Friday 20 April 2018

PERAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PULAU SIPADAN-LIGITAN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kita tahu bahwa sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia ini bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu itu pembicaraan landas kontinen yang dilakukan di laut Sulawesi ini kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Adapun posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Terlebih, Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar. Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dimana titik awal yang diklaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni, Peraturan perundang-undangan No. 4 tahun 1960  tentang Perairan Indonesia. 
Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut. Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalasi-instalasi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau biasa disingkat PBB adalah sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, keamanan internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan sosial, hak asasi dan pencapaian perdamaian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan di San Francisco pada 24 Oktober 1945 setelah Konferensi Dumbarton Oaks di Washington, DC, namun Sidang Umum yang pertama dihadiri wakil dari 51 negara baru berlangsung pada 10 Januari 1946 (di Church House, London). Sejak didirikan sampai sekarang PBB telah banyak berperan aktif dalam memelihara serta meningkatkan perdamaian, keamanan dunia, dan memajukan kesejahteraan hidup bangsa-bangsa dunia. PBB sebagai lembaga yang bertugas memelihara dan meningkatkan perdamaian dunia tentunya memiliki peran serta di dalam terjadinya sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia ini. Oleh karena itu penulis akan mengulas mengenai peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah
  1. Bagaimana peran PBB dalam menyelesaikan sengketa Internasional Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?



BAB II

PEMBAHASAN
2.1  Upaya Indonesia Dan Malaysia Dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masing negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).
           
2.2  Penyelesaian Sengketa Wilayah Antara Indonesia Dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan Melalui International Court Of Justice (ICJ)
Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini, negara-negara anggota ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militer tetapi menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada umumnya penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori:
1.      Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judicial settlement);
2.      Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian  melalui kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi (retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade), dan intervensi (interventation).

Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baik itu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama. Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus dan juga dilakukan secara damai.
Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, kedua negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia, cara negosiasi ini merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan sengketa. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara yang bersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat. Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upaya penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadang memerlukan waktu yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam perundingan dimungkinkan para pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, sehingga sulit untuk mencari titik temu penyelesaian.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia dan Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreement disebutkan bahwa Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakah yang mempunyai kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-bukti dan dokumen-dokumen yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat (final and binding).


Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diforum internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk selanjutnya penyelesaian masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian Mahkamah Hukum Internasional. Pada tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa :
1.      Garis 4 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti “berhenti” atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). M ahkamah menolak argumentasi Indonesia bahwa garis perpanjangan terebut merupakan “allocation line” di luar Pulau Sebatik sehingga timbul keraguan pengertian garis perpanjangan. Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebut secara tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda memang bersepakat untuk menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;
2.      Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan kalau pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau lain seperti Mabul, merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Inggris dan Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah tidak dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus dilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau Sebatik dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan Belanda;
3.      Mahkamah tidak menemukan di dalam Konvensi 1891 hal yang meyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasan wilayah kepemilikan mereka di sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo) dan Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain. Dalam kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat itu letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan Inggris;
4.      Mahkamah juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4 Konvensi 1891, apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan maksudnya bahwa Konvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai menetapkan “allocation line” yang menentukan kedaulatan atas pulau-pulau yang terdapat di wilayah laut sebelah timur Pulau Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukan batas-batas wilayah Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timur Pulau Sebatik;  
5.      Mahkamah berpendapat bahwa “travaux preparatoires” sebelum Konvensi 1891 serta hal-hal yang berkaitan dengan Konvensi tidak dapat mendukung interpretasi Indonesia bahwa Konvensi 1891 bukan hanya mengatur perbatasan darat tetapi juga mengatur “allocation line” di luar pantai timur Pulau Sebatik;
6.      Mahkamah menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang didasarkan pada “treaty based title” Konvensi 1891. Mahkamah juga berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan diatur berdasarkan serangkaian perjanjian. Perjanjian tanggal 12 November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas wilayah Kesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara melewati garis yang sudah disetujui Belanda dan Inggris berdasarkan Konvensi 1891, termasuk Pulau Tarakan, Nunukan, sebagaian Pulau Sebatik dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yang terletak di selatan garis 4 10’ LU. Hal ini tidak berlaku bagi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Mahkamah juga menolak argumentasi Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan hanya meliputi pulau Tarakan, Nunukan dan sebagian Pulau Sebatik;
7.      Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah mencatat bahwa batak konsesi minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampai ke Pulau Sipadan dan Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10’ LU, tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau selatan garis 4 10’. Mahkamah tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak tersebut merupakan hasil penafsiran dari  Pasal 4 Konvensi 1891.

Sedangkan terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa :
1.      Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia menyebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan dapat mendukung klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;
2.      Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak termasuk dalam grant Sultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan atas kepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22 Januari 1878;
3.      Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu atau menyimpulkan bahwa Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred Dent dan Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol adalah satu-satunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan instrumen hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah juga berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas nama State of Nort Borneo maupun Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;
4.      Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun 1898, “Perjanjian 1900” juga tidak secara khusus menjelaskan pulaupulau selain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadi bagiannya yang diserahkan Spanyol kepada AS, yang mungkin juga termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, AS tidak mengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja yang diperolehnya berdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;
5.      Mahkamah tidak dapat menyimpulkan, baik berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen lain yang berasal dari AS, bahwa AS mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Karena itu tidaklah dapat dikatakan bahwa berdasarkan Konvensi 1930 AS menyerahkan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Inggris sebagaimana diyakini oleh Malaysia;
6.      Mahkamah menolak dalil Malaysia tentang tidak terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu. Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang disebutkan dalam mata rantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut.

Dari Pokok-pokok Pendapat yang telah disampaikan diatas, Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.


Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia. Terlebih, ditengah-tengah proses acara muncul pula upaya hukum lain yang ditentukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadap perkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, Filipina dimungkinkan untuk memohon intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001, Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan hukum Filipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada keputusan Mahkamah Internasional.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal dengan prinsip effectivies.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kita tahu bahwa sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia ini bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen dimana pada saat itu kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Oleh karena itu, dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara tersebut maka Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Setelah melakukan empat pertemuan akhirnya Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ). Dalam prosesnya,  Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal dengan prinsip effectivies.

3.2  Saran
Kita tahu Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau yang sangat banyak dan berdekatan dengan perbatasan negara lain, Sehingga pulau-pulau tersebut rawan lepas dari pengawasan pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah dalam hal ini harus berperan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan administrasi negara. Dengan adanya pemerataan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah pusat, maka pulau-pulau tersebut terjadi aktivitas administrasi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia. Jadi pengawasan terhadap pulau-pulau tersebut menjadi efektif, agar tidak dikuasai oleh negara lain. Di samping itu pemerintah perlu juga membuat suatu pembangunan infrastruktur dalam pulau-pulau tersebut agar masyarakat dapat tertarik untuk tinggal dalam suatu pulau yang belum berpenghuni tersebut. Serta pemerintah perlu menegaskan batas wilayah teritorial batas- batas antar wilayah, apa lagi suatu pulau yang berdekatan dengan negara tetangga, hal itu perlu perhatian khusus dean pemerintah serius untuk mempertahankan kedaulatan dari negara kesatuan republik indonesia dengan dukungan masyarakat.











2 comments: