Thursday 12 January 2017

MAKALAH PERAN BIROKRASI TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DAERAH (Studi Kasus Reformasi Birokrasi Perizinan Investasi di Kota Bekasi)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dinamika perkembangan ekonomi global akhir – akhir ini memberikan  sinyal akan pentingnya peningkatan daya saing di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang saat ini telah dilaksanakan. MEA menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif. Pemberlakuan MEA  dapat pula dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan  terjadinya arus bebas (free flow) : barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan MEA sendiri perlu terus dikawal  dengan upaya – upaya terencana dan targeted dengan terus meningkatkan  sinergitas, utamanya dalam meningkatkan dukungan menata ulang kelembagaan birokrasi, membangun infrastruktur, mengembangkan sumberdaya manusia, perubahan sikap mental serta meningkatkan akses financial terhadap sektor riil yang kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi peluang  karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Pada sisi investasi, dengan dukungan birokrasi pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya diharapkan  dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif. Meningkatnya investasi diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan mengatasi masalah tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan yang menjadi tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.Upaya – upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor – aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik. Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan  pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional ASEAN, Asia, bahkan global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan Negara – negara lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari Negara – negara lain. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi. Implementasi prinsip – prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan  dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.
Dari sisi SDM,  perlu terus diupayakan   membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan  calon – calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu. Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya  menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang. Ketatnya persaingan akan  menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of activity”  yang menjamin akselerasi berbagai implementasi  kebijakan dan program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positif, menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang – barang kebutuhan publik. Transformasi jiwa – jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi dapat menjadi alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut, mewirausahakan birokrasi  sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan  usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang ada.
Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas – tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah,  agar memiliki  nilai tambah ekonomi tinggi. Sikap – sikap mental yang positif dari jiwa – jiwa entrepreneurship seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar dalam mengoptimalkan   kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif. Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi. Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi akan dapat semakin meningkatkan  kinerja birokrasi dalam  memperkuat daya saing ekonomi nasional  dalam memenangkan persaingan MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Secara konsep, investasi adalah kegiatan mengalokasikan atau menanamkan sumber daya saat ini dengan harapan mendapatkan manfaat di kemudian hari.Untuk membentuk persepsi tersebut, tentu tidak terlepas dari peran serta pemerintah dengan kebijakan – kebijakan yang menarik minat para pengusaha agar mau berinvestasi.Pengusaha dapat menjalankan bisnisnya sekaligus membantu pemerintah mengembangkan atau bahkan memajukan sebuah kawasan.Dengan investasi kreatif dan inovatif maka berbagai bidang usaha yang dapat dinikmati masyarakat.Namun, banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak jelas, membuat timbulnya pungutan – pungutan baru baik yang legal maupun ilegal.Pertama belum optimalnya pelaksanaan harmonisasi pusat dan daerah.Kedua kualitas infrastruktur yang kurang memadai.Ketiga masih cukup panjangnyaperizinan investasi sehingga masih tingginya biaya perizinan investasi dibandingkan dengan negara kompetitor.Keempat belum tercukupinya pasokan energi yang dibutuhkan untuk kegiatan industri.Selain itu banyaknya tumpang tindih kebijakan antar pusat dan daerah serta antar sektor yang membuat belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi.Akibatnya terjadi ketimpangan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran birokrasi terhadap peningkatan investasi daerah?
2.      Apa saja kendala yang membuat investasi di indonesia terhambat?
3.      Bagaimana strategi birokrasi dalam meningkatkan investasi agar lebih produktif?

1.3  Tujuan
1.      Memahami peran birokrasi terhadap peningkatan investasi daerah.
2.      Dapat mengetahui kendala yang membuat investasi Indonesia terhambat.
3.      Dapat Mengetahui strategi birokrasi dalam meningkatkan investasi agar lebih produktif.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Peran Birokrasi Dalam Investasi Daerah
Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal.
Peranan pemerintah dalam pengembangan investasi sangat luas, bukan hanya dalam bentuk perizinan usaha, melainkan yang lebih mendasar adalah bagaimana menjadikan investasi bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Peranan merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang. Pengharapan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peranan. Pada tingkat organisasi berlaku bahwa semakin kita dapat memahami konsep peranan, maka semakin kita dapat memahami tepatnya keselarasan atau integrasi antara tujuan dan misi organisasi (Thoha, 1993 ; 80).
Kondisi pelayanan perizinan investasi di wilayah dan segala permasalahan yang melekat didalamnya akan dapat ditingkatkan kualitasnya dengan upaya pemberdayaan peran birokrasi yang makin efektif serta memberikan peran sentral bagi berkembangnya partisipasi masyarakat, terutama dalam hal pengawasan (social control). Pemberdayaan peranan birokrasi itu sendiri dapat dilakukan pada dua dimensi pokok (Sobana, A, 1999 ; 13) yaitu:
1.      Aspek kelembagaan, bearti bahwa organisasi dan struktur kewenangan antar instansi pemberi dan atau pengelola perizinan investasi, perlu didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modalnya. Dalam kaitan ini, dapat dipertimbangkan beberapa bentuk kelembagaan pelayanan perizinan, apakah dengan sistem pelayanan fungsional (oleh instansi/dinas terkait), sistem pelayanan satu atap, sistem pelayanan satu pintu, sistem pelayanan terpusat, atau bentuk-bentuk pelayanan lain yang dipandang lebih efektif.
2.      Aspek ketatalaksanaan, berarti bahwa sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja yang selama ini masih menyimpan kekurangan perlu ditinjau ulang yang ditujukan kepada terselenggaranya pelayanan perizinan yang lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, serta mudah dilaksanakan.
Pembentukan kelembagaan pelayanan satu atap sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di daerah. Artinya, pembentukan organisasi ini secara empirik telah memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum, minimal secara kuantitatif. Dalam konteks teori “reinventing government”, bisa dikatakan bahwa pembentukan lembaga tersebut telah diilhami oleh makna community owned, mission driven, result oriented, costumer oriented, serta anticipatory government (Osborne & Gaebler, 2000 ; 65).
Permasalahan yang sering dihadapi lembaga tadi selalu berimplikasi pada penambahan dan atau pengembangan organisasi yang sedikit banyak akan membebani pemerintah daerah, terutama dari segi anggaran, sebab biaya operasional yang dikeluarkan sepenuhnya diambilkan dari anggaran rutin, sementara secara “wirausaha” belum mampu menghasilkan pemasukan yang paling tidak dapat menutup biaya operasional lembaga yang bersangkutan.
Oleh karena itu, inovasi pembentukan lembaga pelayanan ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam praktek manajemen pemerintahan di daerah. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan yang standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.
Telah disebutkan bahwa keberadaan lembaga pelayanan satu atap secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan umum. Namun perlu digaris bawahi pula bahwa fungsi lembaga pelayanan satu atap sesungguhnya tidak lebih sebagai front liner dalam penyelenggaraan layanan tertentu. Artinya, lembaga ini memfungsikan dirinya sebagai “loket” penerima permohonan yang akan dilanjutkan prosesnya kepada dinas/instansi fungsionalnya masing-masing. Dalam kondisi demikian, maka pembentukannya justru dapat dipersepsikan sebagai “penambahan rantai birokrasi” dalam pelayanan kepada masyarakat. Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau lembaga pelayanan satu atap ini harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik pula.
Selanjutnya dalam perspektif kedepan tentang pemberian otonomi luas kepada pemerintah Kabupaten/Kota, maka keberadaan lembaga pelayanan satu atap ini akan dapat disejajarkan struktur maupun fungsinya dengan unit pelaksana pemerintahan daerah yang lain, yakni Dinas Daerah. Hal ini sesuai dengan semangat UU No. 22 Tahun 1999, dimana pemerintah daerah dapat membentuk dinas daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangganya. Atas dasar ketentuan ini, lembaga pelayanan satu atap memiliki peluang positif untuk ditingkatkan statusnya menjadi dinas daerah. Hal ini terutama untuk mengatasi hambatan yang menyangkut kejelasan struktur organisasi, kedudukan pejabatnya status kepegawaiannya, dan sebagainya.
Apabila peluang ini dimanfaatkan, maka jelas terjadi penambahan dan atau pengembangan organisasi disatu pihak, namun di pihak lain akan dapat dilakukan efisiensi organisasi, dimana beberapa fungsi pelayanan yang selama ini tersebar pada berbagai dinas/instansi, kemudian ditarik dan dimasukkan sebagai tugas pokok lembaga pelayanan satu atap. Dengan demikian, maka unit yang menangani urusan pensertifikatan tanah di Kantor Pertanahan akan dapat dipangkas. Demikian pula unit yang menangani urusan akta catatan sipil di Kantor Catatan Sipil akan dapat dihilangkan. Selanjutnya unit yang menangani urusan pelayanan IMB di Dinas PU dapat lebih disederhanakan. Demikian seterusnya. Namun jika pembentukan lembaga pelayanan satu atap menjadi dinas dianggap sebagai suatu “pemborosan”, maka dapat diterapkan logika sebaliknya, dimana keberadaan dinas-dinas daerah yang ada saat ini dapat dibentuk menjadi UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang tidak terlalu membebani anggaran daerah, dan justru sebaliknya dapat menghasilkan penerimaan fungsional guna menunjang PAD.
Tata laksana pelayanan umum melalui sistem satu atap sebagaimana dikemukakan, pada dasarnya adalah penyelenggaraan berbagai jenis pelayanan umum pada satu tempat/lokasi oleh beberapa dinas/instansi sesuai kewenangannya masing-masing. Dengan kata lain, beberapa fungsi pelayanan yang selama ini dilakukan oleh dinas/instansi secara terpisah, diintegrasikan kedalam satu tempat/lokasi. Sistem pelayanan yang demikian memberikan beberapa keuntungan antara lain : Masyarakat tidak perlu menghubungi instansi yang letaknya berjauhan, hemat biaya, mudah dihubungi, pengurangan pungutan yang tidak perlu, transparansi prosedur dan biaya, serta terwujudnya integrasi dalam pelayanan umum.
Dengan adanya lembaga pelayanan satu atap ini, maka prosedur pelayanan umum diasumsikan menjadi lebih mudah, cepat, akurat dan hemat. Selain itu terdapat beberapa pola pelayanan menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 terdiri dari :
1.      Sistem pelayanan fungsional, yaitu sistem pelayanan yang diberikan oleh suatu instansi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta wewenang dan tanggungjawab instansi yang bersangkutan.
2.      Sistem pelayanan satu pintu, yaitu sistem pelayanan yang diberikan secara tunggal oleh pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari instansi teknis terkait dalam perizinan.
  1. Sistem pelayanan satu atap, yaitu sistem pelayanan yang dilakukan secara terpadu dalam suatu tempat/bangunan oleh beberapa instansi pemerintah yang terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
  2. Sistem pelayanan terpusat, yaitu sistem pelayanan yang dilakukan oleh satu instansi pemerintah yang berperan sebagai koordinator dari instansi-instansi pemerintah lainnya yang terkait dalam pelayanan perijinan.
Melihat kepada format kelembagaan maupun ketatalaksanaan dari empat alternatif yang ada, masing-masing tetap memiliki kelemahan atau kekurangan disamping kelebihan atau keuntungan yang ada.

2.2   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perizinan Investasi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perizinan investasi. Berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perijinan Investasi
2.2.1        Sumber Daya Manusia
Dominasi negara dalam perekonomian yang mewarnai penyelenggaraan pemerintahan orde baru telah menimbulkan keterpurukan ekonomi dan erosi nilai-nilai moral. Stateled dominasi Negara yang bersifat intervensi yang disertai kontrol politik yang terpusat menimbulkan birokrasi yang tidak responsif, otoriter dan korup. Runtuhnya orde baru dan lahirnya orde reformasi memberi peluang dan harapan bagi proses perubahan yang mendasar, sehingga diharapkan dapat membawa masyarakat dan negara ini ke arah yang lebih baik. Namun tidak mudah mewujudkan kristalisasi menuju suatu common platform yang merupakan konsensus dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Sampai sekarang belum nampak adanya grand design ke arah mana masyarakat dan negara ini akan dibawa.
Meskipun kebijakan dan strategi pembangunan yang dianut oleh orde reformasi tadi masih belum terkristalisasi, namun agaknya tidak ada pihak yang berkeberatan untuk mewujudkan apa yang dikenal dengan good governance, di mana terdapat hubungan yang harmonis dan imbang antara negara, pasar dan masyarakat yang memadukan pendekatan yang berorientasi pasar untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat melalui demokratisasi yang membuka akses yang selebar-lebarnya bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Di satu sisi, kebijakan stabilisasi kondisi ekonomi makro, liberalisasi perdagangan domestik dan internasional, deregulasi pasar, privatisasi BUMN menjadi acuan utama pembangunan ekonomi, di sisi lain demokratisasi prakarsa dalam pengambilan keputusan mewarnai good governance yang merefleksikan hubungan yang harmonis antara negara, pasar dan masyarakat sipil. Di dalam konfigurasi yang demikian, sosok sumber daya birokrasi yang menopang dirigiste tidak lagi cocok untuk mendukung good governance ini. Karenanya perlu dilakukan perubahan total di dalam budaya maupun profesionalisme birokrasi ini.
Salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah kualitas entrepreneurial yang dapat menjembatani antara state dan market. Di dalam konteks kecenderungan liberalisasi ekonomi yang terjadi ini, kualitas entrepreneurial birokrasi di perlukan untuk mengintervensi pasar secara selektif berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ad hoc untuk menjamin berfungsinya pasar secara sehat dan menghindari “the blind force of the market”. Kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan hal tersebut mencakup:
1.      Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar.
2.      Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan terobosan (break through) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif.
3.      Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik.
4.      Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan resiko.
5.      Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru.
6.      Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi.
7.      Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.
Birokrat yang mempunyai kualitas entrepreneurial seringkali secara sengaja melakukan destabilizing force dalam rangka menimbulkan creative destruction equilibrium yang satu menuju equilibrium yang lain yang lebih tinggi. Sikap rasionalitas, impartialitas dan impersonal mendasari kemampuan profesional ini. Kompetensi birokrasi lain yang dituntut oleh good governance adalah kemampuannya menjembatani antara the state dan civil society. Hal ini tersirat baik dalam definisi Adil Khan tersebut, maupun dalam definisi Meier yang menegaskan bahwa good governance merupakan cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggungjawab pada publik. Dari definisi yang telah disebutkan tadi, setidak-tidaknya ada dua kompetensi yang harus dimiliki oleh birokrasi.
Pertama, birokrasi haruslah mampu memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif sebaik-baiknya. Hal ini menuntut kemampuan untuk mamahami dan mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, dan merumuskannya dalam kebijakan dan perencanaan serta mengimplementasikannya. Sosok “Hegelian Bureaucracy” agaknya mewakili tuntutan profesionalisme ini. Kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting. Pendekatan top down yang selama ini menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dan masyarakat harus mengalami perubahan menjadi hubungan horisontal (levelling-off).
Dalam kaitan ini, figur atau sosok sumber daya manusia Indonesia pada abad 21 adalah manusia-manusia yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1.      Memiliki wawasan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap atau perilaku (attitude) yag relevan dan mampu menunjang pencapaian sasaran dan bidang tugas dalam suatu organisasi.
2.      Memiliki disiplin kerja, dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaan dan terhadap organisasi.
3.      Memiliki rasa tanggungjawab dan pengertian atau pemahaman yang mendalam terhadap tugas dan kewajibannya sebagai karyawan dan atau unsur manajemen organisasi.
4.      Memiliki jiwa dan kemauan atau hasrat yang kuat untuk berprestasi, produktif dan bersikap profesional.
5.      Memiliki kemauan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan potensi dan kemampuan diri pribadi demi kelancaran pelaksanaan tugas organisasi.
6.      Memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang teknik maupun manajemen dan kepemimpinan.
7.      Memiliki keahlian dan keterampilan yang tertinggi dalam bidang tugas dan memiliki kemampuan alih teknologi.
8.      Memiliki jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) yang tinggi dan konsisten.
9.      Memiliki pola pikir dan pola tindak yang sesuai dengan visi, misi dan budaya kerja organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem dan mekanisme diklat perlu di desain secara baik, sehingga dapat menjawab tantangan kebutuhan dimasa yang akan datang, khususnya tuntutan menciptakan aparatur pada abad 21 yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage), bersih dan berwibawa, handal, serta efektif dan efisien. Termasuk dalam upaya penyempurnaan sistem dan mekanisme diklat ini adalah bagaimana meminimalisir kendala-kendala yang dihadapi serta mengoptimalkan setiap peluang yang ada.
Untuk mewujudkan sosok aparatur yang mempunyai kualitas dan daya saing tinggi tersebut, maka beberapa aspek yang perlu dibina adalah pembinaan inisiatif (initiative), kreativitas (creativity), kepercayaan terhadap diri sendiri (self-confidence), tanggung jawab (responsibility), dinamika atau mobilitas (mobility), kemampuan menyesuaikan diri (flexible), kesiapan untuk menerima pengetahuan baru (readiness to learn), sadar terhadap kualitas (quality conciousness), kemampuan untuk bekerjasama (ability to cooperate), kemampuan bermusyawarah untuk mufakat (compronise), memiliki loyalitas terhadap organisasi (loyality), siap untuk melakukan pengambilan keputusan (prepared for decision making), memiliki pemahaman terhadap suatu sistem yang kompleks (understanding of complex systems), memiliki kemampuan berkomunikasi (communication skills), serta mempunyai semangat untuk bekerja secara kelompok (team spirit).
Keseluruhan upaya tesebut, diharapkan dapat mewujudkan kualitas manusia Indonesia (khususnya aparatur pemerintahan) dalam manajemen pembangunan, yakni mereka yang memiliki tiga kualifikasi sebagai berikut: pertama, melekatnya sifat-sifat loyalitas, dedikasi dan motivasi kerja dalam mengemban tugas-tugasnya; kedua, dimilikinya kemampuan dan keahlian profesional; dan ketiga, dilaksanakannya sikap-sikap mental yang berorientasi pada etos kerja yang tertib, jujur, disiplin, produktif dan bekerja tanpa pamrih. Paling tidak tiga kualifikasi inilah yang diperlukan oleh setiap aparatur untuk menghadapi berbagai implikasi dari pemberlakukan perdagangan bebas pada era globalisasi.


2.2.2        Teknologi Informasi
Pada dekade ini pada hakikatnya perubahan teknologi dapat dikelompokkan (Reksohadiprodjo, 1999 : 85) sebagai berikut :
1.      Perubahan teknologi di bidang komputer.
2.      Perubahan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi
3.      Perubahan teknologi di bidang energi dan sumber daya alam.
4.      Perubahan teknologi di bidang proses produksi baru.
Kita mengetahui bahwa perkembangan komputer begitu cepatnya sehingga kemampuan komputer untuk tugas-tugas tertentu melebihi perkiraan kita semula. Sebagian dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Selanjutnya komputer justru menambah kesempatan kerja dan tidak seperti yang dikhawatirkan semula, yaitu akan mengakibatkan pengangguran.
Pemanfaatan komputer untuk menghitung soal-soal yang kompleks tidak disangkal lagi, dan juga komputer dapat dipergunakan untuk mengadakan forecast jangka panjang situasi yang dihadapi perusahaan, dan hebatnya lagi kita dapat memasukkan/mengeluarkan berbagai variabel sedemikian rupa sehingga hasil yang diperoleh hampir mendekati realita. Dengan demikian komputer akan sangat membantu peletakan strategi, kebijaksanaan dan taktik yang perlu diambil untuk menghadapi keadaan lingkungan yang selalu berubah itu. Hal ini dibantu oleh kemampuan komputer sebagai alat penyimpan serta penganalisa data, sehingga memudahkan manajemen untuk selalu berkonsultasi dengannya.
Kemajuan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi memungkinkan makin cepatnya, serta keluwesan arus barang-barang dan jasa-jasa, dan ini merupakan faktor utama perkembangan industri. Komunikasipun berkembang. Penggunaan telepon, telegram, radio, dan TV melalui satelit-satelit dapat dilihat secara nyata. Usaha-usaha untuk mempertahankan keseimbangan antara penggunaan serta tersedianya sumber-sumber daya alam menghadapi berbagai persoalan yang sifatnya teknis dan ekonomis. Kemungkinan saling mengganti antara sumber-sumber yang satu dengan yang lainnya terbatas, akan tetapi perkembangan teknologi, walaupun dengan biaya tinggi, memungkinkan hal ini. Yang perlu diingat di sini ialah kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan sebagai akibat pemanfaatan energi serta sumber daya alam.
Perkembangan proses produksi tidak ada hentinya berkat penemuan-penemuan baru. Penelitian-penelitian ilmiah berjalan terus sehingga dihasilkan proses-proses yang efisien dan efektif yang memungkinkan penekanan biaya walaupun harga bahan mentah cenderung naik.
Sasaran kelompok proses ketiga adalah menilai status, kapabilitas, efektifitas, dan orientasi teknologi informasi organisasi tersebut, yang berhubungan dengan visi dan strategi perusahaan yang ditata ulang. Langkah-langkahnya adalah:
1.      Menetapkan dimana letak organisasi tersebut di dalam evolusi teknologi informasi.
2.      Memastikan dimana seharusnya teknologi informasi berada untuk mendukung imperatif rekayasa ulang organisasi tersebut.
3.      Mengevaluasi apakah organisasi harus atau dapat berkembang secara alami, mempercepat evolusinya, atau melompat ke tingkat yang lebih tinggi.
Dalam menetapkan prioitas dan kemampuan organisasi untuk mentransformasikan dirinya dengan dukungan teknologi, tim rekayasa ulang perlu memperhitungkan apakah teknologi dapat membantu memberikan solusi yang memungkinkan dalam cara yang efektif dari segi biaya dan tepat waktu. Isu-isunya menyangkut:
1.      Kecanggihan teknologi saat ini dan di masa mendatang.
2.      Tingkat integrasi teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari organisasi.
3.      Aplikasi perangkat lunak yang tersedia di pasaran.
4.      Cara-cara untuk mendapatkan dan menggunakan data.
5.      Sikap para karyawan terhadap teknologi.
2.2.3        Persepsi Investor
Persepsi adalah suatu proses memperhatikan, menyeleksi dan menafsirkan stimulus lingkungan, dimana proses tersebut terjadi karena interprestasi seseorang berdasarkan pengalaman yang dialami maupun stimulus yang datang padanya (Gitosudarmo & Sudita, 1997 : 17).
Para investor yang memiliki teknologi dan modal tentu mempunyai persepsi yang disesuaikan dengan standard pengalaman maupun harapan terhadap sesuatu yang terjadi dengan aktivitas kesehariannya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas usaha atau bisnis yang sedang dikelola. Salah satu aktivitas yang berkaitan dengan usaha yang sedang dijalankan adalah proses perizinan terhadap usaha tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di suatu daerah.
Terdapat sepuluh indikator menurut Sobana, A (1999; 20) yang berkaitan dengan persepsi investor terhadap proses perizinan investasi:
1.      Dalam hal kemudahan dan keakuratan informasi mengenai peluang di bidang investasi.
2.      Mengenai pentingnya informasi tentang calon mitra usaha.
3.      Dalam hal kemudahan informasi tentang tata cara dan prosedur investasi, yang berkaitan dengan pemahaman yang cukup baik dari para investor terhadap tata cara dan prosedur investasi ini tidak semata-mata disebabkan oleh sikap pro aktif dari aparat terkait, namun lebih kepada rutinitas dalam mengurusi suatu perizinan tertentu.
4.      Aspek kemudahan mengenai ketentuan dan persyaratan permohonan investasi.
5.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh instansi berwenang.
6.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah pusat selain instansi daerah.
7.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah daerah (propinsi).
8.      Tingkat kepuasan investor terhadap pelayanan administrasi perizinan investasi yang diberikan oleh aparat pemerintah daerah (kabupaten atau kota).
9.      Terjadinya pungutan yang diatur secara resmi/legal, yang dianggap sebagai beban atau kendala bagi penciptaan efisiensi biaya produksi.
10.  Harapan kalangan investor terhadap adanya kebijaksanaan untuk mengintegrasikan jenis-jenis pelayanan secara terpadu.
Dalam era globalisasi, perubahan ekonomi dunia, dan persaingan yang semakin tinggi ini, dimana perkembangan teknologi yang begitu cepat, mengakibatkan peran tenaga kerja kasar (blue color labour) semakin berkurang. Dengan demikian melimpahnya tenaga kerja yang tidak disertai dengan kualitas yang tinggi bukan lagi merupakan suatu keunggulan komparatif (comparative advantage), melainkan hanya merupakan suatu beban negara yang berat harus diatasi, bukan hanya dengan penyediaan kesempatan kerja saja melainkan harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sehingga mampu bersaing dan menjadi suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage).

2.3  Kendala yang Membuat Investasi di Indonesia Terhambat
Menurut Halim (2005:1), investasi pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang. Tetapi Kendala serius investasi Indonesia adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah.Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional.
Pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk meningkatkanpenerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis, yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagi investasi, dan merupakan lahan subur bagi praktek – praktek korupsi.
Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah hari dalam melakukan bisnis. untuk mengurus semua perizinan usaha, seorang pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya biaya dan modal minimum yang diperlukan berkisar sekitar, masing-masing 130,7% dan 125,6% dari pendapatan per kapita di Indonesia. Sejumlah masalah yang telah disebut di atas mencerminkan kualitas dari kelembagaan publik di Indonesia. Buruknya kelembagaan publik di Indonesia juga ditunjukkan di dalam laporan tahunan dari WEF.
Dapat dilihat bahwa untuk hampir semua indikator tersebut, kondisi Indonesia semakin buruk. Misalnya, dalam hal kemandirian judicial dari pengaruh politik dari anggota – anggota pemerintah (misalnya menteri dan presiden), politikus, masyarakat, dan perusahaan, peringkat Indonesia jatuh dari 58 ke 68; walaupun secara relatif kejatuhannya lebih kecil karena jumlah sampel negara bertambah. Dalam hal kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan – perselisihan bsinis dan menolak legalitas dari tindakan – tindakan atau peraturan – peraturan pemerintah, posisi Indonesia menurun dari 51 ke 73.Untuk dua indikator berikut yang merupakan salah satu penentu krusial bagi pertumbuhan investasi, Indonesia juga masih buruk kinerjanya, yakni hak – hak properti dan perlindungan kekayaan intelektual.
Perihal pemborosan atau efisiensi dalam pengeluaran pemerintah, yakni apakah pemerintah menyediakan barang – barang dan jasa – jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar, posisi Indonesia juga memburuk. Dalam hal beban yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis dari regulasi – regulasi pemerintah pusat, yakni dalam memenuhi persyaratan – persyaratan administrasi berkaitan dengan perizinan, pelaporan, dan sebagainya, sebelumnya Indonesia berada pada posisi yang relatif baik dari 104 negara menjadi lebih buruk. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa distorsi pasar domestik semakin besar dalam satu tahun terakhir ini akibat regulasi – regulasi pemerintah pusat.
Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat efisiensi dari birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini merupakan salah satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif in Indonesia. Faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang artinya secara relatif dibandingkan banyak negara lain di dalam sampel, pajak di Indonesia bukan merupakan sumber distortif yang besar terhadap iklim bisnis.
Dalam hal pembayaran ekstra tidak tercatat atau terdokumentasi atau penyuapan yang berkaitan dengan kegiatan – kegiatan ekspor dan impor, dan pemakaian utilitas publik, peringkat Indonesia juga sangat rendah, dan hal ini bisa merupakan salah satu masalah yang harus dihilangkan untuk mencapai efektivitas dari kebijakan – kebijakan dari pemerintah selama ini yang bertujuan memulihkan kegiatan usaha dan meningkatkan investasi di Indonesia.
Mungkin untuk Negara – negara yang sudah lama melakukan investasi di Indonesia jadi sudah sangat kenal keadaan di Indonesia atau untuk perusahaan–perusahaan multinacional dengan kekayaan perusahaan yang sangat besar kondisi seperti ini tidak menjadi masalah serius sampai menghambat investasi mereka di dalam negeri. Tetapi untuk perusahaan–perusahaan skala menengah dan dari Negara – negara baru, kondisi seperti ini bisa menakutkan atau membuat pemilik modal menjadi ragu akan kemungkinan bisa mendapatkan keuntungan jika berinvestasi di Indonesia.


2.4  Potensi Investasi Di Indonesia
Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran (produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedahkan antara potensi jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang masih dapat diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga kerja yang besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak mampu mengembangkan teknologi dan meningkatkan kualitas SDM nya; namun ini sangat tergantung pada kemauan sungguh-sungguh dari negara tersebut.
Jika potensi jangka panjang ini tidak dapat direalisasikan, dan berbagai permasalahan seperti yang telah disebut di atas juga tidak tuntas, maka lambat laun potensi jangka pendek akan hilang. Misalnya, salah satu permasalahan tenaga kerja di Indonesia adalah kualitas serta etos kerja yang rendah. Selama ini, keunggulan klasik dari tenaga kerja Indonesia relatif dibandingkan banyak negara lain adalah upah murah, namun saat ini dan terutama di masa depan, keunggulan ini (potensi jangka pendek) tidak bisa lagi diandalkan sepenuhnya.
Dengan kemajuan teknologi yang pesat, persaingan yang semakin ketat akibat munculnya banyak pemain-pemain baru di pasar dan produksi global yang sangat agresif dan semakin ketatnya penerapan segala macam standarisasi produk yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan konsumen, maka Indonesia masih bisa mengandalkan upah buruh murah hanya apabila dikombinasikan dengan kualitas tenaga kerja yang tinggi. Karena upah murah akan tidak berarti apa-apa, jika produktivitasnya rendah dan produk yang dihasilkan berkualitas buruk.
Dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk (dan strukturnya menurut umur) dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor ini secara bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi keuntungan bagi seorang investor. Dari segi jumlah penduduk, tentu Indonesia, seperti halnya China dan India, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Namun jumlah penduduk saja tidak cukup jika pendapatan penduduk rata-rata per orang atau kemampuan belanja konsumen di Indonesia kecil. Oleh karena itu, kemampuan Indonesia untuk pulih kembali setelah krisis dengan menghasilkan pertumbuhan PDB riil rata-rata per kapita yang tinggi yang paling tidak seperti pada masa Orde Baru menjadi salah satu pertimbangan serius bagi calon investor asing.
Saat ini Indonesia masih dalam proses pemulihan, yang ditandai dengan semakin tingginya pertumbuhan PDB yang kembali positif sejak 1999 walaupun dengan laju yang relatif lambat. Dengan pendapatan yang cenderung meningkat, yang berarti potensi pasar di dalam negeri cenderung meningkat, maka dari sisi permintaan potensi Indonesia untuk investasi sangat baik.

2.5  Strategi Investasi Birokrasi Di Indonesia
Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dengan  terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1 September 2014.
Melalui Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah – langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing – masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing nasional dan pelaksanaan MEA yang telah dimulai pada Tahun 2015.
Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan, utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:
1.      Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah; pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2.      Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor pertanian, dan peningkatan akses pasar.
3.      Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan posisi kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
4.      Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru, terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.
5.      Selain itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan infrastruktur, pengembangan sistem logistik nasional, pengembangan perbankan,  investasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, tenaga kerja, kesehatan, perdagangan, kepariwisataan, dan kewirausahaan.

2.6  Studi Kasus Implementasi Reformasi Birokrasi Perizinan Investasi di Kota Bekasi
Kota Bekasi merupakan salah satu kota yang terdapat di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada dalam lingkungan megapolitan Jabodetabek dan menjadi kota besar keempat di Indonesia yang memiliki peran multifungsi yaitu lokasi industri, perumahan dan sentra perdagangan. Saat ini kota Bekasi berkembang menjadi kawasan sentra industri dan kawasan tempat tinggal kaum urban. Seca-ra geografis kota Bekasi berada pada ketinggian 19 m diatas permukaan laut. Kota ini terletak di sebelah timur Jakarta; berbatasan dengan Jakarta Timur di barat, kabupaten Bekasi di utara dan timur, kabupaten Bogor di selatan, serta kota Depok di sebelah barat daya.Dari to-tal luas wilayahnya, lebih dari 50 % sudah men-jadi kawasan efektif perkotaan dengan 90 % te-lah menjadi kawasan perumahan, 4 % telah menjadi kawasan industri, 3 % telah digunakan untuk perdagangan, dan sisanya untuk bangunan lainnya. Kota ini sebelumnya merupakan sebuah kecamatan dari kabupaten Bekasi yang kemudian berkembang dan ditingkatkan statusnya pada tahun 1982 menjadi kota administratif Bekasi yang saat itu terdiri atas empat keca-matan yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, dan meliputi 18 kelurahan serta 8 desa. Di tahun 1996 kota administratif Bekasi kembali ditingkatkan statusnya menjadi kotamadya (sekarang kota). Jumlah Penduduk Kota Bekasi adalah 2.336.498 orang.
Terkait dengan birokrasi perizinan penanaman modal di Kota Bekasi ini sebelum di lakukan reformasi birokrasi terjadi hambatan-hambatan dalam perizinan penanaman modal di daerah tersebut antara lain :
1.      Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Izin Usaha In-dustri (SIUI), Tanda Daftar Gudang (TDG) dikeluarkan oleh Dinas Perindus-trian dan Perdagangan Kota Bekasi.
2.      Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) yang mengeluarkan adalah Dinas Bina Marga di Kota Bekasi.
3.      Izin Mendirikan Bangunan (IMB) instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Bekasi.
4.      Izin Pelayanan Kesehatan seperti Izin Apotek, Izin Toko Obat, Izin Praktek Dokter, Izin Praktek Bidan dan Izin Sarana Pelayanan Kesehatan instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
5.       Izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) instansi yang mengeluarkan adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Bekasi.
6.       Izin Pertambangan Galian C dan Izin Penggambilan Air Bawah Tanah instansi yang mengeluarkan izin adalah Dinas Sumber Daya Alam dan Pertam-bangan Kota Bekasi.
7.      Izin Trayek dan Pengusaha Angkutan instansi yang mengeluarkan izin adalah Dinas Perhubungan Kota Bekasi.
8.      Surat Izin Usaha Pariwisata (SIUP) instansi yang mengeluarkan adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bekasi.

Kondisi pelayanan perizinan ini terkesan belum efektif dan terkesan berbelit-belit. Untuk mengatasi kondisi tersebut pemerintah Kota Bekasi memebentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bekasi.
Pembentukan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bekasi berdasarkan Peraturan Daerah No. 09 Tahun 2008 pada dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi perizinan dalam bentuk; pemangkasan tahapan dan prosedur, baik prosedur lintas instansi mau pun didalam instansi yang bersangkutan; pe-mangkasan biaya; pengurangan jumlah persya-ratan; pengurangan jumlah paraf dan tanda tangan yang diperlukan; pengurangan waktu rata-rata pemrosesan perizinan.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi saat ini melayani 39 jenis perizinan. Pengaruh reformasi birokrasi yang nyata yaitu mempersingkat waktu karena semua proses perizinan penanaman modal dilakukan di satu tempat yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi, berbeda dengan sebelum reformasi birokrasi, perizinan harus dilakukan di banyak instansi. Keterbukaan in-formasi berjalan seperti persyaratan dan prosedur mudah di akses dengan dipublikasi melalui media brosur,papan pengumuman, pusat informasi dan website instansi.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam membangun iklim investasi daerah, Pemerintah belum mampu memberikan jaminan keamanan berusaha bagi investor baik asing maupun lokal, untuk mengembangkan usaha di daerah yang mencakup kepastian hukum dan jaminan keamanan, kondisi infrastruktur pendukung, serta birokrasi yang cepat dan transparan. Kualitas kebijakan dan peraturan yang dirumuskan pemerintah sangat mempengaruhi iklim investasi, kendala serius investasi Indonesia adalah Mahalnya memulai bisnis yang menyebabkan memburuknya iklim investasi di Indonesia.
Sayangnya, pengalaman Indonesia selama ini dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi menunjukkan paling tidak tiga masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Pertama, sering kali terjadi tumpang tindih atau perbenturan antara dua (atau lebih) kebijakan, yang mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka masing-masing. Kedua, dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada koordinasi yang baik antar subdepartemen atau antara pusat dan daerah di dalam sebuah departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Ketiga permasalahan perijinan yang harus transparansi dan akuntabilitas, dan yang terakir adanya keseimbangan antara infrastruktur dan suprastruktur sebagai sarana utama penarik minat infestor untuk menanamkan modalnya.
Dengan memburuknya iklim investasi, Pemerintah RI meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Selain strategi dasar pengembangan, terdapat sektor lain yakni pengembangan infrastruktur dan pengembangan perbankan.



3.2 Saran
Pelayanan birokrasi yang kurang baik dapat diatasi dengan upaya pengembangan perilaku bersih di lingkungan pejabat teras. Pemda seharusnya tetap menjaga dampak sosial dan lingkungan yang terjadi karena adanya “kemudahan” bagi para investor dan pengusaha. Produsen lokal dan petani daerah harus lebih diprioritaskan eksistensinya.Kehadiran investor asing justru seharusnya dapat membantu petani dan produsen lokal dalam memasarkan produk atau komoditas yang dihasilkan serta menciptakan lapangan kerja. Dengan  terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014, diharapakan dapat meningkatkan daya saing nasional dan pelaksanaan MEA, utamanya dengan mengedepankan strategi dasar pengembangan industri nasional,  pertanian, kelautan perikanan, dan energi.
Selain itu pemerintah harus dapat memahami persoalan yang terjadi dalam iklim investasi Indonesia, dengan demikian dapat memberi supremasi hukum yang jelas dan juga berkaitan dengan perijianan merupakan hal yang sangat kursial dalam peningkatan dan pertumbuhan investasi yang lebih baik dan kondusif.

Daftar Pustaka
1. Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi Edisi ll. Jakarta: Salemba empat
2. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia
3. Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung : Refika Aditama

Tuesday 22 November 2016

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN (Studi Kasus Kurikulum 2013) PPT

RESENSI FILM “ KITA VS KORUPSI”

Film yang berjudul “KITA VS KORUPSI” ini merupakan kumpulan cerita pendek yang menceritakan tentang korupsi yang terjadi disekitar kita. Berikut review dari beberapa cerita pendek tersebut dalam film “KITA VS KORUPSI” :

1.      RUMAH PERKARA
Sutradara : Emil Heradi
           Film ini mengangkat sebuah cerita tentang seorang kepala desa/ lurah yang tidak menepati semua janjinya untuk mensejahterakan, melindungi dan menjaga rakyat dan daerahnya dengan disertai sumpah DEMI ALLAH. Tetapi setelah terpilihnya dia sebagai kepala desa, dia menyetujui suatu program, dimana sebagian tanah didesanya tersebut akan dijadikan tempat wisata. Karena mendapatkan kucuran dana yang tidak sedikit dari para investor dan para jajaran proyektor itu, kepala desa secepatnya mengambil hak tanah milik warga. Banyak warga disana yang pergi dari desanya tersebut dikarenakan sudah tidak memiliki hak atas tanahnya yang sudah diambil pengusaha pemilik proyek pembangunan tempat wisata tersebut. Namun terjadi sebuah konflik, dimana kepala desa tersebut memiliki simpanan yang tidak mau pindah dari rumah itu, karena rumah adalah rumah satu-satunya yang dia miliki. Dan singkatnya setelah kepala desa tersebut telah berhasil mendapatkan surat tanah dari wanita simpanannya itu. Saat para proyektor sudah habis kesabaran karena wanita itu tidak mau meninggalkan rumahnya, lalu mereka membakar rumah wanita tersebut dan wanita tersebut masih ada didalamnya, dan dengan menyesal kepala desa tersebut datang terlambat ke rumah itu dan mendapati rumah itu telah terbakar habis.
Perkembangan watak kepala desa : kepala desa sangatlah menang sendiri dalam film ini, karena tidak mempertimbangkan nasib rakyatnya.
Korupsi yang ditampilkan : kepala desa melakukan korupsi yaitu dengan menyetujui suatu program yang tidak mempertimbangkan nasib rakyatnya karena dia akan mendapatkan kucuran dana yang sangat besar.
 Akibat yang timbul : kepala desa menyesal yang sangat terdalam dia terima karena dia tidak bias menjalankan amanahnya.

Resume Film 1 (Rumah Perkara):
Sebuah desa yang dipimpin seorang lurah bernama Yatna melakukan sebuah kerja sama dengan seorang developer perumahan untuk membangun sebuah real estate di desanya itu. Dengan iming-iming tentu saja. Semua penduduk di desa itu disuruh pergi meninggalkan desa, dan hanya tersisa seorang janda yang masih menetap di sana. Akhirnya karena bingung mengusir janda itu, bawahan-bawahan sang developer melakukan cara tercepat dan termudah dengan membakar rumah sang janda, padahal janda itu sedang berada di dalam rumah. Namun, seorang anak tiba dimana anak dari kepala desa pergi ke rumah janda itu untuk mencari ayahnya, masuk kedalam rumah, dan dia juga ikut terbakar disana.

Tanggapan Film 1 (Rumah Perkara):
Pada film berjudul ”Rumah Perkara” menekankan kita ketika kita menjadi pemimpin jangan memberikan janji yang belum tentu kita bisa lakukan apalagi jika bersangkutpaut dengan adanya uang dari pihak lainnya. Sehingga ketika kita berjanji banyak hal dan terpilih suatu hari nanti maka sangat sulit melakukan hal yang benar saat sudah berhadapan dengan uang yang ada di depan mata. Maka dari itu, pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal janji dan perlindungan, bukan untuk masalah kepentingan diri sendiri ataupun uang yang mereka dapatkan dari pihak lainnya.  

2.      AKU PADAMU
Sutradara : Lasja Fauzia Susatyo
 Film ini berkisahkan dari seorang gadis yang akan pergi untuk kawin lari dengan kekasihnya karena dia sudah muak akan ayah nya yang sering melakukan korupsi dan kecurangan. Dia tidak ingin sosol ayahnya datang dipernikahannya, namun persyaratan pernikahan itu harus memakai kartu keluarga, tetapi satu sama lain tak ada yang membawa kartu keluarga dan kekasih gadis tersebut berkata padanya untuk memakai bantuan orang dalam agar prosesnya lebih cepat, seketika gadis tersebut menolak karena dia mengingat akan masa lalunya, dimana masalalu yang mengajarkan dia untuk memulai sesuatu yang kecil pun harus dengan kejujuran karena “DIRIMU YANG SEKARANG ADALAH CERMINAN KEHIDUPAN MU NANTI”
 Pada masa kecilnya, dia memiliki guru yang tidak mau menyogok ayahnya untuk menjadi seorang PNS , dan akhirnya guru itu pun dipecat dari sekolahnya karena tidak memberikan uang kepada bagisan pengurus kepegawaian, tapi guru itu tetap berusaha untuk mengajar muridnya walau bukan sebagai guru disekolahnya. Guru itu tetap bertahan dengan keadaan yang seadanya, guru itu pun akhirnya meninggal karena sakit. Karena pengalaman masa kecilnya tersebutlah yang membuat seorang gadis ini memiliki pendirian untuk tidak menyogok.
 Perkembangan watak laras (seorang gadis) : gadis ini memiliki pendirian untuk tidak menyogok karena pengalaman yang didapat pada masa kecilnya dulu.
·    Korupsi yang ditampilkan :
o   Korupsi untuk mengangkat seorang guru untuk menjadi PNS
o   Calo untuk mempermudah proses menikah di KUA
·         Akibat yang timbul : hingga akhir hidupnya dia (Laras) tidak pernah menyesal karena dia melakukan hal yang benar dan jujur.

Resume Film 2 (Aku Padamu):
Vano dan Laras ingin menikah tanpa sepengetahuan orang tua Laras. Ketika mereka sampai di KUA, mereka tidak bisa langsung menikah karena surat kesahannya nggak lengkap. Hasilnya, keinginan mereka terhambat urusan kartu keluarga, dan calo pun menjadi pilihan. Vano untuk mempercepat penyelesaian masalah tersebut. Namun Laras tidak mau karena itu termasuk salah satu tindak yang dekat dengan korupsi yaitu nepotisme, dan dia sangat anti yang namanya korupsi, karena Ayahnya adalah seorang pegawai negeri yang sempat melakukan korupsi sertifikasi guru. Laras ternyata bukanlah sekedar anak muda zaman sekarang yang biasa. Dalam dirinya tertanam nilai-nilai anti suap yang diwariskan oleh guru panutannya saat SD, seorang guru honorer yang rela hidup susah hingga akhir hidupnya karena tidak mau membayar uang pelicin kepada ayah Laras, sang kepala sekolah.  

Tanggapan Film 2 (Aku Padamu):
Pada film berjudul ”Aku Padamu” ini menekankan kalau kita tidak boleh mengalah dan menyerah untuk menjalani hidup dengan jujur apalagi segala sesuatu di dalam kehidupan ini berawal dari yang kecil hingga akhirnya menjadi besar. Sekali tidak jujur maka akan terbiasa menjadi tidak jujur. Bahkan menggampangkan semua hal yang salah karena orang melakukannya. Padahal kita tahu yang orang lakukan salah. Itulah masalahnya. Hal yang besar berawal dari sesuatu yang kecil jadi kalau kita sudah melakukan kebohongan di rumah, maka akan berdampak kepada hal-hal lainnya. Sehingga pada akhir kesimpulan cerita terdapat kutipan jika kita ingin sesuatu yang benar maka lakukanlah cara yang benar pula. 


3.      SELAMAT SIANG RISA
Sutradara : Ine Febriyanti
Selamat siang risa adalah film yang mengisahkan satu keluarga kecil yang sederhana tapi bahagia, yang mana didalam satu keluarga ini diajarkan arti hidup sederhana, jujur, dan bertanggung jawab walaupun bisa dibilang hidup mereka sangat jauh dari kata cukup. Seorang ayah yang hanya bekerja sebgaai staf penjaga gudang beras yang tidak pernah naik pangkat karena dia adalah orang yang jujur dalam hal apa saja dan istrinya yang hanya bekerja sebagai penjahit rumahan yang memiliki satu putri cantik dan satu putra yang tampan, walaupun keluarga itu mengalami kesulitan uang yang sangat menyusahkan mereka namun mereka tetap pada pendirian mereka, ketika anak laki-lakinya sakit dan keluarga itu ada dalam masa dimana mereka tidak mempunyai uang sama sekali, ,mereka mencoba untuk meminta tolong pada tetangganya tetapi tidak ada satupun tetangganya yang dapat menolong mereka, dimalam itu juga datang seorang juragan beras kerumah mereka dia meminta tolong untuk menimbun beras, dan dia akan memberi upah uang yang sangat banyak, tetapi seorang ayah yang jujur tersebut menolak permintaan juragan beras tersebut karena juragan beras tersebut bermaksud untuk menyelundupkan beras didalam gudang tersebut.
 Beberapa tahun kemudian pun gadis kecil yang cantik tumbuh menjadi perempuan yang menjabat sebagai kepala bagian perijinan disuatu perusahaan, dia diminta untuk melancarkan sebuah proyek agar ijinnya bias cepat dikeluarkan dengan bayaran yang cukup besar, tapi dia menolak karena ingat apa yang diajarkan ayahnya untuk tidak menerima sogokan. Dan risa mempunyai pendirian bahwa “ kebaikan itu lahir dari kebaikan sebelumnya”.
·         Perkembangan watak seorang ayah : ayahnya sangat berpendirian agar tidak melakukan korupsi meskipun hidupnya sangat jauh dari kata cukup.
·         Korupsi yang ditampilkan :
o   Menyogok seorang ayah tersebut untuk membantu menyimpan beras digudangnya dan mendapat bayaran yang sangat besar.
o   Menyogok risa(kepala bagian perijinan disuatu perusahaan) agar dapat memperlancar bisnis orang tersebut.
·         Akibat yang timbul :
·         Seorang ayah tersebut berhasil mendidik anaknya dan member contoh agar tidak melakukan korupsi.

Resume Film 3 (Selamat Siang, Risa):
Seorang penjaga gudang bernama Arwoko yang tengah dilanda kesulitan ekonomi pada masa Malari. Kebimbangan adalah hal yang sangat sering terjadi ketika kita berhadapan dengan korupsi, begitu pula yang terjadi saat Arwoko menerima tawaran dari seorang penimbun beras untuk menggunakan gudangnya yang saat itu sedang kosong, apalagi seluruh teman-teman dan atasannya telah menerima tawaran tersebut. Pergolakan batin Arwoko tergarap dengan baik dan penuh emosi di sini. Ada satu tumpuk. Dua tumpuk. Tiga tumpuk uang seratus ribuan yang di sodorkan perlahan ke atas meja. Arwoko terdiam. Koh Abeng menyodorkan tiga tumpuk duit itu ke arah Arwoko, seolah Arwoko sungkan untuk mengambilnya. Di balik kamar, sang isteri berlinang airmata karena bayi mereka yang tengah sakit membutuhkan biaya obat. Sangat mudah untuk tergoda dengan tumpukan duit itu. Apalagi, Koh Abeng hanya butuh gudang-gudang kosong di bawah pengawasan Arwoko untuk meletakkan dagangannya. Arwoko masih terdiam. Wajahnya menyimpan emosi. Ada beberapa detik yang menentukan apakah Arwoko akan menyerah karena situasi yang sulit atau dia akan berpegang pada kebersihan dengan risiko penyakit anaknya yang semakin parah. Arwoko menolak mesti diiming-imingi uang banyak, karena dia konsisten dengan kerjanya. Padahal kondisi kehidupan mereka juga sedang pas-pasan. Akhirnya Koh Abeng meninggalkan tempat dan istri tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak bisa.

Tanggapan Film 3 (Selamat Siang, Risa):
Film ketiga yang berjudul “Selamat Siang, Risa” ini menggambarkan seorang anak yang dibesarkan dengan kejujuran orang tuanya terhadap hidup dan masalah penyalahgunaan wewenang meskipun kecil mempengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Dia belajar banyak dari kejujuran orang tuanya. Dengan jujur semua pada akhirnya akan baik-baik saja. Bayangkan kalau ayahnya menerima uang sogokan. Di masa akan datang anaknya pasti akan merasa biasa saja untuk menerima uang tambahan yang diberikan pihak lain.Ssemua kembali dari mana kita berasal. Kalau kita dibesarkan dengan menjunjung tinggi kejujuran, kita akan menjadi orang yang jujur.

4.      Psssstttt….JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA
Sutradara : Chairun Nissa
Judul keempat film kita vs korupsi ini adalah Pssst jangan bilang siapa-siapa. Film ini menceritakan perilaku anak remaja sekarang yang sering melakukan tindakan berbohong dan mencoba untuk melakukan korupsi di usia dini. Dalam kehidupan sehari-harilah yang mengajarkan anak usia dini semacam ini melakukan tindakan korupsi, dari ayah yang sering berkorupsi di kantor, ibunya yang sering berbohong dan meminta uang belanja lebih, anak yang berbohong meminta uang untuk keperluan sekolah lebih, seorang guru yang memakai uang untuk member nilai, mungkin di zaman seakarang kejujuran sangatlah susah. Tetapi beda dengan pemain yang bernama gita difilm ini, gita berbeda pendapat dengan teman-temannya yang selalu bangga dengan hal itu, gita memiliki caranya sendiri untuk memperjuangkan keinginannya seperti membeli kamera hasil menabungnya, dan dia rela mendapatkan nilai kecil karena dia tidak membeli buku di gurunya karena dia membeli buku itu diluar namun bagi dia semua kembali pada diri kita semua.
·  Perkembangan watak Ola dan Eci : sering melakukan korupsi dalam keluarganya, termasuk ayah dan ibunya.
·   Perkembangan watak Gita : sangat berpendirian, tidak mudah terpengaruh oleh teman-temannya yang suka korupsi.
·   Korupsi yang ditampilkan :
o   Ibu Ola selalu meminta uang belanja lebih
o   Ayah Ola melakukan korupsi dengan atasannya
o   Ola melakukan korupsi dengan meminta uanglebih untuk membeli perlengkapan sekolah
o   Gurunya melakukan korupsi dengan member nilai dengan memakai uang untuk member nilai
·    Akibat yang timbul : Dalam lingkungan Gita sudah jarang ditemukan orang-orang jujur dan yang tidak melakukan korupsi.



Resume Film 4 (Pssst... Jangan Bilang Siapa Siapa):
Berawal dari sebuah rekaman dalam kehidupan sekolah, Olla yang direkam oleh temannya, Gita untuk membuat sebuah video-cam tentang temannya. Saat perekeman berlangsung, saat mereka berada di kantin, mereka bertemu dengan Echi. Saat mereka berbincang di kantin, Gita menyadari banyak cerita di sekelilingnya yang dia tidak tahu. Temannya Gita yang bertugas menjual buku dari gurunya mengungkapkan alasan dia mendapat nilai yang lebih rendah dari temannya hanya karena dia tidak membeli buku yang dijual gurunya. Nilai bukannya ditentukan prestasinya tetapi ditentukan menguntungkan atau tidaknya guru tersebut. Di lain pihak, temannya yang lain terbiasa berbohong kepada orang tuanya saat meminta uang untuk membeli buku pelajaran. Ayahnya anak ini berbohong kepada atasannya. Atasannya akan berbohong kepada atasannya. Karena ini, terbentuk lingkaran kebohongan. Temannya Gita menganggap sogok menjadi biasa.  


Tanggapan Film 4 (Pssst... Jangan Bilang Siapa Siapa):
Pada film ”Pssst... Jangan Bilang Siapa Siapa” sangat mudah untuk diambil amanahnya karena menyangkut dalam kehidupan sehari-hari seorang remaja di sekolah. Dengan teknik pengambilan gambar video-cam dari mata seorang murid SMA yang sedang membuat film dokumenter, kita melihat anak-anak SMA masa kini yang dengan enteng menilep duit di sana-sini. Satu murid ditugaskan gurunya untuk menjual buku pelajaran dengan harga yang lebih mahal daripada harga buku di toko. Keuntungannya akan dikantongi sang guru dan sang murid. Korupsi ini terus berantai dari satu orang ke orang lain, dimulai dari usia dini hingga dewasa dan berlangsung dari lini terbawah hingga atas, vertikal dan horizontal.

KESIMPULAN DAN PESAN MORAL
Dapat ditarik kesimpulan bahwa film film diatas adalah sesuatu itu harus dimulai dari kecil dan ditanamkan sejak dini seperti kejujuran, kemandirian, dan kesederhanaan yang akan membuat seseorang terbiasa dan terhindar dari perbuatan korupsi


Sunday 16 October 2016

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY CHALLENGE IN EMPLOYMENT IN INDONESIA

PART I
PRELIMINARY

1.1 Background
Indonesia is one country with a capacity of Human Resources that many. But in the management of its human resources, Indonesia is still very far behind neighboring countries such as Malaysia, Thailand, Philippines, and other countries. It is caused by the level of education in Indonesia is still low and inadequate facilities, resulting in lower quality of labor, increasing unemployment, declining productivity, and low competitiveness to be able to face the competition between labor from the country and abroad.
Indonesia with nine other ASEAN member countries have signed a declaration blueprint Asian Economic Community (AEC) to initiate an integration step in economic terms. This makes Indonesia should strive to improve the quality of human resources and to improve the competitiveness of Indonesian manpower soul to survive amid the era of free trade to come. The Indonesian government must be focused and concerned with labor issues and immediately clean to create a climate that is conducive to speed up the movement of economic growth through Human Resources. The improvement can be done by improving education, educational equity, improving health, conduct training for the workforce, provide adequate facilities, revamping the structure of employment in Indonesia, and others - others will push the quality of labor. When a country has a highly competitive and able to compete in regional and global arena it is certain labor-owned has been able to achieve standardization and have a good reputation which would lucrative state.
Human resources (HR) is one of the key factors in economic reform, namely how to create quality human resources and skills as well as highly competitive in a global competition which we abaikan.Globalisasi which certainly faced by the Indonesian people demanding their efficiency and competitiveness; in the business world. In a globalization which involves intraregional and international relations will be competition between countries. Indonesia in the global competition according to the World Competitiveness Report ranks 45th, the lowest of all countries surveyed, below Singapore (8), Malaysia (34th), China (35th), Philippines (38), and Thailand (40). In this case we can see that Indonesia is still very far behind in global competition.
Indonesian nation-building in the future is highly dependent on the quality of Human Resources and Indonesian workers physically and mentally healthy and have the skills and expertise, so as to build from the families concerned to have a job and a steady income and decent enough to meet the needs of life, health and education of family members to be able to build Indonesia in global competition (MEA) in 2015.
Currently, Indonesia has been preparing to welcome the MEA on December 31, 2015 was launched. Delegates from each of the ASEAN countries, especially Indonesia hopes the MEA can make people in the more developed countries. Besides the social and economic aspects that reflects the implementation of the MEA population and trade, such thinking also guided by aspects of employment are no less important in the country itself.
1.2 Problem Formulation
1. What are the conditions of employment in Indonesia in the arena MEA?
2. What challenges and opportunities of employment in Indonesia against the MEA?
3. How does the employment readiness of Indonesia in the face of MEA?
4. How does the Indonesian Government policy on employment Indonesia in facing the MEA?
5. How Step Strategic Solutions Indonesia employment in the face of MEA?






CHAPTER II
DISCUSSION

1.1 Conditions of employment in Indonesia in the arena MEA
ASEAN Economic Community (AEC) or the ASEAN Economic Community will be implemented in 2016 still leaves a question mark. One of them is the issue of employment. Until now, regulation of labor flows freely enter Indonesia. Chamber of Commerce and Industry (Kadin) Indonesia assess manpower development in Indonesia is still very low.
Low Human Resource Indonesia led to labor conditions experienced various serious problem and requires an effective government role to overcome in order to achieve the Human Resources that have high competitiveness to face global competition first Asian Economic Community (AEC). The problem - a problem often faced by workers in Indonesia are:
A. The low quality of labor
The quality of the workforce in a country can be determined by looking at the level of the country's education. Most workers in Indonesia, the level of education is low. This led to the mastery of science and technology to be low. The lack of mastery of science and technology leads to low productivity of labor, so this will affect terhadaprendahnya the quality of production of goods and services.
B. Total labor force that is proportional to employment
The increasing number of labor force that is not offset by the expansion of employment will bring a burden for the economy. The labor force can not be accommodated in the labor market will cause unemployment. Though the government hopes, the increasing number of labor force could be a driver of economic development.
C. Distribution of labor uneven
Most workers in Indonesia are located in Java. While in other areas is still a shortage of labor, especially for agriculture, plantation and forestry. Thus in Java a lot going on unemployment, while in other areas there are many natural resources have not been managed optimally.
D. Unemployment
An economic crisis in Indonesia resulted in many industries in Indonesia have gone bankrupt. As a result, many workers who stop working, the narrowness of the existing employment but the total labor force continues to increase.
Based on the data released by the Central Statistics Agency (BPS) in the Official Bulletin of Statistics No. 38/05 / Th. XVII, May 5, 2014, the state Employment per month of February 2014 is as follows:
1) The labor force in Indonesia in February 2014 reached 125.3 million people; increased by 5.2 million people compared to the labor force in August 2013 as many as 120.2 million or an increase of about 1.7 million people compared with February 2013.
2) The number of people working in Indonesia in February 2014 reached 118.2 million people; increased by 5.4 million people compared to the state in August 2013 as many as 112.8 million or an increase of 1.7 million compared to the state in February 2013
3) Unemployment Rate (TPT) in Indonesia in February 2014 reached 5.70 percent; TP decreased compared to August 2013 amounted to 6.17 percent and TPT in February 2013 amounted to 5.82 percent.
4) During the last year (February 2013 - February 2014), the total working population has increased in almost all sectors, especially in the Social Services Sector as many as 640 thousand people (3.59 percent), the Trade Sector 450 thousand people (1.77 percent), and the Manufacturing Sector as many as 390 thousand people (2.60 percent). While the sector is declining agricultural sector which has decreased the number of people working at 0.68 percent.
5) Based on the number of hours worked in February 2014, as many as 81.2 million people (68.71 percent) work over 35 hours per week, while the working population with the number of hours worked less than 15 hours per week reached 7.3 million people ( 6.16 percent).
6) In February 2014, the population worked in elementary education levels down still dominate as many as 55.3 million people (46.80 percent), while the working population with education Diploma 3.1 million people (2.65 per cent) and population working with university education just as much as 8.8 million people (7.49 percent).
From the BPS can be concluded that the participation rate angkatanm increased employment and decreased unemployment. However, with declining unemployment rate does not mean that Indonesia has made progress and can be declared ready to fight in the free market MEA. This is because Indonesia still has a wide range of domestic problems that make the Indonesian government has not been so focused on the face of the MEA but rather occupy the things that will not even be endless, such as issues of politics and government is not concerned about job creation that have high quality to able to compete in global markets and prevent the influx of labor from other countries as well as discrimination against women workers, salaries / wages are inadequate, labor protection issues, and others - others. This will cause negative effects for Indonesia in terms of preparing for talent. Many of the workers who have not been so aware by going to the enactment of the MEA, so companies need was training again to prepare MEA.

2.2 Challenges and opportunities of employment in Indonesia to MEA
Employment is an important role in the development of social welfare in Indonesia. According to Law No. 13 2003 Chapter I Article 1 Paragraph 2 states that labor is any person who is able to work in order to produce goods or services either to meet their own needs as well as for society. Therefore, the government should empower the existing workforce in Indonesia.
MEA indirectly led to employment increases, but it does affect the employment opportunities of our workforce, especially in his own country. With the MEA labor ASEAN citizens can be spread in every ASEAN country, so that the chances of such Indonesian Workers (TKI), especially in the ASEAN region to be maintained existence. However it is not possible, workers in Indonesia alone could match in obtaining employment in their own country saw a free market economy, especially in Indonesia is very advantageous because the number of Indonesia's population of 249.9 million people. Therefore, the role of government is needed now is the government Joko Widodo to sustain employment given the MEA which is a sustainable economic development.
Potential generated when the government put forward the issue of labor in Indonesia should be able to generate a positive trend on the economic progress of the nation. Total labor force in August 2013 alone according to the Central Bureau of Statistics as many as 118 190 000 million compared with the total population of Indonesia at this time is almost halved. Thus, the need for a training program to support the competitiveness of the work force to improve the skills of our work by not waive the sovereignty of the workforce.

2.3 Readiness Indonesian labor in the face of MEA
In order to maintain political stability and regional security ASEAN, enhance the competitiveness of the region as a whole on the world market, and promote economic growth, reduce poverty and improve the living standard of the Member States, all Member States of ASEAN agreed to immediately realize the economic integration more tangible and meaningful namely ASEAN Economy Community (AEC) or the ASEAN Economic Community (AEC). The involvement of each country in cooperation, both multilateral and regional levels, has its own interests, as well as Indonesia has its own interests with ASEAN cooperation. The willingness of Indonesia together with nine other ASEAN countries to form the ASEAN Economic Community (AEC) in 2015 was based on a belief in the benefits that conceptually would boost economic growth in Indonesia and the ASEAN region.
Challenges faced by Indonesia enters ASEAN economic integration is not only that is internal in the country but even more competition with fellow ASEAN countries and other countries outside ASEAN. Another challenge is the Indonesian inflation rate is still relatively high compared with other countries in the ASEAN region. The competitive ability of Human Resources Indonesian workers must be improved, both formally and informally. For that, Indonesia should be able to improve the quality of its workforce so it can be used both in domestic and intra-ASEAN, to prevent the influx of skilled workers from outside. One of the great challenges of our national education is to instill a collective consciousness as a nation need to fight hard to achieve progress, catching up with other countries in many aspects.
For Indonesia, where MEA into the early rounds to develop a variety of quality economies in Southeast Asia in the development of a free market. MEA into two sides of a coin for Indonesia. On one side is a good opportunity to demonstrate the quality and quantity of products and Human Resources of Indonesia to the country - other countries with open, but on the other hand can be a turning point for Indonesia if Indonesia can not use it properly. In an era of global competition, Indonesia must pay attention to labor and production which is not a matter of a quantitative, but also qualitative side of her. The quality of low labor one of which resulted levels of education and skills are inadequate. As quoted from the ASEAN Community Bulletin March 2014, the opportunity for new workers in Indonesia 22% worse than the Philippines, Malaysia, and Vietnam. This resulted in the development of new research and innovation in enhancing the competitiveness of larger considering the competitiveness of Indonesia is still low among the other ASEAN countries may be a stumbling block in the MEA.
There are some fundamental problems facing Indonesia in order to face the MEA 2015, namely:
1. The high number of underemployment (disguised unemployment);
2. The low number of new entrepreneurs to accelerate the expansion of employment opportunities;
3. Workers Indonesia is dominated by uneducated workers so that labor productivity is low;
4. Increasing the number of unemployed educated labor force, due to a mismatch between college graduates with labor market needs;
5. Inequality in labor productivity between sectors of the economy;
6. The informal sector dominates employment, where the sector is not yet optimal attention from the government;
7. Unemployment in Indonesia is the highest unemployment of 10 ASEAN member countries; unpreparedness of skilled labor in the face of AEC 2015;
8. The demands of workers to the minimum wage, labor contracts, employment and social security; and
9. The problem of Indonesian Workers who are scattered abroad.

The quality of labor in Indonesia should be able to have certain performance standards to face the MEA. As labor certification for each of the workers who work in Indonesia thus increasing the competitiveness of our workforce in the world. More and more jobs in the area of ​​Indonesia is not menutut possibility of citizens outside Indonesia may be attracted to work in Indonesia. With the acquisition workforce so competition can also allow Indonesian workers to be benefited in this MEA, especially in our own country.

2.4 Employment Policies Government of Indonesia in Facing MEA

There are some things that need attention or record for the world of employment prior to the time of our country will actually enter the MEA.

a. Regulation Legislation Employment Field.
Legislation in the field of labor. Although the source of labor law in Indonesia there are legal provisions in the various legislation, Act No. 13 of 2003 on Manpower is the basic rule that contains the settings thoroughly and comprehensively in the field of employment. This is the handle as the rules of the game world of employment in Indonesia when entering the MEA. However, if the Act already protect workers especially when going into the MEA? With so many companies and foreign workers who will enter later, whether this Act will also protect Indonesian workers?
For example, in every speech or demonstration conducted by the workers, the implementation of contract system and outsourcing based on the Act is deemed to have weakened the position of the workers because there is no job security, the certainty of wages, even the certainty of welfare benefits more so that workers / laborers request it is to be removed. Even the government is often accused of having a lot delete or change any of the rules that is protective for the sake of investment in Indonesia.
Furthermore, with materilkannya has been tested several times this Act to the Constitutional Court have resulted in several articles that have been disconnected in the resulting judicial review should be followed up. With the cancellation of several Articles such as Article 120 paragraph (1) and (2), Article 155 paragraph (2), and Article 158, the existence of Law Number 13 Year 2003 on Manpower result of this Act is not intact anymore so Law is indeed feasible to immediately refined again. However, alteration or replacement of Manpower Act is not as easy as turning the palm of the hand. The planned revision of the Act in fact have occurred in 2006, and at that time the government withdrew the proposed revision as there are conflicts of interest that is strong enough between the interests of workers and employers. It's also the result in plan changes or replacement of the Act on Employment has become difficult because of interests between workers and employers is difficult to achieve an ideal starting point.
Based on the theory Radbruch, a rule or a new law can be said to be good if they meet three conditions, namely philosophically establish justice, sociologically helpful, and legally can create certainty (Satjipto Rahardjo, 1980). Made the regulations in the field of employment is aimed at achieving peace and fulfill the third requirement. The government should present to protect by giving special protection to workers
Indonesia and not be subject to the interests of the owners of capital. To deal with the MEA, the Law on Employment is expected to be enhanced to meet the three conditions for Indonesian workers is one of the components that affect the economic, political, and social in this country.
b. Law Enforcement labor inspectors
Labour inspection should be carried out in accordance with the provisions of Article 134 of Law Number 13 Year 2003 which states that "In order to realize the implementation of the rights and obligations of workers / laborers and employers, the government must carry out supervision and enforcement of labor legislation". In the face of the MEA, the position of inspectors becomes very important in order to be more conducive industrial relations and as protection for workers in the face of this global competition. Efforts preparations must be addressed is the quality and quantity of labor inspectors to supervise the implementation of Law No. 13 of 2003 on the Employment.
In terms of quality, with the change of government system which initially resulted sentaralistik to decentralized governance authorities are now much more rely on the county / city. However, Manpower (Manpower) which should be protective for workers could be said to be still unable to function properly and to know in-depth labor problems since often the educational background and work experience of labor inspectors do not support. This is due to the implementation of personnel transfers are often less attention to the educational background of a person when going to mutation.
In terms of quantity, based on the data obtained from the Ministry of Manpower (Manpower), the number of inspectors in 2013 recorded about approximately 2,400 people in Indonesia, and the supervisor must oversee about 216,000 companies in Indonesia. The distribution of labor inspectors and even then until now only reaching approximately 300 districts / cities from more than 500 the number of districts / cities. It is very less than ideal given the disparity is too far between the number of law enforcement by the number of companies that must be monitored.
With the number of unbalanced between labor inspectors and the number of enterprises, it clearly resulted in labor inspection to be ineffective because the quantity of human labor inspectors are not in accordance with the needs of the field. To overcome this problem has been the Government should immediately conduct education and training on an ongoing basis as well as an inventory of the needs of the number of labor inspectors, both at the provincial and district levels so that the city can anticipate the rush of investment into Indonesia the entry into force MEA later.


2.5 Steps and Strategic Employment Solutions jobs Indonesia in the face of MEA
Quality of Human Resources are low and readiness of Indonesian workers who are low in the face of this MEAsaat not mean that Indonesia had to withdraw from the competition of labor in the era of MEA. It is precisely the presence of MEA can be used as part of encouraging quality in terms of education and skills to Indonesian workers can compete in emmperebutkan jobs in their own countries and the ASEAN member countries.
Vice Chairman of Kadin Indonesia Labor, Benny Sutrisno states that Kadin has prepared three programs in order to face the MEA 2015 that also supports MP3EI:
1) Identification of the manpower needs of professional / skilled to support 22 economic activities in six economic corridors and increase the competitiveness of 12 priority sectors MEA 2015;
2) Facilitate the development of competency standards and the establishment of professional certification (LSP) by the relevant Industry Association 22 economic activities in the economic corridors and 12 priority sectors MEA 2015; and
3) Development of the Chamber of Commerce Training Center (KTC) to encourage the development of competency-based training program as required by the Provincial Kadin industry.
Benny Soetrisno also an inventory of 12 priority sectors MEA 2015 called free flow of skilled labor (the free flow of skilled labor), namely: health care (health care), tourism (tourism), logistics services (logistics services), e-ASEAN, transport services air (air travel transport), agro-based products (Agrobased products), electronic goods (electronics), fisheries (fisheries), rubber-based products (rubber based products), textiles and clothing (textiles and apparels), automotive (automotive) and wood-based products (wood based products).
Currently Indonesia tend to have increased education when seen by the rank of the AEC Scoredcard of phase I (2008-2009), Phase II (2010-2011), Phase III (2012-2013). In the phase III Indonesia ranks sixth out of ten ASEAN countries to another. Although it has progressed quite well, but Indonesia still needs to make improvements in various sides, especially in terms of policies on education that will support the Indonesian experts to be able to match future global competitiveness. When education is the basis for prospective experts are not able to support them in order to survive in the competition, then that is where Indonesia will be far behind. When compared with the number of Indonesian workforce with people who have worked, attainment of employment could be quite good that is equal to 94.08% of the total workforce. However, over 50% of workers absorbed graduated from elementary school. This is of special concern to the Indonesian government to immediately improve Indonesian education system and equalize the education itself. The curriculum is made by the government is expected to help prospective experts to be more competent and synchronized with international standards.
Other strategic steps to prepare skilled manpower and professional Indonesia in the face of MEA in December 2015 is Indonesia also have to standardize the professional quality of the workforce. This is due to the quality and quantity of labor in other countries are much better than Indonesia. Indonesia will be spectators in their own country if standardization is not done in view of the company - the company wants workers having excellent quality and expertise so that business activities can be long-lived. That is the basis why standardization is required when competition in the labor force will be more stringent AEC era.
Policy measures that can be taken and implemented through ketenagakerjaanyaitusebagai following program:
1. Expansion Program Development and Employment, is to:
a. enhance labor laws
b. consolidating employment creation program
d. improve service workers abroad with cheap, easy, and fast
e. cooperation development of integrated information system of foreign labor markets
2. Quality and Productivity Improvement Program of Labor, is the
a. increasing the competency-based training program
b.meningkatkan functions and revitalization Training Center (BLK) into a competency-based training institute
c. apprenticeship training programs in the country and abroad
d. facilitating educational institutions and vocational training
e. drafting and developing national competency standards work
3.Program Protection and Development of the Institute of Labor dilakukandengan:
a. Increasing the quantity and quality of labor inspectors of industrial relations;
b.Meningkatkan supervision, protection and law enforcement as well as occupational safety and health
c. Developing social security workers, and others - others.
Meanwhile, Indonesia's labor Widodountuk TugaspemerintahanJoko when MEA is, with foreign workers must have certain requirements in order to operate in Indonesia. This meant that workers in Indonesia are incontestably administrative work opportunities. Examples requirements of foreign workers to work in Indonesia, namely reactivate Indonesian language test which was held Hall Indonesian Indonesian test because it abolished its existence by President Joko Widodo on August 21, 2015. This policy is intended to protect workers in the country or the local workforce in Indonesia to face the MEA.
However, it is only addressed by workers for fear of foreign investors feel restricted movement to boost the economy in Indonesia led to its quasi movement of foreign investors so that many workers end up losing their livelihoods. Thus, it is good government as the executor of policies to strengthen the labor of aspects inside and outside so that the dignity of labor which is a reflection of the nation and this state is maintained.
As well as the Employment BPJS that have programs that cover the workforce in Indonesia, the government Joko Widodo is expected to form a solution also in problems facing the MEA that Indonesian workers have the skill or skills that qualified to be ready to compete with foreign workers both inside and outside Indonesia when the MEA begins. Government policies Joko Widodo would be nice also did not rule out labor lately have some demands but active role in resolving labor issues such as labor image is a depiction of the nation's welfare. Finally, the development of employment in Indonesia can go forward with time, especially at the national and international scope.



CHAPTER III
COVER

3.1 Conclusions

Human resources (HR) is one of the key factors in economic reform, namely how to create quality human resources and skills as well as highly competitive in a global competition which we abaikan.Saat this, Indonesia has been preparing to welcome the MEA on December 31, 2015 launched. Delegates from each of the ASEAN countries, especially Indonesia hopes the MEA can make people in the more developed countries. Besides the social and economic aspects that reflects the implementation of the MEA population and trade, such thinking also guided by aspects of employment are no less important in the country itself.

3.2 advice
Indonesia next challenge is to bring meaningful change to the lives of everyday people. Indonesia must improve in all respects both the regulatory side where the rule of law must be firm, government should be clean, economic justice must be created as well as equity, the need for political stability, security and social order, technological innovation, and the availability of adequate infrastructure. MEA should be able to be used as well - as good as the media to promote themselves in the regional arena and the training ground for Indonesian workers can compete in the International with more quality than the country - other countries. With the MEA Indonesia should be able to see a good opportunity to improve the quality of human resources that exist to improve competitiveness, provide adequate education and health, and provide education on the importance of the MEA itself.
Google Terjemahan untuk Bisnis:Perangkat PenerjemahPenerjemah Situs WebPeluang Pasar Global