BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita tahu bahwa sengketa wilayah antara
Indonesia dan Malaysia ini bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam
penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur
pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu itu pembicaraan landas kontinen yang
dilakukan di laut Sulawesi ini kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar
24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64
kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah
Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Adapun posisi
Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau
Sebatik. Terlebih, Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan
adalah 7,9 hektar. Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dimana
titik awal yang diklaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak
mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yakni, Peraturan perundang-undangan No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak
pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua
pulau tersebut. Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik
pemerintah Indonesia maupun pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan
sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini,
kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of
Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam
status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan
baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah
sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan menerbitkan
peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia, memberikan
sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan
kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalasi-instalasi listrik
di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut
melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau biasa
disingkat PBB adalah sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir
seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum
internasional, keamanan internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan
sosial, hak asasi dan pencapaian perdamaian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa
didirikan di San Francisco pada 24 Oktober 1945 setelah Konferensi Dumbarton
Oaks di Washington, DC, namun Sidang Umum yang pertama dihadiri wakil dari 51
negara baru berlangsung pada 10 Januari 1946 (di Church House, London). Sejak didirikan sampai sekarang PBB telah banyak
berperan aktif dalam memelihara serta meningkatkan perdamaian, keamanan dunia,
dan memajukan kesejahteraan hidup bangsa-bangsa dunia. PBB sebagai lembaga yang
bertugas memelihara dan meningkatkan perdamaian dunia tentunya memiliki peran
serta di dalam terjadinya sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dan Malaysia ini. Oleh karena itu
penulis akan mengulas mengenai peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan antara Indonesia dan Malaysia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah
- Bagaimana peran PBB dalam menyelesaikan sengketa Internasional Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Upaya Indonesia Dan Malaysia Dalam Penyelesaian Sengketa Pulau
Sipadan Dan Pulau Ligitan
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa
antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan
pada berbagai tingkat seperti Senior
Official Meetings, Joint Working
Group Meetings dan Joint Commision
Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima
kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri
Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masing
negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuan
Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia
dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar
perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).
2.2 Penyelesaian
Sengketa Wilayah Antara Indonesia Dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan Dan Pulau
Ligitan Melalui International Court Of
Justice (ICJ)
Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara
tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini, negara-negara
anggota ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militer
tetapi menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan
pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada umumnya
penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori:
1. Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu
apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang
bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan
secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation),
jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation)
dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang
bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan
penyelesaian hukum (judicial settlement);
2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau
dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui
kekerasan. Penyelesaian melalui
kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi
(retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara
damai (pasific blockade), dan intervensi (interventation).
Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka
sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim
kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baik itu
melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnya yang
juga mengajukan klaim yang sama. Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa
pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk
membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah
tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk
perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam
hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan
mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur
secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama,
penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas
bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu
merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu
tindakan yang terus menerus dan juga dilakukan secara damai.
Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan
Malaysia, kedua negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau
perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang
dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan
Malaysia, cara negosiasi ini merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan
sengketa. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia
Tenggara yang bersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar
untuk mengadakan sebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang
tepat. Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan
ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upaya
penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadang
memerlukan waktu yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam
perundingan dimungkinkan para pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan
berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan
kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari kedaulatan yang dimiliki
oleh masing-masing pihak, sehingga sulit untuk mencari titik temu penyelesaian.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi
nama Special Agreement for Submission to
the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia dan
Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Special Agreement). Dalam Pasal 2
Special Agreement disebutkan bahwa Mahkamah Internasional diminta untuk
menentukan siapakah yang mempunyai kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau
Sipadan. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement
adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat
atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-bukti dan dokumen-dokumen yang tersedia
dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement
ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat
akhir dan mengikat (final and binding).
Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah
Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan diforum internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk
selanjutnya penyelesaian masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian
Mahkamah Hukum Internasional. Pada tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum
Internasional telah mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia
sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan. Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat
bahwa :
1. Garis 4 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891
dapat berarti “berhenti” atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik).
M ahkamah menolak argumentasi Indonesia bahwa garis perpanjangan terebut
merupakan “allocation line” di luar Pulau Sebatik sehingga timbul keraguan
pengertian garis perpanjangan. Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebut secara
tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan
pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu
Mahkamah berpendapat bahwa sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda memang
bersepakat untuk menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;
2. Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun
bukti yang meyakinkan kalau pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau
lain seperti Mabul, merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Inggris dan
Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah tidak
dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus dilanjutkan
dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau Sebatik
dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan
Belanda;
3. Mahkamah tidak menemukan di dalam Konvensi
1891 hal yang meyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasan
wilayah kepemilikan mereka di sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo) dan
Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain. Dalam
kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat bahwa
batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat
itu letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi
oleh Indonesia dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan
Inggris;
4. Mahkamah juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4
Konvensi 1891, apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan maksudnya bahwa
Konvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai menetapkan “allocation line” yang
menentukan kedaulatan atas pulau-pulau yang terdapat di wilayah laut sebelah
timur Pulau Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukan batas-batas wilayah Belanda
dan Inggris sampai dengan pantai timur Pulau Sebatik;
5. Mahkamah berpendapat bahwa “travaux
preparatoires” sebelum Konvensi 1891 serta hal-hal yang berkaitan dengan
Konvensi tidak dapat mendukung interpretasi Indonesia bahwa Konvensi 1891 bukan
hanya mengatur perbatasan darat tetapi juga mengatur “allocation line” di luar
pantai timur Pulau Sebatik;
6. Mahkamah menolak klaim Indonesia atas Pulau
Sipadan dan Ligitan yang didasarkan pada “treaty based title” Konvensi 1891.
Mahkamah juga berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dengan Kesultanan
Bulungan diatur berdasarkan serangkaian perjanjian. Perjanjian tanggal 12
November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas wilayah Kesultanan
Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara melewati garis yang sudah disetujui
Belanda dan Inggris berdasarkan Konvensi 1891, termasuk Pulau Tarakan, Nunukan,
sebagaian Pulau Sebatik dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yang terletak di
selatan garis 4 10’ LU. Hal ini tidak berlaku bagi Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan. Mahkamah juga menolak argumentasi Indonesia bahwa Indonesia mewarisi
kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda
dengan Kesultanan Bulungan hanya meliputi pulau Tarakan, Nunukan dan sebagian
Pulau Sebatik;
7. Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah
mencatat bahwa batak konsesi minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia
tidak sampai ke Pulau Sipadan dan Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10’ LU,
tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau selatan garis 4 10’. Mahkamah tidak
dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak tersebut merupakan
hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi
1891.
Sedangkan terhadap klaim Malaysia, Mahkamah
Internasional berpendapat bahwa :
1. Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan
Malaysia menyebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan dapat mendukung klaimnya atas
kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;
2. Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak
termasuk dalam grant Sultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan
atas kepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-pulau dalam batas 3 marine
leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22 Januari 1878;
3. Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada
bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam
Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu atau menyimpulkan bahwa
Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan dan Ligitan
berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi
menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred
Dent dan Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol
adalah satu-satunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan
berdasarkan instrumen hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol
melakukannya. Mahkamah juga berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas
nama State of Nort Borneo maupun Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya,
baik secara eksplisit maupun implisit;
4. Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat
disangkal bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty
of Peace tahun 1898, “Perjanjian 1900” juga tidak secara khusus menjelaskan
pulaupulau selain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadi
bagiannya yang diserahkan Spanyol kepada AS, yang mungkin juga termasuk
pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, AS tidak mengetahui dengan
pasti pulau-pulau mana saja yang diperolehnya berdasarkan Perjanjian 1900
tersebut;
5. Mahkamah tidak dapat menyimpulkan, baik
berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen
lain yang berasal dari AS, bahwa AS mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Karena itu tidaklah dapat dikatakan bahwa berdasarkan Konvensi 1930 AS
menyerahkan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Inggris sebagaimana
diyakini oleh Malaysia;
6. Mahkamah menolak dalil Malaysia tentang tidak
terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu.
Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah
kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang disebutkan dalam mata
rantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut.
Dari Pokok-pokok Pendapat yang telah disampaikan diatas, Mahkamah Hukum
Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar
kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang
pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang
4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik
dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti
milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan
sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya
perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat
diandalkan oleh Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau
tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak
tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya
dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan
Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar
di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus
dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut
pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah
ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya
atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk
syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun
yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua
pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau
Malaysia. Terlebih, ditengah-tengah proses acara muncul pula upaya hukum lain
yang ditentukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina
terhadap perkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut
perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap
Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, Filipina dimungkinkan untuk memohon
intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan
hukumnya sebagai pihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001,
Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan
pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi
kepentingan hukum Filipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada
keputusan Mahkamah Internasional.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam
sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut
adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama
diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal
dengan prinsip effectivies.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kita tahu bahwa sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia ini
bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen
dimana pada saat itu kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan sebagai miliknya. Oleh karena itu, dalam upaya untuk menyelesaikan
sengketa antara kedua negara tersebut maka Indonesia dan Malaysia mengadakan
perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint
Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat
diterima kedua pihak. Setelah melakukan empat pertemuan akhirnya Pemerintah
Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni
merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah
Hukum Internasional (ICJ). Dalam prosesnya, Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu
tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang
didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan
bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur
Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua
pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut
Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan
sebagai perjanjian wilayah laut. Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif
Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara
lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas
kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan
Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga
telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962
dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Akhirnya pada
tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam sidangnya telah
mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik
Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama
diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal
dengan prinsip effectivies.
3.2 Saran
Kita tahu Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau yang
sangat banyak dan berdekatan dengan perbatasan negara lain, Sehingga
pulau-pulau tersebut rawan lepas dari pengawasan pemerintah pusat. Seharusnya
pemerintah dalam hal ini harus berperan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan administrasi
negara. Dengan adanya pemerataan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
maka pulau-pulau tersebut terjadi aktivitas administrasi yang dilakukan oleh
penduduk Indonesia. Jadi pengawasan terhadap pulau-pulau tersebut menjadi
efektif, agar tidak dikuasai oleh negara lain. Di samping itu pemerintah perlu
juga membuat suatu pembangunan infrastruktur dalam pulau-pulau tersebut agar
masyarakat dapat tertarik untuk tinggal dalam suatu pulau yang belum berpenghuni
tersebut. Serta pemerintah perlu menegaskan batas wilayah teritorial batas-
batas antar wilayah, apa lagi suatu pulau yang berdekatan dengan negara
tetangga, hal itu perlu perhatian khusus dean pemerintah serius untuk
mempertahankan kedaulatan dari negara kesatuan republik indonesia dengan
dukungan masyarakat.