yang dapat dinikmati masyarakat.Namun, banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak jelas, membuat timbulnya pungutan – pungutan baru baik yang legal maupun ilegal.Pertama belum optimalnya pelaksanaan harmonisasi pusat dan daerah.Kedua kualitas infrastruktur yang kurang memadai.Ketiga masih cukup panjangnyaperizinan investasi sehingga masih tingginya biaya perizinan investasi dibandingkan dengan negara kompetitor.Keempat belum tercukupinya pasokan energi yang dibutuhkan untuk kegiatan industri.Selain itu banyaknya tumpang tindih kebijakan antar pusat dan daerah serta antar sektor yang membuat belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi.Akibatnya terjadi ketimpangan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran birokrasi terhadap peningkatan investasi daerah?
2.      Apa saja kendala yang membuat investasi di indonesia terhambat?
3.      Bagaimana strategi birokrasi dalam meningkatkan investasi agar lebih produktif?

1.3  Tujuan
1.      Memahami peran birokrasi terhadap peningkatan investasi daerah.
2.      Dapat mengetahui kendala yang membuat investasi Indonesia terhambat.
3.      Dapat Mengetahui strategi birokrasi dalam meningkatkan investasi agar lebih produktif.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Peran Birokrasi Dalam Investasi Daerah
Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal.
Peranan pemerintah dalam pengembangan investasi sangat luas, bukan hanya dalam bentuk perizinan usaha, melainkan yang lebih mendasar adalah bagaimana menjadikan investasi bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Peranan merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang. Pengharapan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peranan. Pada tingkat organisasi berlaku bahwa semakin kita dapat memahami konsep peranan, maka semakin kita dapat memahami tepatnya keselarasan atau integrasi antara tujuan dan misi organisasi (Thoha, 1993 ; 80).
Kondisi pelayanan perizinan investasi di wilayah dan segala permasalahan yang melekat didalamnya akan dapat ditingkatkan kualitasnya dengan upaya pemberdayaan peran birokrasi yang makin efektif serta memberikan peran sentral bagi berkembangnya partisipasi masyarakat, terutama dalam hal pengawasan (social control). Pemberdayaan peranan birokrasi itu sendiri dapat dilakukan pada dua dimensi pokok (Sobana, A, 1999 ; 13) yaitu:
1.      Aspek kelembagaan, bearti bahwa organisasi dan struktur kewenangan antar instansi pemberi dan atau pengelola perizinan investasi, perlu didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modalnya. Dalam kaitan ini, dapat dipertimbangkan beberapa bentuk kelembagaan pelayanan perizinan, apakah dengan sistem pelayanan fungsional (oleh instansi/dinas terkait), sistem pelayanan satu atap, sistem pelayanan satu pintu, sistem pelayanan terpusat, atau bentuk-bentuk pelayanan lain yang dipandang lebih efektif.
2.      Aspek ketatalaksanaan, berarti bahwa sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja yang selama ini masih menyimpan kekurangan perlu ditinjau ulang yang ditujukan kepada terselenggaranya pelayanan perizinan yang lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, serta mudah dilaksanakan.
Pembentukan kelembagaan pelayanan satu atap sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di daerah. Artinya, pembentukan organisasi ini secara empirik telah memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum, minimal secara kuantitatif. Dalam konteks teori “reinventing government”, bisa dikatakan bahwa pembentukan lembaga tersebut telah diilhami oleh makna community owned, mission driven, result oriented, costumer oriented, serta anticipatory government (Osborne & Gaebler, 2000 ; 65).
Permasalahan yang sering dihadapi lembaga tadi selalu berimplikasi pada penambahan dan atau pengembangan organisasi yang sedikit banyak akan membebani pemerintah daerah, terutama dari segi anggaran, sebab biaya operasional yang dikeluarkan sepenuhnya diambilkan dari anggaran rutin, sementara secara “wirausaha” belum mampu menghasilkan pemasukan yang paling tidak dapat menutup biaya operasional lembaga yang bersangkutan.
Oleh karena itu, inovasi pembentukan lembaga pelayanan ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam praktek manajemen pemerintahan di daerah. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan yang standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.
Telah disebutkan bahwa keberadaan lembaga pelayanan satu atap secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan umum. Namun perlu digaris bawahi pula bahwa fungsi lembaga pelayanan satu atap sesungguhnya tidak lebih sebagai front liner dalam penyelenggaraan layanan tertentu. Artinya, lembaga ini memfungsikan dirinya sebagai “loket” penerima permohonan yang akan dilanjutkan prosesnya kepada dinas/instansi fungsionalnya masing-masing. Dalam kondisi demikian, maka pembentukannya justru dapat dipersepsikan sebagai “penambahan rantai birokrasi” dalam pelayanan kepada masyarakat. Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau lembaga pelayanan satu atap ini harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik pula.
Selanjutnya dalam perspektif kedepan tentang pemberian otonomi luas kepada pemerintah Kabupaten/Kota, maka keberadaan lembaga pelayanan satu atap ini akan dapat disejajarkan struktur maupun fungsinya dengan unit pelaksana pemerintahan daerah yang lain, yakni Dinas Daerah. Hal ini sesuai dengan semangat UU No. 22 Tahun 1999, dimana pemerintah daerah dapat membentuk dinas daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangganya. Atas dasar ketentuan ini, lembaga pelayanan satu atap memiliki peluang positif untuk ditingkatkan statusnya menjadi dinas daerah. Hal ini terutama untuk mengatasi hambatan yang menyangkut kejelasan struktur organisasi, kedudukan pejabatnya status kepegawaiannya, dan sebagainya.
Apabila peluang ini dimanfaatkan, maka jelas terjadi penambahan dan atau pengembangan organisasi disatu pihak, namun di pihak lain akan dapat dilakukan efisiensi organisasi, dimana beberapa fungsi pelayanan yang selama ini tersebar pada berbagai dinas/instansi, kemudian ditarik dan dimasukkan sebagai tugas pokok lembaga pelayanan satu atap. Dengan demikian, maka unit yang menangani urusan pensertifikatan tanah di Kantor Pertanahan akan dapat dipangkas. Demikian pula unit yang menangani urusan akta catatan sipil di Kantor Catatan Sipil akan dapat dihilangkan. Selanjutnya unit yang menangani urusan pelayanan IMB di Dinas PU dapat lebih disederhanakan. Demikian seterusnya. Namun jika pembentukan lembaga pelayanan satu atap menjadi dinas dianggap sebagai suatu “pemborosan”, maka dapat diterapkan logika sebaliknya, dimana keberadaan dinas-dinas daerah yang ada saat ini dapat dibentuk menjadi UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang tidak terlalu membebani anggaran daerah, dan justru sebaliknya dapat menghasilkan penerimaan fungsional guna menunjang PAD.
Tata laksana pelayanan umum melalui sistem satu atap sebagaimana dikemukakan, pada dasarnya adalah penyelenggaraan berbagai jenis pelayanan umum pada satu tempat/lokasi oleh beberapa dinas/instansi sesuai kewenangannya masing-masing. Dengan kata lain, beberapa fungsi pelayanan yang selama ini dilakukan oleh dinas/instansi secara terpisah, diintegrasikan kedalam satu tempat/lokasi. Sistem pelayanan yang demikian memberikan beberapa keuntungan antara lain : Masyarakat tidak perlu menghubungi instansi yang letaknya berjauhan, hemat biaya, mudah dihubungi, pengurangan pungutan yang tidak perlu, transparansi prosedur dan biaya, serta terwujudnya integrasi dalam pelayanan umum.
Dengan adanya lembaga pelayanan satu atap ini, maka prosedur pelayanan umum diasumsikan menjadi lebih mudah, cepat, akurat dan hemat. Selain itu terdapat beberapa pola pelayanan menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 terdiri dari :
1.      Sistem pelayanan fungsional, yaitu sistem pelayanan yang diberikan oleh suatu instansi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta wewenang dan tanggungjawab instansi yang bersangkutan.
2.      Sistem pelayanan satu pintu, yaitu sistem pelayanan yang diberikan secara tunggal oleh pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari instansi teknis terkait dalam perizinan.
  1. Sistem pelayanan satu atap, yaitu sistem pelayanan yang dilakukan secara terpadu dalam suatu tempat/bangunan oleh beberapa instansi pemerintah yang terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
  2. Sistem pelayanan terpusat, yaitu sistem pelayanan yang dilakukan oleh satu instansi pemerintah yang berperan sebagai koordinator dari instansi-instansi pemerintah lainnya yang terkait dalam pelayanan perijinan.
Melihat kepada format kelembagaan maupun ketatalaksanaan dari empat alternatif yang ada, masing-masing tetap memiliki kelemahan atau kekurangan disamping kelebihan atau keuntungan yang ada.

2.2   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perizinan Investasi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perizinan investasi. Berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perijinan Investasi
2.2.1        Sumber Daya Manusia
Dominasi negara dalam perekonomian yang mewarnai penyelenggaraan pemerintahan orde baru telah menimbulkan keterpurukan ekonomi dan erosi nilai-nilai moral. Stateled dominasi Negara yang bersifat intervensi yang disertai kontrol politik yang terpusat menimbulkan birokrasi yang tidak responsif, otoriter dan korup. Runtuhnya orde baru dan lahirnya orde reformasi memberi peluang dan harapan bagi proses perubahan yang mendasar, sehingga diharapkan dapat membawa masyarakat dan negara ini ke arah yang lebih baik. Namun tidak mudah mewujudkan kristalisasi menuju suatu common platform yang merupakan konsensus dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Sampai sekarang belum nampak adanya grand design ke arah mana masyarakat dan negara ini akan dibawa.
Meskipun kebijakan dan strategi pembangunan yang dianut oleh orde reformasi tadi masih belum terkristalisasi, namun agaknya tidak ada pihak yang berkeberatan untuk mewujudkan apa yang dikenal dengan good governance, di mana terdapat hubungan yang harmonis dan imbang antara negara, pasar dan masyarakat yang memadukan pendekatan yang berorientasi pasar untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat melalui demokratisasi yang membuka akses yang selebar-lebarnya bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Di satu sisi, kebijakan stabilisasi kondisi ekonomi makro, liberalisasi perdagangan domestik dan internasional, deregulasi pasar, privatisasi BUMN menjadi acuan utama pembangunan ekonomi, di sisi lain demokratisasi prakarsa dalam pengambilan keputusan mewarnai good governance yang merefleksikan hubungan yang harmonis antara negara, pasar dan masyarakat sipil. Di dalam konfigurasi yang demikian, sosok sumber daya birokrasi yang menopang dirigiste tidak lagi cocok untuk mendukung good governance ini. Karenanya perlu dilakukan perubahan total di dalam budaya maupun profesionalisme birokrasi ini.
Salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah kualitas entrepreneurial yang dapat menjembatani antara state dan market. Di dalam konteks kecenderungan liberalisasi ekonomi yang terjadi ini, kualitas entrepreneurial birokrasi di perlukan untuk mengintervensi pasar secara selektif berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ad hoc untuk menjamin berfungsinya pasar secara sehat dan menghindari “the blind force of the market”. Kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan hal tersebut mencakup:
1.      Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar.
2.      Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan terobosan (break through) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif.
3.      Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik.
4.      Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan resiko.
5.      Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru.
6.      Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi.
7.      Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.
Birokrat yang mempunyai kualitas entrepreneurial seringkali secara sengaja melakukan destabilizing force dalam rangka menimbulkan creative destruction equilibrium yang satu menuju equilibrium yang lain yang lebih tinggi. Sikap rasionalitas, impartialitas dan impersonal mendasari kemampuan profesional ini. Kompetensi birokrasi lain yang dituntut oleh good governance adalah kemampuannya menjembatani antara the state dan civil society. Hal ini tersirat baik dalam definisi Adil Khan tersebut, maupun dalam definisi Meier yang menegaskan bahwa good governance merupakan cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggungjawab pada publik. Dari definisi yang telah disebutkan tadi, setidak-tidaknya ada dua kompetensi yang harus dimiliki oleh birokrasi.
Pertama, birokrasi haruslah mampu memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif sebaik-baiknya. Hal ini menuntut kemampuan untuk mamahami dan mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, dan merumuskannya dalam kebijakan dan perencanaan serta mengimplementasikannya. Sosok “Hegelian Bureaucracy” agaknya mewakili tuntutan profesionalisme ini. Kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting. Pendekatan top down yang selama ini menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dan masyarakat harus mengalami perubahan menjadi hubungan horisontal (levelling-off).
Dalam kaitan ini, figur atau sosok sumber daya manusia Indonesia pada abad 21 adalah manusia-manusia yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1.      Memiliki wawasan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap atau perilaku (attitude) yag relevan dan mampu menunjang pencapaian sasaran dan bidang tugas dalam suatu organisasi.
2.      Memiliki disiplin kerja, dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaan dan terhadap organisasi.
3.      Memiliki rasa tanggungjawab dan pengertian atau pemahaman yang mendalam terhadap tugas dan kewajibannya sebagai karyawan dan atau unsur manajemen organisasi.
4.      Memiliki jiwa dan kemauan atau hasrat yang kuat untuk berprestasi, produktif dan bersikap profesional.
5.      Memiliki kemauan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan potensi dan kemampuan diri pribadi demi kelancaran pelaksanaan tugas organisasi.
6.      Memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang teknik maupun manajemen dan kepemimpinan.
7.      Memiliki keahlian dan keterampilan yang tertinggi dalam bidang tugas dan memiliki kemampuan alih teknologi.
8.      Memiliki jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) yang tinggi dan konsisten.
9.      Memiliki pola pikir dan pola tindak yang sesuai dengan visi, misi dan budaya kerja organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem dan mekanisme diklat perlu di desain secara baik, sehingga dapat menjawab tantangan kebutuhan dimasa yang akan datang, khususnya tuntutan menciptakan aparatur pada abad 21 yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage), bersih dan berwibawa, handal, serta efektif dan efisien. Termasuk dalam upaya penyempurnaan sistem dan mekanisme diklat ini adalah bagaimana meminimalisir kendala-kendala yang dihadapi serta mengoptimalkan setiap peluang yang ada.
Untuk mewujudkan sosok aparatur yang mempunyai kualitas dan daya saing tinggi tersebut, maka beberapa aspek yang perlu dibina adalah pembinaan inisiatif (initiative), kreativitas (creativity), kepercayaan terhadap diri sendiri (self-confidence), tanggung jawab (responsibility), dinamika atau mobilitas (mobility), kemampuan menyesuaikan diri (flexible), kesiapan untuk menerima pengetahuan baru (readiness to learn), sadar terhadap kualitas (quality conciousness), kemampuan untuk bekerjasama (ability to cooperate), kemampuan bermusyawarah untuk mufakat (compronise), memiliki loyalitas terhadap organisasi (loyality), siap untuk melakukan pengambilan keputusan (prepared for decision making), memiliki pemahaman terhadap suatu sistem yang kompleks (understanding of complex systems), memiliki kemampuan berkomunikasi (communication skills), serta mempunyai semangat untuk bekerja secara kelompok (team spirit).
Keseluruhan upaya tesebut, diharapkan dapat mewujudkan kualitas manusia Indonesia (khususnya aparatur pemerintahan) dalam manajemen pembangunan, yakni mereka yang memiliki tiga kualifikasi sebagai berikut: pertama, melekatnya sifat-sifat loyalitas, dedikasi dan motivasi kerja dalam mengemban tugas-tugasnya; kedua, dimilikinya kemampuan dan keahlian profesional; dan ketiga, dilaksanakannya sikap-sikap mental yang berorientasi pada etos kerja yang tertib, jujur, disiplin, produktif dan bekerja tanpa pamrih. Paling tidak tiga kualifikasi inilah yang diperlukan oleh setiap aparatur untuk menghadapi berbagai implikasi dari pemberlakukan perdagangan bebas pada era globalisasi.


2.2.2        Teknologi Informasi
Pada dekade ini pada hakikatnya perubahan teknologi dapat dikelompokkan (Reksohadiprodjo, 1999 : 85) sebagai berikut :
1.      Perubahan teknologi di bidang komputer.
2.      Perubahan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi
3.      Perubahan teknologi di bidang energi dan sumber daya alam.
4.      Perubahan teknologi di bidang proses produksi baru.
Kita mengetahui bahwa perkembangan komputer begitu cepatnya sehingga kemampuan komputer untuk tugas-tugas tertentu melebihi perkiraan kita semula. Sebagian dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Selanjutnya komputer justru menambah kesempatan kerja dan tidak seperti yang dikhawatirkan semula, yaitu akan mengakibatkan pengangguran.
Pemanfaatan komputer untuk menghitung soal-soal yang kompleks tidak disangkal lagi, dan juga komputer dapat dipergunakan untuk mengadakan forecast jangka panjang situasi yang dihadapi perusahaan, dan hebatnya lagi kita dapat memasukkan/mengeluarkan berbagai variabel sedemikian rupa sehingga hasil yang diperoleh hampir mendekati realita. Dengan demikian komputer akan sangat membantu peletakan strategi, kebijaksanaan dan taktik yang perlu diambil untuk menghadapi keadaan lingkungan yang selalu berubah itu. Hal ini dibantu oleh kemampuan komputer sebagai alat penyimpan serta penganalisa data, sehingga memudahkan manajemen untuk selalu berkonsultasi dengannya.
Kemajuan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi memungkinkan makin cepatnya, serta keluwesan arus barang-barang dan jasa-jasa, dan ini merupakan faktor utama perkembangan industri. Komunikasipun berkembang. Penggunaan telepon, telegram, radio, dan TV melalui satelit-satelit dapat dilihat secara nyata. Usaha-usaha untuk mempertahankan keseimbangan antara penggunaan serta tersedianya sumber-sumber daya alam menghadapi berbagai persoalan yang sifatnya teknis dan ekonomis. Kemungkinan saling mengganti antara sumber-sumber yang satu dengan yang lainnya terbatas, akan tetapi perkembangan teknologi, walaupun dengan biaya tinggi, memungkinkan hal ini. Yang perlu diingat di sini ialah kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan sebagai akibat pemanfaatan energi serta sumber daya alam.
Perkembangan proses produksi tidak ada hentinya berkat penemuan-penemuan baru. Penelitian-penelitian ilmiah berjalan terus sehingga dihasilkan proses-proses yang efisien dan efektif yang memungkinkan penekanan biaya walaupun harga bahan mentah cenderung naik.
Sasaran kelompok proses ketiga adalah menilai status, kapabilitas, efektifitas, dan orientasi teknologi informasi organisasi tersebut, yang berhubungan dengan visi dan strategi perusahaan yang ditata ulang. Langkah-langkahnya adalah:
1.      Menetapkan dimana letak organisasi tersebut di dalam evolusi teknologi informasi.
2.      Memastikan dimana seharusnya teknologi informasi berada untuk mendukung imperatif rekayasa ulang organisasi tersebut.
3.      Mengevaluasi apakah organisasi harus atau dapat berkembang secara alami, mempercepat evolusinya, atau melompat ke tingkat yang lebih tinggi.
Dalam menetapkan prioitas dan kemampuan organisasi untuk mentransformasikan dirinya dengan dukungan teknologi, tim rekayasa ulang perlu memperhitungkan apakah teknologi dapat membantu memberikan solusi yang memungkinkan dalam cara yang efektif dari segi biaya dan tepat waktu. Isu-isunya menyangkut:
1.      Kecanggihan teknologi saat ini dan di masa mendatang.
2.      Tingkat integrasi teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari organisasi.
3.      Aplikasi perangkat lunak yang tersedia di pasaran.
4.      Cara-cara untuk mendapatkan dan menggunakan data.
5.      Sikap para karyawan terhadap teknologi.
2.2.3        Persepsi Investor
Persepsi adalah suatu proses memperhatikan, menyeleksi dan menafsirkan stimulus lingkungan, dimana proses tersebut terjadi karena interprestasi seseorang berdasarkan pengalaman yang dialami maupun stimulus yang datang padanya (Gitosudarmo & Sudita, 1997 : 17).
Para investor yang memiliki teknologi dan modal tentu mempunyai persepsi yang disesuaikan dengan standard pengalaman maupun harapan terhadap sesuatu yang terjadi dengan aktivitas kesehariannya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas usaha atau bisnis yang sedang dikelola. Salah satu aktivitas yang berkaitan dengan usaha yang sedang dijalankan adalah proses perizinan terhadap usaha tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di suatu daerah.
Terdapat sepuluh indikator menurut Sobana, A (1999; 20) yang berkaitan dengan persepsi investor terhadap proses perizinan investasi:
1.      Dalam hal kemudahan dan keakuratan informasi mengenai peluang di bidang investasi.
2.      Mengenai pentingnya informasi tentang calon mitra usaha.
3.      Dalam hal kemudahan informasi tentang tata cara dan prosedur investasi, yang berkaitan dengan pemahaman yang cukup baik dari para investor terhadap tata cara dan prosedur investasi ini tidak semata-mata disebabkan oleh sikap pro aktif dari aparat terkait, namun lebih kepada rutinitas dalam mengurusi suatu perizinan tertentu.
4.      Aspek kemudahan mengenai ketentuan dan persyaratan permohonan investasi.
5.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh instansi berwenang.
6.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah pusat selain instansi daerah.
7.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah daerah (propinsi).
8.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah daerah (kabupaten atau kota).
9.      Terjadinya pungutan yang diatur secara resmi/legal, yang dianggap sebagai beban atau kendala bagi penciptaan efisiensi biaya produksi.
10.  Harapan kalangan investor terhadap adanya kebijaksanaan untuk mengintegrasikan jenis-jenis pelayanan secara terpadu.
Dalam era globalisasi, perubahan ekonomi dunia, dan persaingan yang semakin tinggi ini, dimana perkembangan teknologi yang begitu cepat, mengakibatkan peran tenaga kerja kasar (blue color labour) semakin berkurang. Dengan demikian melimpahnya tenaga kerja yang tidak disertai dengan kualitas yang tinggi bukan lagi merupakan suatu keunggulan komparatif (comparative advantage), melainkan hanya merupakan suatu beban negara yang berat harus diatasi, bukan hanya dengan penyediaan kesempatan kerja saja melainkan harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sehingga mampu bersaing dan menjadi suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage).

2.3  Kendala yang Membuat Investasi di Indonesia Terhambat
Menurut Halim (2005:1), investasi pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang. Tetapi Kendala serius investasi Indonesia adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah.Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional.
Pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk meningkatkanpenerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis, yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagi investasi, dan merupakan lahan subur bagi praktek – praktek korupsi.
Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah hari dalam melakukan bisnis. untuk mengurus semua perizinan usaha, seorang pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya biaya dan modal minimum yang diperlukan berkisar sekitar, masing-masing 130,7% dan 125,6% dari pendapatan per kapita di Indonesia. Sejumlah masalah yang telah disebut di atas mencerminkan kualitas dari kelembagaan publik di Indonesia. Buruknya kelembagaan publik di Indonesia juga ditunjukkan di dalam laporan tahunan dari WEF.
Dapat dilihat bahwa untuk hampir semua indikator tersebut, kondisi Indonesia semakin buruk. Misalnya, dalam hal kemandirian judicial dari pengaruh politik dari anggota – anggota pemerintah (misalnya menteri dan presiden), politikus, masyarakat, dan perusahaan, peringkat Indonesia jatuh dari 58 ke 68; walaupun secara relatif kejatuhannya lebih kecil karena jumlah sampel negara bertambah. Dalam hal kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan – perselisihan bsinis dan menolak legalitas dari tindakan – tindakan atau peraturan – peraturan pemerintah, posisi Indonesia menurun dari 51 ke 73.Untuk dua indikator berikut yang merupakan salah satu penentu krusial bagi pertumbuhan investasi, Indonesia juga masih buruk kinerjanya, yakni hak – hak properti dan perlindungan kekayaan intelektual.
Perihal pemborosan atau efisiensi dalam pengeluaran pemerintah, yakni apakah pemerintah menyediakan barang – barang dan jasa – jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar, posisi Indonesia juga memburuk. Dalam hal beban yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis dari regulasi – regulasi pemerintah pusat, yakni dalam memenuhi persyaratan – persyaratan administrasi berkaitan dengan perizinan, pelaporan, dan sebagainya, sebelumnya Indonesia berada pada posisi yang relatif baik dari 104 negara menjadi lebih buruk. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa distorsi pasar domestik semakin besar dalam satu tahun terakhir ini akibat regulasi – regulasi pemerintah pusat.
Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat efisiensi dari birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini merupakan salah satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif in Indonesia. Faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang artinya secara relatif dibandingkan banyak negara lain di dalam sampel, pajak di Indonesia bukan merupakan sumber distortif yang besar terhadap iklim bisnis.
Dalam hal pembayaran ekstra tidak tercatat atau terdokumentasi atau penyuapan yang berkaitan dengan kegiatan – kegiatan ekspor dan impor, dan pemakaian utilitas publik, peringkat Indonesia juga sangat rendah, dan hal ini bisa merupakan salah satu masalah yang harus dihilangkan untuk mencapai efektivitas dari kebijakan – kebijakan dari pemerintah selama ini yang bertujuan memulihkan kegiatan usaha dan meningkatkan investasi di Indonesia.
Mungkin untuk Negara – negara yang sudah lama melakukan investasi di Indonesia jadi sudah sangat kenal keadaan di Indonesia atau untuk perusahaan–perusahaan multinacional dengan kekayaan perusahaan yang sangat besar kondisi seperti ini tidak menjadi masalah serius sampai menghambat investasi mereka di dalam negeri. Tetapi untuk perusahaan–perusahaan skala menengah dan dari Negara – negara baru, kondisi seperti ini bisa menakutkan atau membuat pemilik modal menjadi ragu akan kemungkinan bisa mendapatkan keuntungan jika berinvestasi di Indonesia.


2.4  Potensi Investasi Di Indonesia
Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran (produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedahkan antara potensi jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang masih dapat diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga kerja yang besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak mampu mengembangkan teknologi dan meningkatkan kualitas SDM nya; namun ini sangat tergantung pada kemauan sungguh-sungguh dari negara tersebut.
Jika potensi jangka panjang ini tidak dapat direalisasikan, dan berbagai permasalahan seperti yang telah disebut di atas juga tidak tuntas, maka lambat laun potensi jangka pendek akan hilang. Misalnya, salah satu permasalahan tenaga kerja di Indonesia adalah kualitas serta etos kerja yang rendah. Selama ini, keunggulan klasik dari tenaga kerja Indonesia relatif dibandingkan banyak negara lain adalah upah murah, namun saat ini dan terutama di masa depan, keunggulan ini (potensi jangka pendek) tidak bisa lagi diandalkan sepenuhnya.
Dengan kemajuan teknologi yang pesat, persaingan yang semakin ketat akibat munculnya banyak pemain-pemain baru di pasar dan produksi global yang sangat agresif dan semakin ketatnya penerapan segala macam standarisasi produk yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan konsumen, maka Indonesia masih bisa mengandalkan upah buruh murah hanya apabila dikombinasikan dengan kualitas tenaga kerja yang tinggi. Karena upah murah akan tidak berarti apa-apa, jika produktivitasnya rendah dan produk yang dihasilkan berkualitas buruk.
Dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk (dan strukturnya menurut umur) dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor ini secara bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi keuntungan bagi seorang investor. Dari segi jumlah penduduk, tentu Indonesia, seperti halnya China dan India, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Namun jumlah penduduk saja tidak cukup jika pendapatan penduduk rata-rata per orang atau kemampuan belanja konsumen di Indonesia kecil. Oleh karena itu, kemampuan Indonesia untuk pulih kembali setelah krisis dengan menghasilkan pertumbuhan PDB riil rata-rata per kapita yang tinggi yang paling tidak seperti pada masa Orde Baru menjadi salah satu pertimbangan serius bagi calon investor asing.
Saat ini Indonesia masih dalam proses pemulihan, yang ditandai dengan semakin tingginya pertumbuhan PDB yang kembali positif sejak 1999 walaupun dengan laju yang relatif lambat. Dengan pendapatan yang cenderung meningkat, yang berarti potensi pasar di dalam negeri cenderung meningkat, maka dari sisi permintaan potensi Indonesia untuk investasi sangat baik.

2.5  Strategi Investasi Birokrasi Di Indonesia
Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dengan  terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1 September 2014.
Melalui Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah – langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing – masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing nasional dan pelaksanaan MEA yang telah dimulai pada Tahun 2015.
Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan, utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:
1.      Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah; pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2.      Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor pertanian, dan peningkatan akses pasar.
3.      Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan posisi kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
4.      Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru, terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.
5.      Selain itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan infrastruktur, pengembangan sistem logistik nasional, pengembangan perbankan,  investasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, tenaga kerja, kesehatan, perdagangan, kepariwisataan, dan kewirausahaan.

2.6  Studi Kasus Implementasi Reformasi Birokrasi Perizinan Investasi di Kota Bekasi
Kota Bekasi merupakan salah satu kota yang terdapat di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada dalam lingkungan megapolitan Jabodetabek dan menjadi kota besar keempat di Indonesia yang memiliki peran multifungsi yaitu lokasi industri, perumahan dan sentra perdagangan. Saat ini kota Bekasi berkembang menjadi kawasan sentra industri dan kawasan tempat tinggal kaum urban. Seca-ra geografis kota Bekasi berada pada ketinggian 19 m diatas permukaan laut. Kota ini terletak di sebelah timur Jakarta; berbatasan dengan Jakarta Timur di barat, kabupaten Bekasi di utara dan timur, kabupaten Bogor di selatan, serta kota Depok di sebelah barat daya.Dari to-tal luas wilayahnya, lebih dari 50 % sudah men-jadi kawasan efektif perkotaan dengan 90 % te-lah menjadi kawasan perumahan, 4 % telah menjadi kawasan industri, 3 % telah digunakan untuk perdagangan, dan sisanya untuk bangunan lainnya. Kota ini sebelumnya merupakan sebuah kecamatan dari kabupaten Bekasi yang kemudian berkembang dan ditingkatkan statusnya pada tahun 1982 menjadi kota administratif Bekasi yang saat itu terdiri atas empat keca-matan yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, dan meliputi 18 kelurahan serta 8 desa. Di tahun 1996 kota administratif Bekasi kembali ditingkatkan statusnya menjadi kotamadya (sekarang kota). Jumlah Penduduk Kota Bekasi adalah 2.336.498 orang.
Terkait dengan birokrasi perizinan penanaman modal di Kota Bekasi ini sebelum di lakukan reformasi birokrasi terjadi hambatan-hambatan dalam perizinan penanaman modal di daerah tersebut antara lain :
1.      Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Izin Usaha In-dustri (SIUI), Tanda Daftar Gudang (TDG) dikeluarkan oleh Dinas Perindus-trian dan Perdagangan Kota Bekasi.
2.      Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) yang mengeluarkan adalah Dinas Bina Marga di Kota Bekasi.
3.      Izin Mendirikan Bangunan (IMB) instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Bekasi.
4.      Izin Pelayanan Kesehatan seperti Izin Apotek, Izin Toko Obat, Izin Praktek Dokter, Izin Praktek Bidan dan Izin Sarana Pelayanan Kesehatan instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
5.       Izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) instansi yang mengeluarkan adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Bekasi.
6.       Izin Pertambangan Galian C dan Izin Penggambilan Air Bawah Tanah instansi yang mengeluarkan izin adalah Dinas Sumber Daya Alam dan Pertam-bangan Kota Bekasi.
7.      Izin Trayek dan Pengusaha Angkutan instansi yang mengeluarkan izin adalah Dinas Perhubungan Kota Bekasi.
8.      Surat Izin Usaha Pariwisata (SIUP) instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bekasi.

Kondisi pelayanan perizinan ini terkesan belum efektif dan terkesan berbelit-belit. Untuk mengatasi kondisi tersebut pemerintah Kota Bekasi memebentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bekasi.
Pembentukan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bekasi berdasarkan Peraturan Daerah No. 09 Tahun 2008 pada dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi perizinan dalam bentuk; pemangkasan tahapan dan prosedur, baik prosedur lintas instansi mau pun didalam instansi yang bersangkutan; pe-mangkasan biaya; pengurangan jumlah persya-ratan; pengurangan jumlah paraf dan tanda tangan yang diperlukan; pengurangan waktu rata-rata pemrosesan perizinan.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi saat ini melayani 39 jenis perizinan. Pengaruh reformasi birokrasi yang nyata yaitu mempersingkat waktu karena semua proses perizinan penanaman modal dilakukan di satu tempat yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi, berbeda dengan sebelum reformasi birokrasi, perizinan harus dilakukan di banyak instansi. Keterbukaan in-formasi berjalan seperti persyaratan dan prosedur mudah di akses dengan dipublikasi melalui media brosur,papan pengumuman, pusat informasi dan website instansi.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam membangun iklim investasi daerah, Pemerintah belum mampu memberikan jaminan keamanan berusaha bagi investor baik asing maupun lokal, untuk mengembangkan usaha di daerah yang mencakup kepastian hukum dan jaminan keamanan, kondisi infrastruktur pendukung, serta birokrasi yang cepat dan transparan. Kualitas kebijakan dan peraturan yang dirumuskan pemerintah sangat mempengaruhi iklim investasi, kendala serius investasi Indonesia adalah Mahalnya memulai bisnis yang menyebabkan memburuknya iklim investasi di Indonesia.
Sayangnya, pengalaman Indonesia selama ini dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi menunjukkan paling tidak tiga masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Pertama, sering kali terjadi tumpang tindih atau perbenturan antara dua (atau lebih) kebijakan, yang mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka masing-masing. Kedua, dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada koordinasi yang baik antar subdepartemen atau antara pusat dan daerah di dalam sebuah departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Ketiga permasalahan perijinan yang harus transparansi dan akuntabilitas, dan yang terakir adanya keseimbangan antara infrastruktur dan suprastruktur sebagai sarana utama penarik minat infestor untuk menanamkan modalnya.
Dengan memburuknya iklim investasi, Pemerintah RI meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Selain strategi dasar pengembangan, terdapat sektor lain yakni pengembangan infrastruktur dan pengembangan perbankan.



3.2 Saran
Pelayanan birokrasi yang kurang baik dapat diatasi dengan upaya pengembangan perilaku bersih di lingkungan pejabat teras. Pemda seharusnya tetap menjaga dampak sosial dan lingkungan yang terjadi karena adanya “kemudahan” bagi para investor dan pengusaha. Produsen lokal dan petani daerah harus lebih diprioritaskan eksistensinya.Kehadiran investor asing justru seharusnya dapat membantu petani dan produsen lokal dalam memasarkan produk atau komoditas yang dihasilkan serta menciptakan lapangan kerja. Dengan  terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014, diharapakan dapat meningkatkan daya saing nasional dan pelaksanaan MEA, utamanya dengan mengedepankan strategi dasar pengembangan industri nasional,  pertanian, kelautan perikanan, dan energi.
Selain itu pemerintah harus dapat memahami persoalan yang terjadi dalam iklim investasi Indonesia, dengan demikian dapat memberi supremasi hukum yang jelas dan juga berkaitan dengan perijianan merupakan hal yang sangat kursial dalam peningkatan dan pertumbuhan investasi yang lebih baik dan kondusif.

Daftar Pustaka
1. Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi Edisi ll. Jakarta: Salemba empat
2. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia
3. Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung : Refika Aditama