Friday 20 April 2018

PERAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PULAU SIPADAN-LIGITAN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kita tahu bahwa sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia ini bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu itu pembicaraan landas kontinen yang dilakukan di laut Sulawesi ini kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Adapun posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Terlebih, Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar. Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dimana titik awal yang diklaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni, Peraturan perundang-undangan No. 4 tahun 1960  tentang Perairan Indonesia. 
Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut. Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalasi-instalasi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau biasa disingkat PBB adalah sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, keamanan internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan sosial, hak asasi dan pencapaian perdamaian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan di San Francisco pada 24 Oktober 1945 setelah Konferensi Dumbarton Oaks di Washington, DC, namun Sidang Umum yang pertama dihadiri wakil dari 51 negara baru berlangsung pada 10 Januari 1946 (di Church House, London). Sejak didirikan sampai sekarang PBB telah banyak berperan aktif dalam memelihara serta meningkatkan perdamaian, keamanan dunia, dan memajukan kesejahteraan hidup bangsa-bangsa dunia. PBB sebagai lembaga yang bertugas memelihara dan meningkatkan perdamaian dunia tentunya memiliki peran serta di dalam terjadinya sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia ini. Oleh karena itu penulis akan mengulas mengenai peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah
  1. Bagaimana peran PBB dalam menyelesaikan sengketa Internasional Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?



BAB II

PEMBAHASAN
2.1  Upaya Indonesia Dan Malaysia Dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masing negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).
           
2.2  Penyelesaian Sengketa Wilayah Antara Indonesia Dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan Melalui International Court Of Justice (ICJ)
Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini, negara-negara anggota ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militer tetapi menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada umumnya penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori:
1.      Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judicial settlement);
2.      Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian  melalui kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi (retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade), dan intervensi (interventation).

Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baik itu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama. Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus dan juga dilakukan secara damai.
Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, kedua negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia, cara negosiasi ini merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan sengketa. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara yang bersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat. Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upaya penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadang memerlukan waktu yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam perundingan dimungkinkan para pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, sehingga sulit untuk mencari titik temu penyelesaian.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia dan Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreement disebutkan bahwa Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakah yang mempunyai kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-bukti dan dokumen-dokumen yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat (final and binding).


Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diforum internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk selanjutnya penyelesaian masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian Mahkamah Hukum Internasional. Pada tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa :
1.      Garis 4 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti “berhenti” atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). M ahkamah menolak argumentasi Indonesia bahwa garis perpanjangan terebut merupakan “allocation line” di luar Pulau Sebatik sehingga timbul keraguan pengertian garis perpanjangan. Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebut secara tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda memang bersepakat untuk menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;
2.      Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan kalau pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau lain seperti Mabul, merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Inggris dan Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah tidak dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus dilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau Sebatik dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan Belanda;
3.      Mahkamah tidak menemukan di dalam Konvensi 1891 hal yang meyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasan wilayah kepemilikan mereka di sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo) dan Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain. Dalam kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat itu letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan Inggris;
4.      Mahkamah juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4 Konvensi 1891, apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan maksudnya bahwa Konvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai menetapkan “allocation line” yang menentukan kedaulatan atas pulau-pulau yang terdapat di wilayah laut sebelah timur Pulau Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukan batas-batas wilayah Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timur Pulau Sebatik;  
5.      Mahkamah berpendapat bahwa “travaux preparatoires” sebelum Konvensi 1891 serta hal-hal yang berkaitan dengan Konvensi tidak dapat mendukung interpretasi Indonesia bahwa Konvensi 1891 bukan hanya mengatur perbatasan darat tetapi juga mengatur “allocation line” di luar pantai timur Pulau Sebatik;
6.      Mahkamah menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang didasarkan pada “treaty based title” Konvensi 1891. Mahkamah juga berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan diatur berdasarkan serangkaian perjanjian. Perjanjian tanggal 12 November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas wilayah Kesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara melewati garis yang sudah disetujui Belanda dan Inggris berdasarkan Konvensi 1891, termasuk Pulau Tarakan, Nunukan, sebagaian Pulau Sebatik dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yang terletak di selatan garis 4 10’ LU. Hal ini tidak berlaku bagi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Mahkamah juga menolak argumentasi Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan hanya meliputi pulau Tarakan, Nunukan dan sebagian Pulau Sebatik;
7.      Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah mencatat bahwa batak konsesi minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampai ke Pulau Sipadan dan Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10’ LU, tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau selatan garis 4 10’. Mahkamah tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak tersebut merupakan hasil penafsiran dari  Pasal 4 Konvensi 1891.

Sedangkan terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa :
1.      Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia menyebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan dapat mendukung klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;
2.      Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak termasuk dalam grant Sultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan atas kepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22 Januari 1878;
3.      Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu atau menyimpulkan bahwa Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred Dent dan Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol adalah satu-satunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan instrumen hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah juga berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas nama State of Nort Borneo maupun Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;
4.      Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun 1898, “Perjanjian 1900” juga tidak secara khusus menjelaskan pulaupulau selain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadi bagiannya yang diserahkan Spanyol kepada AS, yang mungkin juga termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, AS tidak mengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja yang diperolehnya berdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;
5.      Mahkamah tidak dapat menyimpulkan, baik berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen lain yang berasal dari AS, bahwa AS mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Karena itu tidaklah dapat dikatakan bahwa berdasarkan Konvensi 1930 AS menyerahkan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Inggris sebagaimana diyakini oleh Malaysia;
6.      Mahkamah menolak dalil Malaysia tentang tidak terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu. Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang disebutkan dalam mata rantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut.

Dari Pokok-pokok Pendapat yang telah disampaikan diatas, Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.


Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia. Terlebih, ditengah-tengah proses acara muncul pula upaya hukum lain yang ditentukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadap perkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, Filipina dimungkinkan untuk memohon intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001, Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan hukum Filipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada keputusan Mahkamah Internasional.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal dengan prinsip effectivies.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kita tahu bahwa sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia ini bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen dimana pada saat itu kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Oleh karena itu, dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara tersebut maka Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Setelah melakukan empat pertemuan akhirnya Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ). Dalam prosesnya,  Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal dengan prinsip effectivies.

3.2  Saran
Kita tahu Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau yang sangat banyak dan berdekatan dengan perbatasan negara lain, Sehingga pulau-pulau tersebut rawan lepas dari pengawasan pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah dalam hal ini harus berperan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan administrasi negara. Dengan adanya pemerataan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah pusat, maka pulau-pulau tersebut terjadi aktivitas administrasi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia. Jadi pengawasan terhadap pulau-pulau tersebut menjadi efektif, agar tidak dikuasai oleh negara lain. Di samping itu pemerintah perlu juga membuat suatu pembangunan infrastruktur dalam pulau-pulau tersebut agar masyarakat dapat tertarik untuk tinggal dalam suatu pulau yang belum berpenghuni tersebut. Serta pemerintah perlu menegaskan batas wilayah teritorial batas- batas antar wilayah, apa lagi suatu pulau yang berdekatan dengan negara tetangga, hal itu perlu perhatian khusus dean pemerintah serius untuk mempertahankan kedaulatan dari negara kesatuan republik indonesia dengan dukungan masyarakat.











Sunday 16 April 2017

GAYA KEPEMIMPINAN PRESIDEN DI INDONESIA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Di era reformasi ini, masyarakat umum dan organisasi-organisasi kemasyarakatan khususnya, memerlukan pemimpin-pemimpin yang menghayati peran dan fungsinya. Bila masyarakat dan organisasi dipimpin oleh pemimpin yang demokratis, maka ada harapan bahwa bangsa kita akan berhasil menjalani proses demokratisasi dan kemudian mencapai cita-cita kehidupan yang adil dan makmur sesuai yang dicita-citakan. Kepemimpinan (leadership) dapat dikatakan sebagai suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang-orang lain untuk menunaikan suatu misi, tugas, atau tujuan dan mengarahkan organisasi yang membuatnya padu dan lebih masuk akal. Seseorang menjalani proses sebagai pemimpin dengan menerapkan seluruh atribut kepemimpinannya (keyakinan, nilai-nilai, etika, karakter, pengetahuan, dan ketrampilan). Bernard Bass dalam buku Kepemimpinan B.R. Wirjana (2005:3) menjelaskan bahwa ada tiga cara dasar untuk menjadi pemimpin, yaitu beberapa pembawaan kepribadian yang memungkinkan seseorang secara alami mencapai peran kepemimpinan (Trait Theory), adanya krisis atau kejadian yang penting menyebabkan seseorang muncul untuk menghadapinya sehingga menampilkan kualitas-kualitas kepemimpinan yang luar biasa pada seseorang (The Great Events Theory), dan yang memilih untuk menjadi pemimpin.
Dewasa ini kita telah mengetahui berbagai macam karekteristik pemimpin dengan berbagai macam pula manajemen yang diperankan, sebagai pemimpin yang ideal tanpa memiliki rasa kepentingan bersifat mementingkan sebagian pihak, tentunya figur seorang pemimpin yang selalu membela keperluan rakyatlah yang kita harapkan. Sebagai bangsa yang mayoritas dengan keberagaman agama, budaya, suku, dan ras kemudian melahirkan bermacam pemikiran pola tingkah laku dan sifat, sebagai pemimpin harus dapat menselaraskan kebergaman ini sehingga tidak ada yang merasa di kucilkan, inilah salah satu tantangan yang berada dalam kondisi serba modernisasi.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan diatas dapat diambil sebuah rumusan masalah yaitu
1.      Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan?
2.      Apa yang dimaksud dengan Tipe dan Gaya kepemimpinan?
3.      Bagaimana Gaya Kepemimpinan Presiden di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Konsep Kepemimpinan
Konsep kepemimpinan pada dasarnya berasal dari kata “pimpin” yang artinya bimbing atau tuntun dan dari kata “pemimpin” yaitu orang yang berfungsi memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun. Sedangkan kepemimpinan sendiri yaitu kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan. Menurut James L. Gibson dalam Pasolog (2010:110), Kepemimpinan adalah suatu usaha menggunakan suatu gaya mempengaruhi dan tidak memaksa untuk memotivasi individu dalam mencapai tujuan. Menurut Ralph M. Stogdill dalam Ambar Teguh Sulistyani (2008:13), Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sekelompok orang yang terorganisasi dalam usaha mereka menetapkan dan mencapai tujuan. Menurut Joseph C. Rost dalam Ambar Teguh Sulistyani (2008:13), Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Selain pendapat para ahli diatas tentu masih terdapat banyak pendapat lagi terkait dengan definisi kepemimpinan itu sendiri. Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi orang lain dalam melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

2.2  Tipe dan Gaya Kepemimpinan
Dalam memimpin, seorang pemimpin tentu memiliki gaya dan style yang berdeda-beda dengan pemimpin lain. Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain. Gaya atau style hidupnya akan berpengaruh terhadap gaya kepemimpinannya. Kartini Kartono dalam Pasolog (2010:118), membagi tipe kepemimpinan dalam delapan tipe, yaitu (1) Tipe Karismatik, (2) Tipe Peternalistik, (3) Tipe Militeristik, (4) Tipe Otokratis,, (5) Tipe Laissez Faire, (6) Tipe Populistis, (7) Tipe Administratif/Eksekutif, (8) Tipe Demokratis yang kemudian dirangkum dalam lima tipe kepemimpinan yaitu:

  
1.      Tipe Kepemimpinan Otokrasi
Pemimpin yang bertipe otokrasi, yaitu dalam mengambil keputusan dipusatkan dalam pemimpin. Dalam hal ini pemimpin bebas untuk menentukan kebijakan dan menyusun, mendefinisikan dan memodifikasi tugas-tugas sesuai dengan keinginannya. Pemimpin otokrasi diwarnai printah –perintah yang dirujukan dengan bawahan. Manfaat gaya otokrasi ini iyalah dalam hal pengambilan keputusan yang terpusat pada pemimpin dapat mengambil keputusan dengan cepat. Akan tetapi bagi pegawa yang tidak menguntungkan karena keutusan yang diambil biasnya tidak sesiuai dengan kondisi sebenarnya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan ketergantungan pada pimpinan, maupun kepastian terhadap tujuan organisasi.
2.      Tipe demokratik
Pemimpin yang tipe demoratik populer ada era manajemen neo-klasik, pendekatan yang digunakan yaitu partisipatif agar terwijudkrja sama dalam rangka pencapaian tujuan organisasi dengan memberdayakan bawahan dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan. Pendekatan ini membebaskan pimpinan dalam hal tanggung jawab pengambilan keputusan. Tetapi pendekatan ini mengharuskan untuk mengakui kecakapan para bawahan dalam mengajukan usul-usul dan ketegasn yang didasarkan pada latihan dan pengalman mereka.
3.      Tipe Karismatik
Pemimpin yang bertipe karismatik memiliki bebarapa hal yaitu : (1) kekuatan energi yang sangat luar biasa, (2) memiliki daya tarik yang tinggi dan, (3) wibawa yang alami. Sehingga ia mempunyai pengikut tanpa dimobilisasi. Bahkan ada yang menyebut pemimpin karismatik diaanggap memiliki kekuatan gaib (supranatural power) dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diberikan oleh sang pencipta.
4.      Tipe Laissez Faire
Pemimpin yang bertipe laissez faire yaitu pemimpin yang memberikan kebebasan kepada bawahannya untuk bertindak tanpa diperintahkan. Dalam artian bahwa membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya. Pemimpin tidak ikut berpatisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, sehingga semua kegiatan dan tanggung jawab dilakukan oleh bawahan sendiri.



5.      Tipe Paternalistik
Pemimpin yang bertipe peternalistik pada umumnya terdapat pada masyarakat yang masih tradisional dan agraris, pemimpin yang bertipe peternalistik dapat dilihat dari: (1) hubungan famili atau ikatan promodial, (2) adat istiadat yang sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku, (3) hubungan peribadi yang masih menonjol. Ciri utama masyarakat tradisional yaitu rasa hormat yang tinggi kepada orangtua atau seorang yang dituakan. Orang tua atau orang yang dituakan dihormati karena perilakunya dapat dijadikan teladan atau panutan oleh orang lain.

2.3  Gaya Kepemimpinan Presiden Di Indonesia
2.3.1        Presiden Soekarno: Pemimpin yang Memperhatikan Keseimbangan
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Semasa hidupnya, Soekarno adalah sosok yang senantiasa  belajar apa saja dan dari siapa saja. Soekarno adalah seorang pemimpin yang lentur terhadap gaya, tetap tegas dalam standar, teristimewa di tengah kemajemukan rakyat Indonesia. Kita tahu bahwa Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai keindahan. Gaya kepemimpinan yg diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yg juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif & inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara barat (Amerika dan Eropa). Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan Bangsanya. Oleh karena itu visi dan misi saja tidaklah cukup jika seorang pemimpin ingin berhasil dalam mencapai tujuannya. Seorang pemimpin dituntut untuk mengembangkan kecerdasan emosional agar mampu menghargai perbedaan di sekitarnya dan menjaga hubungan emosional para pengikutnya sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.


2.3.2        Presiden Soeharto: Dibenci, Dipuji Untuk Kemudian Dirindukan
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimilikinya merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Presiden Soeharto juga cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor-sektor lainnya.
  

2.3.3        Presiden BJ. Habibie: Cerdas, Dan Tahan Banting
Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Menjadi presiden bukan karena keinginannya. Hanya karena kondisi sehingga ia jadi presiden. Orang yang cerdas tapi terlalu lugu dalam politik. Karena ingin terlihat bagus, ia membuat blunder dalam masalah timor timur. Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi dan Kepemimpinan Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu pula peraturan-peraturan perundang-undangan banyak dibuat. Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya Habiebi sangat terbuka dalam berbicara tetapi tidak pandai dalam mendengar, akrab dalam bergaul, tetapi tidak jarang eksplosif. Sangat detailis, suka uji coba tapi tetapi kurang tekun dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam penyelengaraan negara, Habibie pada dasarnya seorang liberal karena kehidupan dan pendidikan yang lama di dunia barat. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya, salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Habibie digambarkan sebagai pribadi yang terbuka, namun terkesan mau menang sendiri dalam berwacana dan alergi terhadap kritik.

2.3.4        Presiden Abdurrahman Wahid: Sang Penakluk Yang Pluralis
Pemimpin Indonesia ke-4, Kyai Haji Abdurrahman Wahid terlahir dari desa Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940. Tokoh nasional dan agama ini lebih akrab dengan sapaan Gus Dur. Beliau dikenal memliki sikap toleransi beragama, sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, sangat tidak disiplin, dan berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan Responsif-Akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memihki keabsahan. Pelaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan diharapkan mampu menggerakkan partisipasi aktif para pelaksana di lapangan, karena merasa ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijaksanaan. Beliau ini awalnya memberikan banyak harapan untuk kemajuan Indonesia. Seolah bisa menjadi figur yang bisa diterima oleh berbagai kelompok didalam dan luar negeri. Tapi setelah menjadi presiden, bicaranya ngelantur tidak karu-karuan. Hari ini A, besok B lusa C. Sebagai rakyat aku sendiri ikut capai mikirin Negara di bawah Gus Dur ini. Orang seperti ini yang dianggap 1/2 wali oleh sebagian orang ini cukup berbahaya untuk memimpin bangsa. Beruntung pada 23 Juli 2001 MPR melengserkannya dari kursi presiden karena kritikan berat dari lawan-lawan politiknya.

2.3.5        Presiden Megawati Soekarno Putri: 10 Tahun Menunggu Kemenangan
Diawal april tahun 2014, Megawati boleh berbagga. Pilihannya menjadi oposisi dalam pemerintahan selama 2 periode terbayar. Selama menjadi presiden, Megawati selalu berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan. Tetapi dalam hal-hal tertentu megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya, misalnya mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM dan pemberlakuan darurat militer di Aceh Nanggroe Darussalam. Gaya kepemimpinan megawati yang anti kekerasan itu tepat sekali untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang memanas. Pemimpin yang satu ini merupakan pemimpin lebih banyak menjual image orang tua beliau, dari pada image dirinya sendiri. Beliau merupakan presidennya “wong cilik”, memang benar “wong cilik” yang sering kami tanya mengenai hal ini banyak yang memilih beliau karena beliau mempunyai perhatian yang tinggi kepada mereka dengan menyediakan bahan pokok murah, namun banyak aset perusahaan negara yang dijual untuk membeli bahan pokok bagi rakyat. Memang orang yang hanya berfikir hidup, akan merasa terbantu sekali dengan model kepemimpinan beliau ini. Namun sebagian orang juga tidak setuju penjualan aset tersebut. kurang dapat memprediksikan gaya pemerintahan beliau, karena semuanya lebih bergantung kepada anggota kabinet daripada sosok beliau sendiri. Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang-nimbang sesuatu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi begitu keputusan itu diambil, tidak akan berubah lagi. Presiden ini cukup demokratis, tapi pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya.

2.3.6        Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: Pemimpin Yang Berwibawa dan Bijaksana
Beliau ini presiden pertama yang dipilih oleh rakyat. Orangnya mampu dan bisa menjadi presiden. Juga cukup bersih, kemajuan ekonomi dan stabilitas negara terlihat membaik. Sayang tidak mendapat dukungan yang kuat di Parlemen. Membuat beliau tidak leluasa mengambil keputusan karena harus mempertimbangkan dukungannya di parlemen. Apalagi untuk mengangkat kasus korupsi dari orang dengan back ground parpol besar, beliau keliahatan kesulitan. Sayang sekali saat Indonesia punya orang yang tepat untuk memimpin, parlemennya dipenuhi oleh begundal-begundal oportunis yang haus uang sogokan. Pembawaan SBY, karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada SBY karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan semacam ini meningkatkan citra SBY di mata masyarakat. SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik

2.3.7        Presiden Joko Widodo: Tegas, Berani Dan Sederhana
Joko Widodo atau Jokowi adalah presiden ke-7 Indonesia ini lahir pada 21 Juni 1961 di Surakarta. Gaya kepemimpinan seorang Joko Widodo memang tergolong unik, sebab Jokowi, orang-orang menyebutkan memiliki sebuah gaya kepemimpinan yang lain dari pada yang lain dimana semua keputusan keputusan yang diambilnya cenderung nyeleneh namun mengandung sebuah hal yang penting dalam masyarakat. Jokowi hadir begitu cepat, sosok yang begitu dinanti nanti pada jaman seperti sekarang ini, dimana banyak masyarakat yang sudah bosan dengan kondisi kepemimpinan sekarang ini. Banyak masyarakat yang menginginkan sebuah perubahan dalam hal kepemimpinan bangsa ini, dan Jokowi pun hadir ditengah tengah kita dengan citra sebuah pemimpin yang sangat peduli dengan kaum kaum kelas bawah dan sangat peduli dengan srakyat kecil, banyak masyarakat Indonesia menggantungkan perubahan bangsa ini pada sosok Joko Widodo. Konsep kepemimpinan Jokowi adalah servant, dimana dalam konsep kepemimpinan ini pemimpin adalah menjadi seorang pelayan, dimana yang dimaksud adalah Jokowi secara langsung terjun kedalam kehidupan masyarakat dan mengetahui bagaimana nasib dan keluhan ynag mereka alami saat ini. Dimana disini Jokowi secara tidak langsung mecritrakan bahwa “saya adalah pelayan anda” dengan motto bekerja dan melayani. Konsep ini lah yang dipegang teguh oleh Jokowi sehingga banyak orang mengidolakan Joko Widodo sehingga beliau mampu menjadi pemimpin No.1 di Negara Indonesia sekarang ini. Jokowi sangat cinta terhadap masyarakat, hal ini terbukti bahwa dia selalu berusaha untuk dekat bahkan menyamakan diri dengan masyarakat.
Gaya kepemimpinan Presiden Jokowi ini bisa menjadi contoh, bagaimana sosok pemimpin yang tegas, berani dan konsisten meski Jokowi dari orang yang terlihat sederhana. saat terpilih menjadi presiden, Jokowi telah menunjukkan ketegasannya dalam memimpin sebagai kepala negara. Di antaranya, Jokowi dengan tegas membatalkan penetapan Budi Gunawan sebagai kapolri karena diduga melakukan korupsi. Ditambah lagi, memberhentikan sementara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad karena diduga terlibat kriminal dan kini menjalani proses hukum. Dalam sistem politik yang demokratis, pemimpin yang tegas dan berani tidak identik dengan militer. Latar belakang militer tidak otomatis lebih berani, lebih tegas atau lebih nasionalis. Pemimpin kuat juga tidak sama dengan pemimpin yang membuat kebijakan dan menerobos aturan. Dalam demokrasi di mana hukum dikedepankan, sikap tegas, berani dan konsisten justru bisa ditunjukkan dengan cara-cara yang lembut dan santun seperti Jokowi.



BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Setelah kita mengetahui gaya kepemimpinan ketujuh presiden Indonesia, kita tahu bahwa kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Dimana  untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan. Bekal utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.

3.2    Saran
Kita tahu di Indonesia ini Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri. Jika saja Indonesia di seluruh elemen pemerintahan memiliki pemimpin yang sangat tangguh berkualitas dan berbudaya tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, maka pengikut pun tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Dimana Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.



DAFTAR PUSTAKA
1.      Anas, Azwar dkk. 2014. Jokowi Sosok Satrio Piningit. Yogyakarta: Citra Media
2.      Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta
3.      Sedarmayanti. 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung : Refika Aditama
4.      Sulistiyani, Ambar Teguh. 2008. Kepemimpinan Profesional; Pendekatan Leadership Game. Yogyakarta: Gava Media

5.      Wirjana, Bernadine dan Susilo Supardo. 2005.  Kepemimpinan, Dasar-Dasar dan Pengembangannya; Yogyakarta: CV. Andi offset